Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Skandal Suap Pejabat Pajak, Mengapa Terus Berulang?

Sabtu, 06/03/2021 12:29 WIB
Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (ist)

Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (ist)

law-justice.co - Ditengah upaya Pemerintah untuk menggenjot pemasukan negara dari sektor pajak, penyelewengan terus saja terjadi seolah olah tidak ada jeranya. Padahal mereka yang melakukan penyelewengan adalah pejabat yang mempunyai gaji dan tunjangan yang sangat tinggi diatas rata-rata yang diterima pejabat negara lainnya.

Penyelewengan kembali terungkap ketika tanggal 2 Maret 2021 yang lalu, KPK berhasil membeberkan adanya dugaan pegawai Ditjen Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang terlibat kasus suap pajak yang telah merek terima. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menuturkan jika modus suap pajak dalam kasus ini sama seperti kasus perpajakan lainnya, yakni pejabat pajak menerima sejumlah uang dari wajib pajak yang menjadi “pasiennya”.

Sehubungan dengan adany akasus ini, KPK telah meminta Direktorat Jenderal Imigrasi untuk mencegah enam orang termasuk dua aparatur sipil (ASN) Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan berpergian ke mancanegara. Hal ini menyusul penyidikan dugaan korupsi terkait perpajakan yang tengah diusutnya.

Seperti apa modus yang mereka lakukan untuk menggarong uang negara melalui wajib pajak yang menjadi “pasiennya”?, Mengapa Kejadian ini selalu berulang dan tidak ada efek jera bagi para pelakunya?

Modus Operandi

Banyak cara dapat dilakukan oleh pejabat pajak untuk mendapatkan uang disektor pajak yang ditanganinya. Setidaknya terdapat tiga pola kongkalingkong antara wajib pajak dan pejabat pajak dalam menjalankan aksi kejahatannya. Tiga pola ini yang biasanya sering ditemukan oleh aparat penegak hukum yang menangani perkaranya.

Pola pertama adalah negosiasi pembayaran pajak yang harus dilakukan oleh wajib pajak yang ditanganinya. Jika terjadi proses negosiasi, wajib pajak yang umumnya pengusaha atau perusahaan besar hanya perlu membayar pajak kurang dari setengah atau lebih kecil dari yang semestinya dibayar kepada negara. Adapun oknum pegawai pajak selaku pemeriksa pajak mendapatkan imbalan yang besar dari wajib pajak yang dibantunya.

Pola kedua, petugas pajak menjadi ”konsultan pajak” bayangan atau bekerja sama dengan konsultan pajak sebagai mitra. Dengan model ini, oknum petugas pajak akan menerima imbalan atau bahkan gaji bulanan dari wajib pajak atau konsultan pajak yang merasa dibantu pekerjaannya. Pegawai pajak akan memanipulasi laporan keuangan perusahaan atau wajib pajak sehingga beban kewajiban pajak yang dibayarkan kepada negara dapat ditekan seminimal mungkin nilainya.

Pola ketiga adalah kolusi dengan hakim pengadilan pajak atau pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak agar keberatan pajaknya dimenangkan perkaranya. Praktik ini memperbesar peluang bagi wajib pajak untuk memenangi sengketa pajak sehingga menguntungkannya.

Belum sterilnya Pejabat di lingkungan pajak sangat mungkin untuk mengabulkan keberatan pajak atau mengurangi beban wajib pajak dengan atau tanpa pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan logika. Belum sterilnya Pengadilan Pajak dari praktik praktek korupsi setidaknya dapat disimak melalui data kasus yang ditanganinya.

Dalam hal ini ICW (Indonesia Corruption Watch) pernah melakukan penelitian dimana hasilnya menunjukkan bahwa selama 2002 hingga 2009, dari 16.953 perkara
keberatan pajak yang diperiksa dan diadili di Pengadilan Pajak, sebanyak 13.672 berkas perkara atau sekitar 81 persen dimenangi oleh wajib pajak bukan oleh negara. Kekalahan negara di Pengadilan Pajak ini sudah barang tentu memberikan konsekuensi pada hilangnya potensi penerimaan pajak yang harus diterima oleh negara.

Dengan tiga modus operandi penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat pajak tersebut telah menggerus potensi pendapatan negara. Padahal saat ini sektor pajak merupakan andalan utama pemasukan pendapatan bagi negara Indonesia. Kondisi ini makin parah dengan masih banyaknya sumber sumber pendapatan negara dari sektor pajak yang tidak taat mematuhi kewajibannya.

Bisa jadi salah satunya karena kongkalingkong dengan pejabat pajak yang menanganinya. Sinyalemen adanya kongkalingkong tersebut tentunya sangat merugikan negara. Hal ini sebenarnya pernah diungkapkan oleh Abraham Samad yang perna menjadi Ketua KPK.

Sebagaimana diberitakan kompas.com, 7/9/2013, saat memberikan materi dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDI Perjuangan di Hotel Ecopark, Ancol, Jakarta, Samad menyebutkan bahwa masih banyak pengusaha di Indonesia yang tak membayar pajak dan royalti kepada negara. Dalam perhitungan KPK, potensi pendapatan negara sebesar Rp 7.200 triliun hilang setiap tahunnya.

Bila ditotal, kata Samad, pajak dan royalti yang dibayarkan dari blok migas, batubara, dan nikel pada setiap tahunnya dapat mencapai Rp20.000 triliun nilainya. "Bila dibagi ke seluruh rakyat, maka pendapatan rakyat Indonesia per bulan bisa mencapai Rp20 juta," ujarnya.

Namun, pendapatan sebesar itu tergerus karena pemerintah tidak tegas dalam regulasi dan kebijakannya. Hilangnya penapatan negara itu bisa jadi juga karena danya “permainan” antara wajib pajak dengan pejabat pajak yang menanganinya.

Terkait dengan penyelewengan pajak yang saat ini sedang ditangani oleh KPK, nampaknya pola pertama yang sedang dipraktikkannya. Seperti dinyatakan oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pada Selasa, 2 Maret lalu, kasus ini diawali dari wajib pajak yang memberikan sejumlah uang, dengan tujuan supaya nilai pembayaran pajaknya menjadi rendah nilainya.

“Jadi selalu ada imbal balik ketika itu menyangkut perpajakan itu ada kepentingan PT dengan pejabat pajak, kalau mau pajaknya rendah ada upahnya kan gitu," jelasnya seperti dikutip media selasa (2/3/2021).

Selalu Berulang

Cerita mengenai penyelewengan para pejabat pajak yang menggerogoti potensi pendapatan negara sudah berlangsung sejak lama. Salah satu kasus yang sangat fenomenal pernah terjadi saat Gayus Tambunan ditangkap oleh KPK. Pembajak pajak Gayus Tambunan boleh dikata menjadi etape pembuka mengiringi riuh kasus pembajak pajak di negeri kita.

Kisah Gayus heboh, sebab ia hanya pegawai biasa di Ditjen Pajak namun diketahui mempunyai uang Rp25 miliar di rekeningnya plus uang asing senilai 60 miliar dan perhiasan senilai Rp14 miliar di brankas bank tempat ia menyimpan hartanya. Kasus Gayus yang mencuat di tengah benang kusut penegakan hukum perseteruan KPK dan Polri dalam babakan Cicak vs Buaya tahun 2009 lalu, bahkan melibatkan 12 Pegawai dan dua orang pejabat Ditjen Pajak, yaitu mantan Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta VII Bahasyim Assifie dan Mantan Direktur Keberatan dan Banding Direktorat Jenderal Pajak Bambang Heru Ismiarso serta
pejabat teras lainnya.

Selain Gayus, nama lain yang juga menorehkan nokhtah hitam dunia perpajakan Indonesia adalah Tommy Hidratno Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi Kantor Pajak Sidoarjo, Anggrah Suryo yang saat itu menjabat sebagai Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Bogor serta seorang pegawai biasa di Ditjen Pajak yang bernama Dhana Widyatmika. Rentetan terungkapnya kasus pembajak pajak ini saat itu telah memunculkan skeptisme publik terhadap kinerja lembaga yang selama ini bertanggungjawab dalam pemungutan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara.

Skeptisme yang bahkan sempat memuncak menjadi ancaman gerakan boikot pajak akibat hilangnya rasa percaya pada kinerja lembaga yang menanganinya. Belum hilang ingatan orang pada kasus Gayus Tambunan, muncul lagi kasus penyelewengan sektor pajak yang dilakukan oleh pejabat negara.

Kali ini menimpa seorang yang bernama Hadi Poernomo yang merupakan mantan Dirjend Pajak sekaligus mantan Ketua BPK. KPK menetapkan Hadi Poernomo sebagai tersangka dugaan korupsi terkait dengan keberatan pajak yang diajukan oleh Bank Central Asia (BCA).

Hadi diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan atau penyalahgunaan wewenang dalam kapasitasnya sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak periode 2002-2004. Akibat besaran pajak yang tidak jadi dibayarkan BCA, negara menderita kerugian senilai Rp375 miliar.

Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Hadi Poernomo pada 2010 juga pernah membuat heboh karena memiliki kekayaan yang luar biasa. Berdasarkan data KPK, dari total kekayaan senilai Rp38 miliar, sekitar 97,6 persen kekayaannya tercatat berasal dari pemberian atau hibah.
Lepas dari segala tudingan atau spekulasi yang muncul, kiranya patut diapresiasi langkah berani KPK menetapkan Hadi Poernomo, mantan Ketua BPK dan Dirjen Pajak, sebagai tersangka.

Pasca kasus Gayus Tambunan dan Hadi Poernomo, muncul lagi kasus penyelewengan pajak yang dilakukan oleh para pejabatnya. Pada 2019 lalu misalnya, KPK telah mengungkap skandal suap pajak yang menyeret empat pegawai pajak dan seorang komisaris di PT Wahana Auto Ekamarga (WHE).

Terkait dengan kasus PT WHE ini sebelum diungkap KPK, pihak Kementerian Keuangan sebenarnya telah melakukan penindakan terhadap empat orang pegawainya. Dua orang sudah dikenakan hukum disiplin, sedangkan yang dua lainnya dibebastugaskan dan menunggu proses untuk mendapatkan sanksi selanjutnya.

Dalam kasus PT. WHE ini alih-alih perusahaan membayar pajak ke negara, justru negara yang harus membayar klaim kelebihan bayar pada perusahaan yang merupakan perusahaan modal asing (PMA). Bisa dibilang, upaya akal-akalan pajak PT WHE ini agak mirip dengan perkara penyuapan terhadap Handang Soekarno, eks Kasubdit Bukper Ditgakum Ditjen Pajak yang ditangkap KPK seusai menerima "angpao" dari Ramapanicker Rajamohanan Nair, Country Director PT EK Prima Ekspor Indonesia. Modusnya sama yakni dengan membantu permasalahan pajak korporasi yang menjadi “pasiennya”.

Di pengadilan, saat Handang disidang, dia tak hanya mengurus tax amnesty yang ditolak, dia juga mengurus pengajuan restitusi hingga bukper yang sebenarnya tengah dilakukan di KPP PMA Enam Kalibata. Bedanya dengan skandal PT WHE, dalam dokumen dakwaan KPK, kasus ini menyeret sejumlah pejabat di otoritas pajak dan orang dekat istana. Selain kasus Handang, perkara lainnya, yang sempat menjerat petugas pajak yakni pemerasan pajak PT EDMI salah satu penanaman modal asing (PMA).

Bedanya dengan dua kasus di atas, posisi PT EDMI dalam perkara ini adalah korban pemerasan yang dilakukan oleh tiga pegawai pajak di KPP Kebayoran Baru Tiga. Ketiganya kini telah divonis karena memeras atau meminta uang lelah, setelah mengurus restitusi milik PT Electronic Design and Manufacturing International (PT.EDMI).

Kini ditengah upaya Menteri Keuangan Sri Mulyani mengais ngais pemasukan uang bagi negara, muncul lagi skandal pajak yang melibatkan para pejabatnya. Pada tanggal 2 Maret 2021 lalu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mensinyalir adanya suap pajak yang melibatkan pejabat pajak pada hal tunjangan yang diberikan kepadanya gede luar biasa bisa mencapai hingga Rp 152 juta.

Tak Ada Efek Jera

Terus berulangnya kejahatan di bidang perpajakan tidak lepas dari ringannya hukuman yang dijatuhkan pada para pelakunya. Sebagai contoh terdakwa kasus mafia pajak Gayus Tambunan dihukum 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta. Hukuman ini jauh lebih ringan dengan tuntutan jaksa yang 20 tahun dan denda Rp 500 juta.

Nasib mujur juga dialami oleh Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo yang memenangkan dua kali dua sidang pra peradilan yaitu melawan KPK di praperadilan dan melawan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) di Mahkamah Agung (MA). Dua kali kemenangan itu diraihnya tanpa pengacara.

Pada 26 Mei 2015, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan Hadi Poernomo atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK. Hakim tunggal yang memimpin sidang, Haswandi, mengatakan perkara Hadi Poernomo tidak termasuk tindak pidana korupsi dan dinyatakan tidak sah penetapan tersangka Hadi Poernomo oleh KPK.

Kemudian KPK mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan praperadilan PN Jaksel tersebut, namun Mahkamah Agung (MA) menolaknya karena permohonan PK tidak boleh diajukan oleh jaksa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan mengacu pula pada Surat Edaran MA (SEMA) yang menyebut bahwa pihak yang kalah dalam gugatan praperadilan tak boleh mengajukan PK.

Dalam perkara lainnya, para pelaku penyelewengan pajak sering dihukum ringan tidak sesuai dengan harapan publik hukuman. Contohnya Tommy Hindratno yang terkena OTT KPK saat menangani kasus pajak PT Bhakti Investama Tbk. Awalnya, Tommy dihukum 3,5 tahun penjara saja oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Kemudian oleh Mahkamah Agung (MA), hukuman itu dirubah menjadi 10 tahun penjara.

Selanjutnya dua pegawai Ditjen Pajak, Eko Darmayanto dan Muhammad Dian Irwan Nuqisra nekat menerima Rp 3 miliar terkait pengurusan pajak PT Delta Internusa, dan sebesar 150 ribu dolar AS untuk pengurusan kasus pajak PT Nusa Raya Cipta (NRC). Keduanya masing-masing divonis 9 tahun penjara.

Handang Soekarno juga kena OTT yang dilakukan KPK. Ia menerima suap dari pengusaha untuk menurunkan nilai pajak. Handan akhirnya dihukum 10 tahun penjara, 5 tahun di bawah tuntutan KPK.

Ada lagi penyidik Pajak PNS, Pargono Riyadi juga kena OTT KPK. Ia kemudian divonis 4,5 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Pargono terbukti memeras wajib pajak dalam pengurusan pajak pribadi Asep Yusuf Hendra Permana.
S
elain hukuman yang relatif ringan, mereka yang telah dimasukkan ke penjara karena kejahatannya masih bisa main main untuk mensiasati hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya. Mungkin karena mereka sudah berhasil mengumpulkan banyak uang sehingga bisa menjadikan hukum sebagai mainannya.

Contoh yang sangat mencolok misalnya terjadi pada kasus Gayus Tambunan yang pernah menghebohkan jagad penegakan hukum di Indonesia karena ulahnya. Gayus yang sedang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung, Jawa Barat, pada 9 September 2015 lalu diketahui keluar penjara.

Belakangan diketahui, Gayus keluar penjara karena sedang menghadiri sidang gugatan cerai istrinya, Milana Anggraini di Pengadilan Agama Jakarta Utara. Keluarnya Gayus dari dalam penjara ini bukan hanya sekali ini saja kejadiannya. Pegawai pajak golongan rendah dengan harta berlimpah (menurut catatan ia punya harta Rp74 miliar) ini sudah beberapa kali ketahuan keluar masuk penjara.

Pada 2010 misalnya, pada saat ia di sel di Rumah Tahanan Markas Komando Brimob Polri Kelapa Dua, Depok, ia dengan leluasa pergi ke Bali untuk menonton pertandingan tenis Commonwealth Bank Tournament of Champions di Nusa Dua. Keluarnya Gayus ini terekam kamera fotografer Kompas Agus Susanto dimana saat itu Gayus terlihat mengenakan wig sedang melihat pertandingan tenis bersama istrinya.

Bagaimana ia bisa leluasa keluar tahanan saat itu? Dari hasil pemeriksan terungkap ia kongkalikong dengan petugas yang seharusnya menjaganya.

Majalah Tempo pernah menulis, untuk bisa keluar sel itu, Gayus harus merogoh kocek dengan nilai ratusan juta. Baru empat bulan mendekam di Rutan Mako Brimob, pada Juli 2010, Gayus menyuap Kepala Rutan, Komisaris Iwan Siswanto, sebesar Rp 10 juta agar bisa keluar penjara 3 hari lamanya.

Karena tak ketahuan, Gayus kembali keluar dari Rutan Mako Brimob sebanyak 19 hari pada Agustus 2010. Kali ini dia menyuap petugas Rp 70 juta.

Selanjutnya pada September 2010, Gayus kembali keluar dari penjara selama 21 hari dan untuk ini ia kembali merogoh Rp70 juta kepada Kompol Iwan Siswanto namanya. Saat itu ia diketui pelesir ke Makau dan Kuala Lumpur menggunakan identitas palsunya.

Dalam sebulan atau selama 31 hari, pada Oktober 2010, Gayus hanya sehari mendekam di penjara, yakni tanggal 25. Sisanya, dia hadir ke persidangan dan keluyuran diluar penjara. Sebagai maharnya, Gayus `menghadiahi` Kompol Iwan Siswanto duit Rp114 juta.

Gayus sendiri mengaku keluar- masuknya dia dari tahanan Mako Brimob itu karena terinspirasi tahanan lain yang juga melakukan hal serupa.

Dua Pilihan

Tingginya gaji dan tunjangan yang diterima pejabat pajak ternyata memang tidak membuat mereka sadar diri untuk berkhidmad mengabdi pada bangsa dan negara. Sebagian dari mereka masih tetap memanfaatkan jabatan yang melekat padanya untuk memperkaya diri dengan menambah pundi-pundinya.

Parahnya mereka yang kemudian tertangkap dan diadili , hukuman yang diterima relative ringan dibandingkan kejahatan yang telah dilakukannya. Makanya banyak merasa geram menyaksikan hukuman yang ditimpakan kepada mereka. Apalagis etelah dihukum, mereka masih bisa “main main” keluar penjara berkat kekayaan yang telah berhasil di kantonginya.

Padahal kejahatan korupsi yang telah dilakukannya berdampak luar biasa karena ulah para koruptor yang menggerogoti dana negara, rakyat pun jadi sengsara hidupnya. Abraham Samad yang pernah menjadi ketua KPK bahkan mengatakan salah satu penyebab kemiskinan di Indonesia adalah karena korupsi yang merajalela. Menurut perhitungannya, jika tidak ada korupsi, pendapatan per kapita masyarakat Indonesia mencapai puluhan juta rupiah per bulannya.

Koruptor telah merampas hak rakyat untuk hidup sejahtera di negeri yang kaya raya. Banyak yang mengusulkan agar kejahatan serupa tidak terulang kembali di masa depan sebaiknya mereka yang terbukti bersalah dihukum mati saja. Kalau mereka dihukum mati diharapkan akan memberikan efek jera kepada para calon pelaku lainnya. Kalau hukuman mati seperti di China diterapkan di Indonesia pasti mereka akan berpikir ulang untuk melakukan kejahatannya.

Tapi usul dari sebagian besar masyarakat ini kelihatannya belum mendapat perhatian serius untuk direalisasikan didunia nyata. Faktanya baru penjahat teroris dan narkoba saja yang dihukum mati karena ulahnya. Alhasil hukuman mati untuk para koruptor sampai sekarang masih menimbulkan pro kontra sehingga tidak menimbulkan efek jera.

Paling tidak kalau hukuman mati belum bisa diterapkan kepada para pelaku korupsi maka seyogyanya ada alternatif lainnya agar kejahatan tidak terulang untuk yang kesekian kalinya. Salah satu alternatifnya adalah membuat mereka menjadi miskin tak punya harta.

Makanya jika ada koruptor yang sudah terbukti secara sah dan meyakinkan menyelewengkan uang negara untuk memperkaya diri sendiri, sita saja seluruh harta dan uangnya, bahkan yang disembunyikan mengatasnamakan orang lain supaya diusut sampai ke akar-akarnya. Sementara si koruptor tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan mendekam di dalam penjara maka sejalan dengan itu seluruh harta benda dan uang yang tidak logis pemilikannya, disita untuk negara.

Misalnya seorang mantan pegawai pajak yang diketahui memiliki banyak rumah mewah dan uang miliaran rupiah, sejak beberapa tahun lalu sudah mendekam di penjara. Mungkin dalam waktu yang tidak lama lagi dia akan bebas dari penjara. Dia akan dengan bebas dan sumringah menjalani hidup dengan harta dan uang hasil rampokannya. Ini rasanya tidak adil dan melukai nurani masyarakat Indonesia.

Maka, alangkah eloknya bila seluruh uang dan harta yang tidak jelas asal-usulnya itu disita semuanya untuk negara. Lalu untuk keadilan, kepadanya diberikan rumah yang layak, dan uang pensiun/pesangon sesuai besaran gaji pokoknya saja. Selanjutnya biarkan dia berjuang dari nol untuk meneruskan hidupnya, dengan jerih payahnya sendiri tentunya. Tapi, proses hukum terus berjalan sekalipun uang negara sudah disita, yang bersangkutan tetap harus dihukum penjara, sesuai timbangan kesalahannya.

Kalau semua koruptor dimiskinkan, pasti semua pejabat berpikir ribuan kali untuk melakukan penyelewengan uang rakyat dengan memanfaatkan poisi jabatannya. Jangan sampai terjadi seorang koruptor menjadi miskin bukan karena uang yang telah dikorupsinya kembali ke negara tapi habis disikat oleh aparat penegak hukum yang menanganinya.

Kemungkinan terakhir ini kabarnya sering terjadi dimana pelaku korupsi menjadi miskin karena telah dijadikan “ATM” oleh aparat yang menanganinya. Kalau ini yang terjadi maka untuk yang kesekian kalinya kesialan menimpa rakyat Indonesia . Mereka akan tetap saja hidup pas pasan ditengah sumberdaya alamny yang konon sangat kaya raya.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar