Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

KPK SP3 Kasus BLBI Sjamsul Nursalim, Dimana Biang Keroknya?

Senin, 05/04/2021 05:46 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR Fraksi Partai Gerindra, Desmond J Mahesa (Breakingnews)

Wakil Ketua Komisi III DPR Fraksi Partai Gerindra, Desmond J Mahesa (Breakingnews)

law-justice.co - Ditengah hiruk pikuk pemberitaan soal aksi terorisme yang sedang merebak di Indonesia, kita dikejutkan oleh adanya penerbitan SP3 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penerbitan SP3 oleh KPK  ini sangat mengagetkan ditengah tengah upaya pemerintah yang konon sedang gencar-gencarnya melaksanakan program pemberantasan korupsi di Indonesia.

Seperti diberitakan media, KPK telah menghentikan penanganan kasus dugaan korupsi terkait penerbitan surat keterangan lunas terhadap obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dimana  Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim sebagai tersangkanya. SP3 dalam kasus ini diteken pada 31 Maret 2021 dan merupakan kali pertama yang dilakukan oleh KPK.

Penerbitan SP3 yang pertama kali dilakukan oleh KPK  tersebut menimbulkan banyak spekulasi dan tanda tanya  seputar  masa depan agenda pemberantasan korupsi di negara kita.  Apa sebenarnya yang dimaksud dengan SP3 ? Mengapa penerbitan SP3 itu menimbulkan reaksi pro dan kontra ?. Bisakah penerbitan SP3 oleh KPK itu dibatalkan pemberlakuannya ?, Dari kebijakan KPK mengeluarkan SP3 ini sebenarnya dimana letak biang masalahnya ?

Seputar SP3 Kasus BLBI

SP3 adalah singkatan dari Surat Perintah Penghentian Penyidikan disingkat SP3. SP3 merupakan surat pemberitahuan dari penyidik pada penuntut umum bahwa perkara dihentikan penyidikannya. SP3 menggunakan formulir yang telah ditentukan dalam Keputusan Jaksa Agung No. 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana.

Penghentian penyidikan sendiri  merupakan kewenangan dari penyidik yang diatur dalam pasal 109 ayat (2) KUHAPidana. Alasan-alasan penghentian penyidikan diatur secara imitative dalam pasal tersebut, yaitu:

  1. Tidak diperoleh bukti yang cukup, yaitu apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka.  
  2. Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana.
  3. Penghentian penyidikan demi hukum. Alasan ini dapat dipakai apabila ada alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana, yaitu antara lain karena nebis in idem, tersangka meninggal dunia, atau karena perkara pidana telah kedaluwarsa.

Terkait dengan penerbitan SP3 oleh KPK terhadap kasus BLBI yang merugikan negara senilai Rp 4,58 triliun KPK mempunyai alasannya.  Wakil Ketua KPK Alexander Marwata seperti dikutip merdeka.com 02/04/21  menyebut alasan penerbitan SP3 untuk Sjamsul dan Ijtih Nursalim adalah berdasarkan putusan kasasi yang dijatuhkan Mahkamah Agung (MA). 

Keputusan MA  terhadap mantan Kepala Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung tanggal 9 Juli 2019 tersebut menyatakan bahwa perbuatan terdakwa bukan merupakan tindak pidana, dan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging), seperti disampaikan Alex di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (31/3/2021) 

Dengan adanya keputusan MA tersebut maka  unsur penyelenggara negara dalam perkara ini BLBI  dinilai sudah tidak ada. Sjamsul dan Itjih merupakan pihak swasta."KPK berkesimpulan syarat adanya perbuatan penyelenggara negara dalam perkara tersebut tidak terpenuhi," katanya.

Alex mengakui, KPK sempat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) terhadap putusan Syafruddin, namun ditolak MA. Menurutnya, KPK tidak mempunyai upaya hukum lain untuk menindaklanjuti perkara BLBI. Sehingga meminta pendapat dari ahli, sebagai upaya menindaklanjuti perkara BLBI."Keterangan ahli hukum pidana yang pada pokoknya disimpulkan bahwa tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh KPK," tegasnya.

Alex  juga menyebut bahwa penghentian penyidikan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 40 UU KPK. Menurutnya sebagai bagian dari penegak hukum, maka dalam setiap penanganan perkara KPK memastikan akan selalu mematuhi aturan hukum yang ada. "Penghentian penyidikan ini sebagai bagian adanya kepastian hukum dalam proses penegakan hukum sebagaimana amanat Pasal 5 UU KPK, yaitu “Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya KPK berasaskan pada asas Kepastian Hukum”, simpulnya.

Memunculkan Pro -Kontra

Segera terbitnya SP3 atas kasus BLBI oleh KPK yang merugikan negara triliunan rupiah itu menimbulkan pro dan kontra.  Advokat senior Maqdir Ismail menilai langkah KPK menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi BLBI  yang membelit Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, merupakan langkah tepat adanya.

"Langkah KPK itu baik dan tepat," kata Maqdir menanggapi keputusan KPK menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus BLBI pada Kamis (1/4) di Jakarta sebagaimana dikutip gatra.com 01/04/21.

"Memang semestinya demikian karena kasus kedua tokoh pengusaha itu dahulu dikaitkan dengan perkara mantan Kepala BPPN Sjafruddin Arsyad Temenggung. Sedangkan Sjafruddin sudah lama dibebaskan oleh Mahkamah Agung," ujarnya.

Meskipun ada yang mendukung, namun kebijakan KPK untuk mengeluarkan SP3 pada kasus BLBI tersebut banyak yang menentangnya.  Aktivis anti korupsi dan pengajar hukum di Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar menyindir keluarnya  SP3 KPK terhadap kasus BLBI dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim, istrinya.

"Mari ucapkan selamat kepada siapapun, melalui SP3 kasus korupsi pertama KPK dengan UU KPK hasil revisi," katanya melalui cuitan di akun twitternya, Kamis (1/4/2021). 

Sementara  itu mantan juru bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan sindiran yang sama,  "Salah satu bukti manfaat revisi UU KPK," cuit Febri  melalui akun Twitter-nya, Kamis (1/4/2021). 

Senada dengan dua aktivis korupsi diatas,  Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera mengkritik langkah KPK mengeluarkan SP3 pada kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). 

Mardani menyebut, KPK periode lalu berjanji akan mengusut kasus BLBI tapi kenyataannya, pimpinan KPK saat ini malah mengubur kasus BLBI dengan SP3.  "KPK periode lalu berjanji akan melakukan upaya hukum luar biasa untuk mengusutnya.""Tapi ‘dikubur’ pimpinan saat ini, ada kerugian negara 4,56 T di situ," tulis Mardani melalui cuitannya, @MardaniAliSera, Minggu (4/4/2021).

Tak kalah pedasnya adalah sindiran dari  Busyro  Muqoddas mantan Ketua KPK. Busro menilai revisi UU KPK `sukses besar` ditandai dengan penghentian penyidikan Sjamsul dan Itjih yang telah menjadi tersangka. 

"Ucapan sukses besar bagi pemerintah Jokowi yang mengusulkan revisi UU KPK yang disetujui DPR juga parpol-parpol yang bersangkutan. Itulah penerapan kewenangan menerbitkan SP3 oleh KPK Wajah Baru," kata Busyro, Jumat (2/4/2021).

Upaya Pembatalan SP3

Reaksi lebih keras sehubungan dengan terbitnya SP3 oleh KPK disuarakan oleh MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia ). MAKI bukan hanya menentang kebijakan itu  tetapi siap siap untuk melayangkan gugatatan atas SP3 yang dikeluarkan KPK. "MAKI akan gugat Praperadilan melawan KPK untuk membatalkan SP3 perkara dugaan korupsi BLBI tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Sjamsul Nursalim," kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, dalam keterangannya, Jumat, 2 April 2021 seperti dikutip law-justice.co.

Boyamin mengatakan akan megajukan gugatan praperadilan untuk membatalkan SP3 tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan akan diajukan maksimal akhir April 2021. "Tadinya kami berharap SP3 ini adalah bentuk April Mop atau prank dari KPK, namun ternyata April beneran karena SP3 benar-benar terbit dan diumumkan secara resmi oleh KPK," ujarnya.

Menanggapi adanya rencana gugatan tersebut, KPK mengaku tak mempersoalkannya. "KPK hargai upaya yang akan dilakukan oleh sejumlah pihak, di antaranya MAKI tersebut karena memang ketentuan hukumnya mengatur demikian," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Jumat (2/4/2021)sebagaimana dikutip media.

Ali mengatakan, pihak lembaga antirasuah sudah berusaha maksimal untuk mengusut perkara ini. Namun dalam putusan kasasi terhadap mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT), Mahkamah Agung (MA) menyatakan perbuatan Syafruddin tak memenuhi unsur pidana.

Secara yuridis formal, Praperadilan memang dimungkinkan karena penghentian penyidikan menjadi salah satu objek gugatan berdasarkan ketentan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAPidana). Melalui mekanisme ini, proses penyidikan bisa aktif lagi jika pengadilan membatalkan penetapan SP3 .

Dalam konteks kasus diatas, MAKI sebagai lembaga pegiat antikorupsi termasuk sebagai pihak ketiga yang berkepentingan untuk meminta pembatalan SP3. Hal ini telah termaktub dalam Pasal 80 KUHAP dimana dinyatakan bahwa  "Proses penegakan tindak pidana korupsi harus baik dan benar, secara prosedur, substansi, dan kewenangannya.”

Lalau apakah MAKi memang mempunyai hak untuk melakukan gugatan tersebut yaitu membatalkan SP3 ?. Persoalan ini pernah di uji coba di Mahkamah Konstitusi (MK) melalui  Perkara Nomor 76/PUU-X/2012 yang dimohonkan oleh Fadel Muhammad melalui pengacaranya. Saat itu Fadel Muhammad berstatus tersangka perkara dana sisa lebih penggunaan anggaran APBD Provinsi Gorontalo 2001. 

Melalui kuasa hukumnya, Fadel Muhammad melakukan gugatan atas frasa “Pihak Ketiga yang Berkepentingan” dalam Pasal 80 KUHAPidana. Fadel menilai pengertian frasa tersebut terlalu luas sehingga dapat disalahartikan hingga merugikan dirinya. Atas gugatan tersebut Mahkamah memutuskan untuk menolak untuk seluruhnya permohonan perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAPidana).

Dengan adanya keputusan MK  tersebut, maka `Pihak Ketiga yang Berkepentingan` termasuk  Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai subjek hukum yang memiliki hak gugat praperadilan.

Terhadap perkara tersebut Mahkamah berpendapat, walaupun KUHAP tidak memberikan interpretasi yang jelas mengenai siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, namun menurut Mahkamah yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan bukan hanya saksi korban tindak pidana atau pelapor tetapi harus juga diinterpretasikan secara luas.  

Dengan demikian, interpretasi mengenai pihak ketiga dalam pasal yang diujikan tidak hanya terbatas pada saksi korban atau pelapor saja tetapi juga harus mencakup masyarakat luas yang dalam hal ini bisa diwakili oleh perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama yaitu untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy) seperti lembaga swadaya masyarakat atau organisasi masyarakat lainnya.

Pasalnya, KUHAP pada hakikatnya adalah instrumen hukum untuk menegakkan hukum pidana yang bertujuan untuk melindungi kepentingan umum atau kepentingan masyarakat pada umumnya.

Kembali ke kasus SP3 oleh KPK maka kalau kebijakan SP3 itu tidak digugat dikhawatirkan akan menjadi kebiasaan bagi petinggi KPK untuk mengobral kewenangannya mengeluarkan SP3.  Soalnya ada indikasi selain kasus BLBI, KPK membuka peluang untuk penghentian penyidikan atau SP3 kasus kasus hukum lainnya.

"Terkait kemungkinan SP3 lagi tentu kita akan melihat case by case (kasus per kasus). Ada beberapa kasus yang lama dan beberapa tersangkanya itu sudah tidak bisa lagi mengikuti pemeriksaan karena sakit parah atau sakit permanen, sehingga tidak layak diajukan ke persidangan," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers, Kamis, 1 April 2021 seperti dikutip media.

Kalau memang demikian halnya maka siap siap koruptor berpesta karena terbuka peluang kasusnya akan di hentikan oleh KPK. Terutama koruptor koruptor kakap yang telah menyikat uang negara  tiriliunan nilainya. Mereka bisa melakukan berbagai upaya untuk meloloskan kasusnya dari jerat hukum yang selama ini menghantuinya. Dengan kekuatan uangnya yang luar biasa, apa sih yang tidak bisa dilakukan di Indonesia ?

Ini Dia Biang Keladinya

Kalau ditelusuri kebelakang maka semuanya bermula dari adanya revisi UU KPK yang dulu pernah ditentang habis habisan oleh mahasiswa.  Dengan keberhasilan merevisi UU KPK maka dampak buruk  selain menghambat penindakan korupsi, UU KPK yang baru juga menguntungkan para koruptor di Indonesia antara lain dengan munculnya kewenangan KPK untuk menghentikan perkara yang ditanganinya lewat SP3.

Seperti kita ketahui bersama, sesuai dengan  hasil revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK)  maka salah satu poin yang berubah adalah komisi antirasuah diberikan kewenangan menerbitkan SP3  jika penyidikan atau penuntutan tidak selesai dalam dua tahun sesuai Pasal 40. 

Berdasarkan Pasal 40 ayat (1), KPK yang baru dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun. Kemudian Pasal 40 ayat (2) menyatakan, penghentian penyidikan dan penuntutan harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat satu minggu terhitung sejak dikeluarkannya SP3.

Dengan adanya kewenangan KPK untuk mengeluarkan SP3 maka terbuka peluang  perkara yang ditangani KPK berhenti di tengah jalan alias di SP3. Perkara-perkara besar yang selama ini ditangani oleh KPK akan sangat memungkinkan untuk dihentikan penanganannya. Oleh karena itu menurut hemat saya seyogyanya kewenangan KPK yang tidak bisa mengeluarkan SP3  dipertahankan eksistensinya.

Memang dalam hal ini ada yang berpendapat bahwa dengan tidak adanya kewenangan KPK untuk mengeluarkan SP3 dalam perkara korupsi dinilai bertentangan dengan KUHAPidana. Pada hal dengan tidak diberikannya wewenang kepada KPK untuk mengeluarkan SP3, sebenarnya bukan berarti melanggar KUHAPidana.

Karena ketidakwenangan KPK dalam mengeluarkan SP3 adalah bentuk kekhususan dari UU KPK (yang lama)  terhadap KUHAP yang biasa kita kenal dengan isitilah lex specialis derogat legi generali dalam arti peraturan yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat umum. Pengaturan ini merupakan prosedur khusus yang dimiliki oleh KPK untuk memaksimalkan pemberantasan dan penegakan hukum terhadap kasus kasus korupsi di Indonesia.

Sebab apabila diberikan kewenangan mengeluarkan SP3 maka apa bedanya KPK dengan Kepolisian maupun Kejaksaan dalam menangani suatu perkara korupsi di Indonesia ? Bukankah selama ini kita mengenal KPK memiliki desain lembaga khusus yang unik dan tak dimiliki lembaga lainnya ? . Desain khusus itu melahirkan kemampuan menindak korupsi dengan tepat guna serta dengan kewenangan besarnya ?

Hal ini mengingat korupsi adalah kejahatan yang luar biasa sehingga diperlukan lembaga yang istimewa bersifat khusus dan mempunyai kewenangan yang berbeda pula dengan lembaga penegak hukum pada umumnya. 

Pada kenyataannya, sudah jamak terjadi dimana seringkali dalam penanganan kasus kasus korupsi di Indonesia menjadi ajang permainan antar aparatur penegak hukum dengan pihak yang terkait dalam proses penghentian penyidikan suatu perkara.

Selain itu dengan tidak diberikannya kewenangan  KPK  untuk mengeluarkan SP3 merupakan salah satu amunisi yang bisa digunakan oleh KPK dalam proses penyidikan kasus korupsi agar KPK dapat bekerja maksimal dan efisien.Untuk mencegah negosiasi terselubung antara oknum KPK dengan pihak-pihak yang terkait dalam hal ini tersangka kasus korupsi, sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam proses penyidikan yang dilakukannya.

Tidak diberikannya kewenangan KPK untuk mengeluarkan SP3 merupakan sikap kehatihatian yang harus sangat diperhatikan oleh KPK. Karena setiap kasus yang telah disidik oleh KPK akan terus berlanjut hingga ke ranah tingkat pengadilan untuk ditangani perkaranya. Dalam hal ini KPK diwajibkan untuk bekerja secara hati-hati dan maksimal berkaitan dengan masalah pembuktian baik dari awal proses penyelidikan hingga akhirnya menetapkan seseorang sebagai tersangka.

Namun seperti telah disinggung diatas, kewenangan KPK untuk bisa mengeluarkan SP3 sudah dilegalisasi melalui refisi UU KPK serta sudah dimanfaatkan dengan sebaik baiknya oleh KPK dengan dikeluarkannya SP3 untuk kasus mega kosupsi BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Sebentar lagi sangat mungkin dikeluarkan SP3 SP3 lainnya terutama kasus kasus korupsi kakap yang selama ini menjadi perhatian rakyat Indonesia.

Oleh karena itu boleh dikata dengan keluarnya SP3 oleh KPK tersebut sebagai awal kemenangan koruptor kakap di Indonesia. Sebagai pertanda kemenangan kubu yang dahulu begitu getol ingin merevisi UU KPK yang banyak ditentang mahasiswa.

Kini hasil revisi itu sudah menuai hasilnya. Bagi KPK sendiri tidak bisa disalahkan karena lembaga itu menjalankan perintah sesuai ketentuan Undang Undang yang menaunginya. Kalau kemudian kewenangan mengeluarkan SP3 itu kemudian dimanfaatkan dengan sebaik baiknya oleh KPK lalu  siapa yang harus dipersalahkannya ?. 

Diluar hal diatas,meskipun kewenangan KPK dalam menyidik Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung, sebagai penyelenggara negara telah gugur karena upaya hukum luar biasanya melalui peninjauan kembali (PK) ditolak Mahkamah Agung (MA), kiranya KPK tetap diharapkan dapat melanjutkan penyidikannya dan bukan menghentikannya. Karena  Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor memungkinkan KPK menyidik pihak swasta yang merugikan keuangan negara di atas Rp1 miliar nilainya. 

Selain itu, cara lain yang bisa dilakukan KPK adalah mengajukan gugatan perdata terhadap kasus tersebut jika dinilai tidak cukup alat buktinya. Cara ini bisa dilakukan dengan menyerahkan kasus itu untuk digugat secara perdata kepada Kejaksaan Agung dimana secara simultan KPK melakukan supervisi atas kasusnya.

Demi keadilan karena hilangnya uang negara yang bernilai triliunan rupiah seharusnya kasus BLBI memang tidak boleh ditutup begitu saja sebab kerugian negara itu begitu nyata . Tetapi maukah KPK melakukannya ?

(Editor\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar