DPR Ingatkan Produktivitas Utang Negara Guna Dorong PDB

Kamis, 18/02/2021 13:56 WIB
Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PKS, Anis Byarwati. (Foto: Istimewa).

Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PKS, Anis Byarwati. (Foto: Istimewa).

Jakarta, law-justice.co - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang pemerintah hingga akhir Desember 2020 mencapai 6.074,56 triliun. Rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) kini telah mencapai 36,68 persen. Sementara itu, pemerintah menargetkan utang baru pada 2021 sebesar Rp1.177,4 triliun. Sebagian besar utang ini didapat melalui penerbitan surat berharga negara (SBN) Rp1.207,3 triliun.

Menteri Keuangan mengklaim posisi utang pemerintah pusat mengalami peningkatan disebabkan oleh pelemahan ekonomi akibat Covid-19 serta peningkatan kebutuhan pembiayaan untuk menangani masalah kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional. Ia juga menjelaskan bahwa negara lain juga mengalami hal yang sama.

Menanggapi hal itu, anggota Komisi Keuangan (Komisi XI) DPR RI, Anis Byarwati, mengatakan bahwa defisit APBN akan semakin lebar akibat dari ekspansi fiskal pemerintah untuk menyelamatkan perekonomian di saat Pandemi. Hal ini terlihat dengan adanya pelebaran defisit fiskal dari 2,2 persen pada 2019, menjadi 6,3 persen pada 2020.

“Diperkirakan masih akan defisit sebesar 5,7 persen di tahun 2021. Tetap perlu kehati-hatian dalam melaksanakan kebijakan defisit ini," kata Anis dalam keterangannya, Kamis (18/2/2021).

Mengenai sebagian besar defisit APBN yang dibiayai oleh utang, Anis mengingatkan kondisi seperti itu justru semakin melebarkan utang. Pasalnya, kata dia, pemerintah seringkali gagal membelanjakan uang ketikan memaksimalkan pertumbuhan melalui utang.

Hal ini tercermin dari besarnya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) selama 5 tahun terakhir yang mencapai Rp10-30 Triliun setiap tahunnya. Adapun pelebaran defisit ini disebabkan oleh tingginya anggaran Penyelamatan Ekonomi Nasional (PEN). Data terakhir menunjukkan bahwa realisasi anggaran PEN hingga akhir 2020 belum maksimal, hanya sebesar 83 persen.

“Hal ini tentu merugikan, karena utang yang sudah ditarik pemerintah, gagal dimanfaatkan untuk penyelamatan ekonomi nasional,” kata politikus Partai Keadilan Sejahtera ini.

Anis juga menyoroti primary balance Indonesia yang dalam beberapa tahun ini selalu tercatat negatif. Ketika primary balance negatif artinya pemerintah sedang menjalankan kebijakan gali lubang tutup lubang. Pemerintah menerbitkan utang baru untuk membayar utang yang lama. Hal ini tentu bukan pertanda baik untuk keberlangsungan fiskal Indonesia.

Di tengah pandemi, primary balance Indonesia semakin memburuk. Pada tahun 2020 diperkirakan mencapai -4,3 persen dan pada tahun 2021 mencapai -3,59 persen. “Pemerintah harus mewaspadai lampu kuning dari semakin besarnya negatif primary balance ini, agar fiskal Indonesia lebih sustain untuk tahun-tahun mendatang,” ujar Anis.

Pada masa pra-pandemi, Anis menerangkan debt to GDP ratio Indonesia terus meningkat, dari awalnya 24 persen pada 2014 menjadi 30,2 persen di tahun 2019. Meningkatnya debt to GDP ratio menunjukkan bahwa selama periode tersebut penambahan utang lebih tinggi dibandingkan penambahan PDB. Artinya, utang pemerintah selama ini belum cukup produktif untuk mendorong PDB nasional.

“Hal ini tentu perlu menjadi catatan penting. Meningkatnya debt to GDP ratio yang mencapai 37 persen di tahun 2020 dan diperkirakan menjadi 41 persen pada tahun 2021, merupakan sinyal kurang bagus. Ini berarti pemerintah akan kesulitan mengendalikan laju utang di masa yang akan datang,” katanya.

(Muhammad Rio Alfin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar