Mahalnya Biaya Politik Membuka Celah Perilaku Koruptif

Senin, 01/03/2021 04:35 WIB
Pengamat politik Karyono Wibowo/ Foto:Instagram/Karyono Wibowo

Pengamat politik Karyono Wibowo/ Foto:Instagram/Karyono Wibowo

law-justice.co - Kasus korupsi yang menimpa Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah menyentakkan banyak pihak. Dinilai sebagai orang yang berintegritas, ternyata KPK memiliki bukti kuat untuk menjerat kader PDIP itu.

Pengamat Politik yang Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menjelaskan dengan kejadian kasus Nurdin Abdullah menunjukkan masih ada celah korupsi. Bahkan kata dia, celah itu makin terbuka lebar dengan makin mahalnya biaya politik pilkada.

"Banyaknya kasus korupsi menunjukkan celah korupsi masih terbuka lebar. Untuk mengatasinya tidak cukup dengan membuat regulasi. Selain regulasi diperlukan tindakan preventif dan penindakan. Itupun masih belum cukup efektif jika hulunya tidak diselesaikan," ungkap Karyono kepada Law-Justice.co, Minggu, 28 Februari 2021.

Karyono juga menjelaskan, sudah ratusan kepala daerah yang terjaring korupsi semenjak pilkada langsung diselenggarakan pada tahun 2005.

"Berdasarkan catatan KPK per Agustus 2020 jumlah kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi mencapai 300 orang sejak pilkada langsung 2005," jelasnya.

Menurut dia, perlu penyelesaian menyeluruh dalam perkara korupsi. Tidak sekedar mengandalkan upaya penindakan, namun juga perlu menyelesaikan penyebab perilaku koruptif dari hulu ke hilir.

" Maraknya kasus korupsi yang terus bermunculan meski sudah ada regulasi dan tindakan tegas tentu menimbulkan pertanyaan. Apa yang salah dari upaya pemberantasan korupsi selama ini. Karenanya, ini menjadi PR yang harus segera diselesaikan. Bereskan hulunya, jangan hanya hilirnya. Antara hulu dan hilir harus selaras," ujarnya

Karyoni juga menyarankan agar mencari penyelesaian soal mahalnya biaya politik yang selama ini membuat kepala daerah memutar otak untuk mencari dan mengembalikan modal politik tersebut.

"Mengapa kepala daerah banyak terjerat kasus korupsi. Salah satu penyebab utamanya adalah tingginya biaya politik elektoral hingga mencapai ratusan miliar. Kasus serupa juga dialami para wakil rakyat yang terjerat kasus korupsi. Salah satu penyebabnya adalah tingginya biaya politik elektoral hingga mencapai ratusan miliar" tambah Karyono Wibowo.

Selain karena mahalnya biaya politik, di sisi lain faktor keserakahan pejabat juga sering menjadi cikal bakal terjadi tindak pidana korupsi. Kata Karyono, ada masalah mental dan budaya untuk meningkatkan gengsi dan pamor setelah menjabat dengan jalan perilaku koruptif.

"Lantas mengapa banyak pejabat negara dan birokrasi di pemerintahan atau institusi negara yang terjerat kasus korupsi. Penyebabnya diduga ada transaksi jual beli jabatan. Di luar persoalan yang menjadi sumber penyebab korupsi, ada sejumlah masalah yang saling berkelindan, yaitu masalah mental dan budaya seperti gaya hidup mewah, keserakahan," jelas dia.

"Bagi sebagian masyarakat kelas menengah-bawah, masalah kesulitan ekonomi juga bisa menjadi sumber penyebab tindak kriminal seperti mencuri, merampok, mencopet, menipu dan korupsi," tambahnya.

Karyono juga menjelaskan ada perilaku yang mencampur urusan hukum menjadi bias karena adanya campur tangan politik dalam penegakan hukum. Kata dia, jika itu terjadi dapat menganggu proses dan agenda penegakan hukum yang sedang berjalan.

"Persoalan lain yang sering muncul adalah instrumen hukum menjadi alat politik. Hal ini juga berpotensi mengganggu agenda penegakan hukum. Jadi selama hulunya tidak diselesaikan maka selamanya korupsi sulit diberantas. Jika tidak ada kebijakan yang holistik, maka KPK dan aparat penegak hukum lainnya selamanya hanya menjadi tukang tangkap koruptor," tutupnya.

(Tim Liputan News\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar