ICW Ungkap Biang Kerok Hingga KPK Hentikan Kasus Korupsi Rp4,8 Triliun

Jum'at, 02/04/2021 22:21 WIB
KPK hentikan kasus dugaan korupsi BLBI yang menjerat Sjamsul Nursalim (Foto: konfrontasi)

KPK hentikan kasus dugaan korupsi BLBI yang menjerat Sjamsul Nursalim (Foto: konfrontasi)

law-justice.co - Langkah KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus dugaan korupsi surat keterangan lunas bantuan likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih disebabkan oleh putusan Mahkamah Agung. Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana selain itu, peneyebab lain sehingga kasus tersebut dihentikan akibat efek negatif revisi UU KPK.

Karena itu, dia tetap menuntut KPK melimpahkan berkas kasus Sjamsul Nursalim ke jaksa untuk digugat secara perdata.

"ICW menuntut agar KPK segera melimpahkan berkas kepada jaksa pengacara negara untuk kemudian dilakukan gugatan perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," kata Kurnia kepada wartawan, Jumat (2/4/2021).

Dia mengatakan Sjamsul Nursalim harus dimintai pertanggungjawaban atas dugaan tindak pidana korupsi terkait BLBI. Apalagi, katanya, kerugian negara di kasus ini mencapai Rp 4,5 triliun.

"ICW kerap memasukkan perkara BLBI sebagai tunggakan yang harus dituntaskan oleh KPK sejak lama," ujarnya.

Dia kemudian bicara soal Mahkamah Agung (MA) yang memvonis lepas eks Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung dalam kasus BLBI. Dia menuding putusan itu menjadi pemicu KPK menerbitkan SP3 kasus BLBI.

"Tidak bisa dimungkiri, selain karena dampak revisi UU KPK, pangkal persoalan lain penghentian penyidikan ini juga berkaitan langsung dengan Mahkamah Agung dan kebijakan Komisioner KPK. Untuk MA sendiri, kritik dapat disematkan tatkala lembaga kekuasaan kehakiman itu memutus lepas Syafruddin Arsyad Temenggung, mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional, dan kemudian diikuti penolakan permohonan peninjauan kembali (PK) dari KPK," ujarnya.

Dia menyebut putusan lepas MA itu keliru dan diwarnai kontroversi. Salah satunya, kata Kurnia, adalah kesimpulan majelis hakim yang menyebut perkara Syafruddin bukan perbuatan pidana.

"Padahal, dalam fakta persidangan pada tingkat judex factie sudah secara terang benderang menjatuhkan hukuman penjara belasan tahun kepada terdakwa. Lebih jauh lagi, perdebatan perihal pidana atau perdata seharusnya sudah selesai tatkala permohonan praperadilan SAT ditolak oleh Pengadilan Negeri. Sebab, waktu mengajukan permohonan praperadilan, SAT melalui kuasa hukumnya juga membawa argumentasi yang sama," ujarnya.

Dia juga menuding MA gagal dalam melihat kemungkinan menerima PK dari jaksa KPK. Padahal, katanya, banyak preseden MA menerima PK dari jaksa.

"Juga terdapat satu isu krusial, yakni pelanggaran etik oleh salah satu majelis hakim persidangan Temenggung, Syamsu Rakan Chaniago. Dapat dibayangkan, dua pekan sebelum putusan lepas itu dibacakan, hakim majelis itu justru berhubungan, bahkan bertemu langsung dengan kuasa hukum Temenggung, yakni Ahmad Yani. Padahal seorang hakim tidak dibenarkan berhubungan langsung atau tidak langsung dengan pihak-pihak yang sedang beperkara," ucapnya.

KPK sebelumnya menyetop kasus BLBI dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim. Keduanya ditetapkan KPK sebagai tersangka pada Senin (10/6/2019). KPK saat itu menduga kerugian negara akibat perbuatan Sjamsul Nursalim dan istri mencapai Rp 4,58 triliun.

Saat itu, Sjamsul Nursalim dan istri disangkakan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Sebagai informasi, BLBI merupakan skema pinjaman yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat krisis moneter 1998. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada Desember 1998, BI menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.

Salah satu bank yang mendapat suntikan dana adalah Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Nah, Sjamsul adalah pemegang saham pengendali BDNI.

Kini, kasus tersebut disetop KPK. Salah satu alasannya adalah agar ada kepastian hukum setelah penyelenggara negara dalam kasus ini, Syafruddin Arsyad Temenggung, divonis lepas oleh MA.

"Dengan mengingat ketentuan Pasal 11 UU KPK `Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara`, KPK berkesimpulan syarat adanya perbuatan penyelenggara negara dalam perkara tersebut tidak terpenuhi, sedangkan tersangka SN dan ISN berkapasitas sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan bersama-sama dengan SAT selaku penyelenggara negara, maka KPK memutuskan untuk menghentikan penyidikan perkara atas nama tersangka SN dan ISN tersebut," ucap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.

Plt Jubir KPK Ali Fikri juga menegaskan penghentian kasus ini sudah sesuai aturan. Dia juga mengatakan KPK telah mengajukan upaya hukum luar biasa, yakni peninjauan kembali (PK) terkait putusan lepas Syafruddin, namun ditolak MA.

"Kami memastikan penghentian perkara tersebut telah sesuai aturan hukum yang berlaku karena putusan akhir pada tingkat MA dalam perkara SAT menyatakan ada perbuatan sebagaimana dakwaan tapi bukan tindak pidana," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri kepada wartawan, Jumat (2/4).

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar