PNS Myanmar Mogok Massal, Penguasa Militer Mulai Gemetar

Jum'at, 26/02/2021 14:20 WIB
PNS Myanmar mogok kerja (RRI)

PNS Myanmar mogok kerja (RRI)

Myanmar, law-justice.co - Para pegawai negeri sipil (PNS) Myanmar melakukan mogok massal dan turun ke jalan untuk melawan kudeta militer.

Sebagian besar mereka menolak bekerja untuk junta militer. Sebagai bentuk kontribusinya terhadap gerakan pembangkangan sipil, para PNS menggagalkan para jenderal berkuasa dengan melumpuhkan birokrasi.

"Militer perlu membuktikan bahwa mereka dapat mengelola negara dengan baik sebagai pemerintah. Tapi jika kita pegawai negeri tidak bekerja, rencana mereka untuk mengambil alih kekuasaan akan gagal," kata Thida, seorang dosen universitas negeri, yang meminta kepada AFP namanya disamarkan, Senin (22/2).

Tiga pekan sejak kudeta, Thida menolak mengajar kelas onlinenya. Dia bergabung dengan mogok nasional yang dimulai oleh petugas medis.

Dari ibu kota hingga pelabuhan tepi laut, penghentian pekerjaan di sektor swasta membuat kantor-kantor dan pabrik kosong serta memaksa banyak cabang bank tutup.

Namun, peningkatan jumlah pegawai negeri dalam perlawananlah yang membuat junta militer terguncang.

Tanpa para PNS, pemerintah tidak dapat memungut pajak, mengirim tagihan listrik, menguji populasi untuk Covid-19 atau hanya menjaga agar negara tetap berjalan.

Momok krisis keuangan sudah muncul akibat dihantam pandemi dan penurunan investasi asing.

Meski sudah banyak yang turun dalam aksi pemogokan, belum diketahui jumlah pasti para pekerja dari sekitar satu juta pekerja sektor publik yang berpartisipasi.

Satu survei Crowdsourced menemukan, anggota dari 24 kementerian Myanmar kini terlibat dalam pemogokan massal. Sementara pelapor khusus PBB untuk Myanmar memperkirakan tiga perempat pegawai negeri memutuskan mogok.

Ketidakhadiran PNS mulai mengguncang

Hampir sepertiga dari rumah sakit negara tidak lagi berfungsi, kata pemimpin militer Min Aung Hlaing minggu ini.

Media pemerintah melaporkan pada hari Selasa (23/2), Min Aung Hlaing mencela tingkat profesional medis yang dianggap gagal memenuhi tugas mereka.

Dia juga mengisyaratkan dokter dan guru yang bekerja akan segera menerima hadiah uang tunai.

Mengutip AFP, seorang dokter mengatakan kekurangan staf, itu artinya rumah sakit harus menolak pasien baru. Sementara, "Tim pelindung" medis dibentuk untuk memberikan perawatan darurat kepada para pengunjuk rasa di bawah tembakan peluru karet dan peluru tajam.

Berdasarkan laporan media lokal, seluruh pekerja, sopir dan administrator dipecat karena ketidakhadiran mereka.

"Militer tidak mengantisipasi bahwa sebagian besar pamong praja akan keluar dan meninggalkan mereka tanpa aparat negara," kata seorang analis yang tidak mau disebutkan namanya.

"Dampak gerakan tidak selalu bergantung pada semua birokrasi yang berpartisipasi, tetapi pada bagian-bagian penting yang melumpuhkan kemampuan militer untuk mengumpulkan pendapatan dan mendistribusikannya ke seluruh mesin negara," ujarnya.

Tingkat ketidakmampuan ini bisa menjadi lebih jelas, ketika Dewan Administrasi Negara Myanmar, sebagaimana para pemimpin kudeta menjuluki diri mereka sendiri, menghadapi tagihan untuk semua sektor publik.

Bank Ekonomi Myanmar (MEB), yang mendistribusikan gaji dan pensiun pemerintah, telah tertatih-tatih karena pemogokan itu. Namun media pemerintah membantah hal itu itu. Menyebutnya "rumor tak berdasar" dan mengatakan kompensasi tidak akan diberikan.

Sebagai tanda kekhawatiran para jenderal, setiap hari media resmi memanggil para PNS untuk kembali bekerja atau menghadapi tindakan hukum.

Sementara, saluran telepon memungkinkan digunakan masyarakat untuk melaporkan siapa saja yang mendorong tindakan tersebut.

"Semua pegawai negeri dari kementerian yang berpartisipasi dalam gerakan pembangkangan sipil mendapat tekanan," kata staf MEB.

Seorang pemimpin pemberontakan pro-demokrasi 1988, Min Ko Naing, mendesak pegawai pemerintah melanjutkan pemogokan mereka.

Ko Naing menjelaskandi Facebook bahwa hal tersebut adalah faktor penting dalam upaya menjatuhkan rezim.

Namun strategi itu membutuhkan pengeluaran, tentu saja dengan biaya pribadi.

Thida, dosen universitas, mengorbankan gajinya yang sudah ditabung untuk masa depan, ia gunakan hari ini.

"Saya telah menabung sebagian pendapatan dan akan saya gunakan," katanya. "Saya mengerti kita perlu berkorban untuk melawan junta militer."

Berbagai kelompok bermunculan untuk membantu pegawai publik dengan makanan dan perumahan. Sementara anggota pemerintah sipil yang digulingkan berjanji memberi kompensasi atas gaji yang hilang jika mereka merebut kembali kekuasaan. Memicu harapan pekerja seperti Thida.

"Saya sama sekali tidak khawatir kehilangan pekerjaan karena saya yakin demokrasi akan dipulihkan," kata Thida.

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar