H. Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Kehadiran Polisi Virtual Semoga Tidak Bikin Mual

Senin, 01/03/2021 06:35 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

law-justice.co - Kepolisian Republik Indonesia merasa perlu mengawasi media sosial, supaya tidak diselewengkan penggunaannya. Sehingga media sosial bukan menjadi alat untuk adu domba untuk memecah anak anak bangsa tetapi bisa dijadikan sebagai sarana edukasi atau mendidik rakyat Indonesia dalam bermedia.

Oleh karena itu sejak Rabu 24 Pebruari 2021 yang lalu, Virtual Police atau Polisi Virtual resmi diluncurkan oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri yang menjadikan pegiat media sosial sebagai sasarannya. Pembentukan unit ini terjadi pasca Presiden Jokowi memberikan pernyataan akan perlunya dilakukan revisi UU ITE yang sudah sekian lama berlaku di Indonesia.

Gagasan pembentukan polisi virtual dikemukakan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo saat memimpin rapat pimpinan Kepolisian Republik Indonesia. Sebagai aturan pelaksana, Kapolri telah mengeluarkan Surat Edaran nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif tertanggal 19 Februari 2021.

Dengan adanya polisi virtual ini maka pengguna media sosial tidak lagi bisa seenaknya menggunakan haknya untuk berekspresi di sosial media. Pegiat media sosial mau tidak mau harus lebih berhati hati mengunggah “karyanya” sebab akan ada polisi virtual yang berpatroli di jagat dunia maya.

Apa sesungguhnya tujuan adanya polisi virtual di dunia maya ? Bagaimana cara bekerjanya ? Mengapa kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra ?. Dimana kira kira terletak kunci persoalannya ?

Urgensi Polisi Virtual

Seperti dinyatakan oleh Irjen Pol Raden Prabowo Argo Yuwono selaku Kepala Divisi Humas Polri bahwa Polisi Virtual merupakan upaya Korps Bhayangkara untuk menyampaikan edukasi pada masyarakat agar tidak membagikan konten-konten yang bersifat melanggar hukum melalui sosial media.

Menurutnya para polisi virtual itu akan melakukan edukasi kepada para pengguna media sosial yang kedapatan melanggar UU ITE untuk diberi penjelasan tentang potensi pasal yang dilanggar beserta ancaman hukumannya.

"Sehingga begitu ada kalimat-kalimat yang kurang pas yang kemudian melanggar UU ITE, maka virtual police yang kemudian akan menegurnya. Setelah ditegur kemudian akan dijelaskan bahwa anda memiliki potensi melanggar pasal sekian dengan ancaman hukuman sekian. Selanjutnya diberikan saran sebaiknya dia harus melakukan apa," kata Sigit saat Rapim TNI-Polri 2021, seperti dikutip Kompas Kamis (18/2/2021).

Polisi virtual diluncurkan Polri sebagai upaya mencegah maraknya laporan dugaan pelanggaran hukum berbasis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di dunia siber Indonesia.

Dengan demikian tugas polisi virtual ini mengawasi konten-konten yang memiliki indikasi atau mengandung hoaks, hasutan, serta ujaran kebencian di berbagai platform (Instagram, Facebook, dan Twitter) atau platform lainnya.

Secara garis besar,cara kerja polisi virtual di dunia maya ini dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Memberikan peringatan ke akun-akun media sosial yang membagikan konten-konten yang dianggap melanggar hukum setelah mempertimbangkan para pendapat ahli dibidangnya.

2. Saat ada akun yang mengunggah tulisan atau gambar yang mengandung unsur yang diduga melanggar pidana maka tulisan atau gambar tersebut akan disimpan oleh petugas untuk kemudian dikonsultasikan dengan para ahli (ahli pidana,Ahli ITE, dan ahli bahasa)

3. Jika para ahli menyampaikan konten tersebut mengandung unsur pelanggaran pidana, maka tahap selanjutnya yaitu diajukan ke bagian direktur siber untuk di proses ke tahap berikutnya

4. Tahap berikutnya yaitu peringatan polisi virtual dikirim secara resmi melalui direct message ke akun yang bersangkutan yang menjadi targetnya

5. Peringatan Polisi Virtual dikirim melalui direct message karena peringatan tersebut bersifat rahasia dan tidak boleh diketahui oleh pihak pengguna lainnya. Sejauh ini dikabarkan pihak kepolisian telah memberikan peringatan 12 kali via DM (direct message) atau pesan langsung ke akun-akun sosial media yang diduga membagikan informasi hoaks alias dusta.

6. Setelah mendapatkan peringatan, pemilik akun akan diminta untuk menghapus konten yang berpotensi melanggar pidana tersebut dalam waktu 1x24 jam lamanya. Apabila peringatan tersebut tidak diindahkan pemilik akun, penyidik akan memberikan peringatan kembali untuk yang kedua kalinya

7. Jika masih tidak ada perubahan setelah peringatan kedua dilayangkan, akan dilakukan pemanggilan pemilik akun oleh kepolisian untuk diklarifikasi agar menjadi jelas duduk persoalannya. Dalam hal ini upaya penindakan akan dilakukan sebagai langkah terakhir setelah dilakukan upaya mediasi dan restorative justice oleh kepolisian yang memeriksanya

Dilihat dari sisi cara kerjanya, memang terkesan nuansa persuasifnya. Penindakan hukum di tempatkan pada ordo terakhir setelah tahapan persuasif telah dilakukan pada tahapan sebelumnya.

Namun akan menjadi pertanyaan kemudian ketika sudah sampai pada tahapan implementasinya. Mengingat polisi virtual ini juga dijalankan oleh aparat ditingkat bawah yang kadang kadang kurang memahami batasan ruang lingkup fungsi dan tugasnya.

Memunculkan Pro dan Kontra

Munculnya polisi virtual disinyalir sebagai bagian dari langkah untuk menghindari praktek saling lapor, yang bukan oleh "korbannya" sendiri sehingga menimbulkan “kekacauan” karena ada pihak yang merasa dirugikan hak haknya. Akhirnya terjadilah keramaian dalam dunia maya yang kemudian dibawa ke dunia nyata karena ada yang berhasil membuat keributan disana.

Keributan keributan itu bisa berpotensi membuat kondisi bangsa terpecah, dan menyita waktu presiden dan Kepolisian nantinya. Padahal masih banyak permasalahan bangsa yang lebih penting dan prioritas yang harus dikedepankan untuk penanganannya .

Karena itu kehadiran polisi virtual patut disambut dengan gembira sebagai salah satu sarana untuk menjaga keharmonisan kehidupan bangsa. Dukungan kehadiran polisi virtual antara lain disuarakan oleh Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS Achmad Dimyati Natakusumah. Ia mendukung langkah Polri untuk meluncurkan virtual police sebagai ikhtiar polisi mengedukasi masyarakat saat bersosial media.

"Oh malah lebih bagus, jangan gini ya dulukan ada anekdot polisi ngumpet di lampu merah, terus ada pelanggaran pripit (bunyi peluit). Ini nggak, ini beda masanya Pak Kapolri Sigit," kata Dimyati kepada Liputan6.com, Jumat (26/2/2021).

Menurut Dimyati, virtual police besutan Polri di bawah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mempunyai semangat persuasif dalam penegakan hukumnya. Di mana polisi mengutamakan pencegahan ketimbang penindakan kepada pihak yang menjadi targetnya. Semangat ini juga senapas dengan agenda keadilan restorative yang telah dijanjikannya.

Dukungan kehadiran polisi virtual juga disampaikan oleh Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Korpolkam) M. Azis Syamsuddin yang mengapresiasi dibentuknya Polisi Virtual atau "Virtual Police" yang diprakarsai Kepolisian Indonesia. Namun demikian ia mengingatkan, kehadiran "Virtual Police" tersebut harus tetap memperhatikan hak masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya.

“Saya mengapresiasi kehadiran `Virtual Police` untuk menjaga pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) di dunia maya. Namun saya mengingatkan Kepolisian untuk tetap memperhatikan hak-hak masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya," kata Azis dalam keterangan tertulis seperti dikutip Parlementaria, Kamis (25/2/2021).

Sementara itu Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mengapresiasi langkah Polri membentuk polisi virtual untuk mengawasi pengguna sosial media. Dengan mengedepankan pendekatan preemtif dan preventif, ia berharap angka kriminalisasi berbasis UU ITE bisa ditekan jumlahnya."Dengan demikian, lewat edukasi, masyarakat akan menjadi paham dan menekan jumlah konflik serta pelaporan," kata Poengky seperti dikutip Alinea.id, Rabu (24/2).

Meskipun ada yang mendukung namun banyak juga yang mengkritisinya. Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Damar Juniarto seperti dikutip oleh media, menilai ada hal yang perlu dikritisi lebih lanjut terkait dengan adanya polisi virtual yang melakukan patrol di dunia maya. Melalui kehadiran unit tersebut, negara justru menerapkan konsep digital panopticon ataupun orwellian state, dengan terus memantau apa yang dilakukan warganya.

Konsep tersebut kata Damar, justru dapat memberangus kebebasan berpendapat masyarakat serta menimbulkan ketakutan baru di dunia maya. Hal tersebut tercermin melalui pernyataan kepolisian yang mengatakan akan langsung mengoreksi bila ada konten yang dianggap keliru atau tidak benar isinya.

"Ini justru malah menimbulkan ketakutan baru, di mana polisi bisa hadir sewaktu-waktu di ruang privat (digital) warga. Tanpa kehadiran polisi langsung saja, warga sudah jeli dengan ancaman UU ITE, apalagi dengan cara yang seperti ini," katanya. Kondisi ini, lanjut Damar, juga berpotensi meniadakan ruang pembelaan terhadap mereka yang dinilai kepolisian telah melanggar UU ITE, sehingga polisi virtual bertindak mendahului proses peradilan/ pro justitia.

Selain itu, ia juga mengkritisi polisi virtual yang memberikan ruang bagi kepolisian untuk lebih jauh masuk ke ranah privat warga. Urusan percakapan yang juga ikut dipelototi oleh kepolisian dinilai Damar justru dapat membuat masyarakat semakin enggan untuk mendiskusikan kebijakan pemerintah yang berkuasa.

Sementara itu, peneliti bidang kepolisian dari dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto justru mempertanyakan alasan kepolisian membentuk unit tersebut. Sebab, meski rencana ini bagus untuk menjawab tantangan era 4.0, namun menurut Bambang, pada pelaksanaannya unit ini justru hanya berfokus pada penerapan UU ITE dalam media sosial semata.

Padahal kejahatan siber lain seperti pencurian identitas, fraud, money game, dan skema ponzi justru lebih mendesak untuk ditangani oleh kepolisian dengan segera. Karena itu, Bambang mengatakan, akan lebih baik jika kepolisian fokus pada tupoksinya yakni dalam bidang penegakan hukum yang ada tidak perlu menambah kerjaan baru dengan memelototi dunia maya.“Karena itu, sebaiknya virtual police ini diarahkan untuk menangani kejahatan-kejahatan siber yang sudah sangat merugikan masyarakat,” katanya.

Sementara itu Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) melalui Rivanlee Anandar menilai, keberadaan virtual police ini ironis di tengah ketakutan masyarakat karena ancaman UU ITE. Virtual police justru semakin membuat orang takut karena dipantau polisi ketika menyampaikan ekspresinya."Kalau UU ITE disebut bisa mengganggu demokrasi, lah ini malah memberi ruang virtual police aktif. Makin takutlah orang komentar," ujar Rivan seperti dikutip Tempo, Selasa, 23 Februari 2021.

Jangan Bikin Mual

Munculnya polisi virtual yang kemudian menimbulkan pro dan kontra adalah wajar wajar saja. Demikian juga munculnya optimisme dan kekhawatiran sehubungan dengan adanya ronda di sosial media oleh polisi virtual kiranya bisa dimengerti adanya.

Oleh karena itu kita patut mengapresiasi gagasan Kapolri baru untuk mengaktifkan polisi virtual dalam rangka menekan penyebaran hoak, berita bohong, ujaran kebencian dan jenis jenis pelanggaran hukum lainnya di dunia maya.

Namun kiranya perlu diperhatikan beberapa hal agar tugas polisi virtual itu nantinya tidak terjadi penyelewengan sehingga maksud baik itu menjadi kontra produktif pada akhirnya. Jangan sampai keinginan untuk menegakkan hukum dalam menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat justru dilakukan dengan melanggar hukum dan melanggar hak azasi manusia.

Yang Pertama, batasi kewenangannya. Dalam hal ini Polri perlu mendiskripsikan tugas dan fungsi polisi virtual secara lebih terperinci supaya lebih dipahami oleh aparat pelaksananya. Karena kalau tidak maka kehadiran polisi virtual malah akan membatasi kebebasan bereskpresi di dunia maya. Jika polisi virtual ini kemudian menyerempet juga urusan pembatasan atau restriksi atas kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara maka ini akan kontraproduktif dengan upaya menjaga demokrasi di negara kita

Yang Kedua, tingkatkan kapasitasnya. Guna meminimalisasi kemungkinan praktek praktek kriminalisasi maka perlu peningkatan kapasitas dan integritas personel polisi virtual yang akan menjalankan tugasnya. Kapasitas dan integritas ini penting agar supaya aparat yang diberikan tugas sebagai polisi virtual tidak seenaknya menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya

Yang Ketiga, Libatkan Pakar. Dalam menjalankan tugasnya, Polri perlu melibatkan pakar pidana, ahli bahasa, serta ahli informasi dan teknologi (IT) dalam menggarap kasus yang ditanganinya. Jangan menafsirkan sendiri suatu ketentuan pasal atau ayat dalam UU IT yang bisa membuat masyarakat menjadi curiga. Aparat yang berutugas ini juga harus dipastikan tidak digunakan kepentingan politik rezim penguasa, semisal diperintahkan membatasi narasi-narasi yang berkembang di media sosial atau memata-matai warganet yang mengkritik penguasa.

Yang Ke empat, Sanksi tegas bagi polisi virtual yang menyalahgunakan kewenagnannya. Dalam hal ini harus ada aturan yang jelas untuk memproses polisi virtual yang menyelewengkan wewenangnya, semisal menggarap kasus berbasis pesanan dengan tujuan untuk menjebloskan seseorang agar bisa ,masuk penjara. Ketiadaan sanksi yang jelas bisa membuat polisi virtual untuk menyelewengkan mandat yang diembankan kepadanya.

Yang Ke lima, Perlu Kriteria Rinci Suatu Pelanggaran. Kiranya dibutuhkan adanya penjelasan lebih terperinci tentang kriteria atau batasan-batasan bagi polisi saat melabeli konten di medsos yang dinilai melanggar ketentuan ketentuan yang ada. Jika tidak, adanya virtual police hanya akan memperburuk "bias" yang sebelumnya telah ditimbulkan pasal karet UU ITE yang rencananya akan direvisi isinya.

Yang Ke enam, tidak tebang pilih dalam penerapannya. Selama ini UU ITE terkesan cherry picking alias tebang pilih dalam penerapannya. Tajam ke oposisi dan rakyat jelata, tetapi kerap tumpul ke penguasa dan orang kaya. Kejadian kejadian semacam itu sudah banyak sekali contohnya mulai kasus Abu Janda, Denny Siregar, Dewi Tanjung dan buzzer buzzer penguasa lainnya. Mereka terkesan kebal hukum karena berlindung dibalik kepentingan penguasa.

Justru point terakhir inilah yang paling menentukan warna kehadiran polisi virtual yang akan meronda dunia maya. Karena selam mereka tidak diproses hukum maka apapun yang dilakukan oleh polisi virtual akan dipandang dengan sikap curiga.

Alhasil, keadilan dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparat ini menjadi kunci utama untuk suksesnya kehadiran polisi virtual di dunia maya. Sebab hal ini terkait dengan kepercayaan rakyat yang selama ini telah menyaksikan penegakan hukum tumpul keatas tajam kebawah dan itu sudah banyak faktanya.

Kalau catatan catatan tersebut tidak diindahkan terutama point terakhir tentang keharusan untuk tidak adanya tebang pilih dalam penerapan hukumnya maka kehadiran polisi virtual justru bisa berpotensi menjadi sumber dari ketidakadilan baru di negara kita. Alih-alih menciptakan kamtibmas di masyarakat, hal itu justru bisa melahirkan situasi baru yang tidak aman dan tidak tertib, karena keadilan tidak ditegakkan sebagaimana mestinya.

Kiranya kita semua sepakat bahwa yang namanya hoaks, berita bohong, ujaran kebencian dan bentuk bentuk pelanggaran hukum lainnya tidak seharusnya ada di sosial media. Namun kita juga sepakat bahwa untuk memberantas itu semua harus dilakukan secara adil dan tidak tebang pilih apalagi untuk kepentingan pihak pihak tertentu saja.

Rakyat tentu akan menyambut baik kehadiran polisi virtual selama keadilan ditegakkan dengan sebenar benarnya. Bukan keadilan yang hanya dinikmati oleh segelintir orang atau kelompok tertentu saja. Sebab selama keadilan tidak ditegakkan maka kehadiran polisi virtual hanya akan membuat keresahan baru dan bahkan rasa mual tentunya.

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar