Militer Myanmar Tembak Bocah 7 Tahun, Aktivis Pro-Demokrasi Protes

Rabu, 24/03/2021 12:43 WIB
Aktivis pro Demokrasi Myanmar (Reuters)

Aktivis pro Demokrasi Myanmar (Reuters)

law-justice.co - Para aktivis Myanmar kembali menggelar aksi protes antikudeta pada Rabu (24/3), tapi kali ini aksi mereka berbeda dari biasanya. Mereka akan melakukan `serangan diam` dengan banyak bisnis tutup dan seruan agar orang-orang tinggal di rumah. Keputusan itu dilakukan usai kematian anak perempuan berusia 7 yang ditembak oleh pasukan keamanan di Mandalay.

Seperti dilansir Reuters, Rabu (24/3/2021) para pengunjuk rasa pro-demokrasi juga mengadakan aksi nyala lilin pada malam hari di distrik Yangon dan di Thahton, Negara Bagian Mon. Aksi itu dilakukan setelah staf yang berada di upacara pemakaman Mandalay mengatakan kepada Reuters pada hari Selasa (23/3), seorang anak perempuan berusia tujuh tahun meninggal karena luka tembak. Anak itu menjadi korban termuda sejauh ini dalam tindakan kekerasan yang dilakukan pasukan keamanan sejak kudeta militer 1 Februari lalu.

Dikutip dari Myanmar Now, saudara perempuan bocah itu menceritakan bahwa para tentara melepaskan tembakan ke ayahnya, namun tembakan itu mengenai korban yang duduk di pangkuan sang ayah di dalam rumah. Sementara itu, dua pria lainnya juga tewas di distrik itu.

Kini para aktivis pro-demokrasi mengubah taktik dan berencana untuk mengadakan mogok diam.

"Tidak boleh keluar, tidak ada toko yang buka, tidak bekerja. Semua tutup. Hanya untuk satu hari," kata seorang aktivis, Nobel Aung.

Postingan media sosial menunjukkan berbagai bisnis mulai dari ride-hailers hingga apotek rencananya akan ditutup.

Sebelumnya, juru bicara junta militer, Zaw Min Tun, mengatakan pada Selasa (23/3), sekitar 164 pengunjuk rasa telah tewas dan menyatakan kesedihan atas kematian itu, sehari setelah Uni Eropa dan Amerika Serikat memberlakukan lebih banyak sanksi terhadap kelompok atau individu yang terkait dengan kudeta.

Kelompok aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) mengatakan setidaknya 275 orang telah tewas terkait kekerasan yang dilakukan pasukan keamanan.

Zaw Min Tun menyalahkan para pengunjuk rasa atas terjadinya pertumpahan darah dan mengatakan sembilan anggota pasukan keamanan juga tewas. Dia mengatakan mogok kerja dan kondisi rumah sakit yang tidak beroperasi sepenuhnya telah menyebabkan kematian, termasuk akibat COVID-19. Zam Min Tun menyebut para demonstran "tidak pantas dan tidak etis".

Diketahui bahwa para demonstran terus menyerukan mogok kerja dan juga kampanye pembangkangan sipil, termasuk di antara pegawai negeri, yang telah melumpuhkan sektor-sektor ekonomi.

Juru bicara junta itu juga menuduh media yang menyebarkan "berita palsu" makin membuat panas kerusuhan. Pihaknya juga mengatakan para wartawan dapat dituntut jika mereka berhubungan dengan Komite yang Mewakili Pyidaungsu Hluttaw (CRPH), sisa-sisa pemerintahan Suu Kyi. Militer telah menyatakan CRPH sebagai organisasi ilegal dan mengatakan para anggotanya dapat dihukum mati.

Dalam sebuah konferensi pers, junta juga memperlihatkan sebuah video kesaksian mantan menteri utama Yangon, Phyo Min Thein. Ia mengatakan mengunjungi Aung San Suu Kyi beberapa kali dan memberikan sejumlah uang "kapanpun diperlukan".

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar