Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

UU Informasi Transaksi Elektronik, Sebatas Direvisi atau Dicabut Saja?

Rabu, 17/02/2021 06:44 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Saat berpidato dalam Rapat Pimpinan TNI dan Polri 2021 di Istana Negara yang disiarkan di Youtube Sekretariat Presiden, Senin malam (15/2/2021), Presiden meminta kepada DPR RI untuk bersama-sama pemerintah merevisi Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bila dinilai tidak memenuhi rasa keadilan dalam penerapannya.

Presiden meminta parlemen untuk menghapus pasal-pasal karet yang ada dalam UU ITE tersebut karena pasal-pasal itu bisa menjadi hulu dari persoalan hukum kita. Kepala Negara juga mengingatkan, semangat UU ITE adalah untuk menjaga ruang digital Indonesia agar lebih bersih, sehat, beretika.

Presiden  juga menginstruksikan kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo supaya meningkatkan pengawasan pelaksanaan UU tersebut secara lebih konsisten, akuntabel, dan berkeadilan. "Tentu saja kita tetap harus jaga ruang digital Indonesia, agar bersih, agar sehat, agar beretika, penuh dengan sopan santun, penuh dengan tata krama, dan juga produktif," pungkasnya.

Harapan dan permintaan orang nomor satu di Indonesia itu terasa sangat relevan di tengah situasi penegakan hukum yang banyak mendapatkan sorotan masyarakat karena penerapan UU ITE yang terindikasi tebang pilih alias hanya menyasar pada pihak pihak tertentu saja.

Merespon keinginan tersebut Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menyatakan revisi Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE berpeluang masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Willy Aditya sebagaimana dikutip media mengatakan, pihaknya mempersilakan pemerintah bila ingin memasukkan revisi UU ITE mengingat Prolegnas Prioritas 2021 belum disahkan di tingkat Rapat Paripurna.

Apa dan mengapa pasal pasal karet dalam UU ITE perlu direvisi keberadaannya ?, Benarkah UU ITE selama ini telah terapkan secara tidak adil sehingga merugikan sebagian warga negara kita ?, Setelah sekian lama berlaku, bagaimana sebaiknya ? direvisi atau dicabut saja keberadaannya ?

Pasal Karet Itu

Pada saat ini, salah satu instrumen hukum yang mengatur teknologi informasi adalah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”).

Keberadaan UU ITE ini memang diperlukan dalam kehidupan manusia, terlebih lagi dengan adanya fenomena zaman yang cukup pesat perkembangannya. Namun dengan segala fungsi dan tujuan diundangkannya UU ITE, masih terdapat persoalan-persoalan dalam isinya. 

Mohammad Nuh, Menteri Komunikasi dan Informatika saat UU ITE disahkan, mengatakan bahwa UU ITE merupakan ide dasar dari pemerintah dalam membuat suatu produk legislasi yang dapat digunakan sebagai payung hukum transaksi berbasis elektronik yang memiliki dampak sosial ekonomi pada masyarakat di Indonesia.

Namun dalam penerapannya ternyata dalam UU ini terdapat beberapa pasal di dalamnya yang kerap kali disalahgunakan dan menjadi kontroversi karena ketidakjelasan deskripsi tentang beberapa pengertian yang termuat di dalamnya. Ketidakjelasan deskripsi itu  akhirnya memunculkan  istilah “pasal karet” untuk menyebut pasal pasal yang begitu lentur penafsirannya.

Didalam kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dijabarkan pengertian  “karet” sebagai dapat (mudah) mulur dan mengerut (tidak tentu, tidak pasti, dan sebagainya). Dengan demikian, pasal karet berarti pasal dalam undang-undang yang tidak tentu atau tidak memberikan kepastian hukum sebagaimana undang-undang semestinya. Hal ini tentunya mengkhawatirkan mengingat salah satu tujuan UU ITE yang tercantum dalam pasal 4 huruf (e) UU No. 11 Tahun 2008 adalah memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi penyelenggara teknologi informasi dan para penggunanya.

Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto sebagaimana dikutip CNN Indonesia 16/2/2021 mencatat sedikitnya ada sembilan pasal bermasalah yang perlu direvisi atau dihapus dalam aturan tersebut.Berikut pasal karet UU ITE yang perlu direvisi menurut SAFEnet karena multitafsir dan menimbulkan dampak sosial:

  1. Pasal 26 Ayat 3 tentang Penghapusan Informasi Tidak Relevan. Pasal ini bermasalah soal sensor informasi.
  2. Pasal 27 Ayat 1 tentang Asusila. Rentan digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online
  3. Pasal 27 ayat 3 tentang Defamasi. Rentan digunakan untuk represi ekspresi legal warga, aktivis, jurnalis/media, dan represi warga yang mengkritik pemerintahan, polisi, dan presiden.
  4. Pasal 28 Ayat 2 tentang Ujaran Kebencian. Rentan jadi alat represi minoritas agama, serta warga yang mengkritik presiden, polisi, atau pemerintah.
  5. Pasal 29 tentang Ancaman Kekerasan. Rentan dipakai untuk mempidana orang yang mau melapor ke polisi.
  6. Pasal 36 tentang Kerugian. Rentan dicuplik untuk memperberat hukuman pidana defamasi.
  7. Pasal 40 Ayat 2 (a) tentang Muatan yang Dilarang. Rentan dijadikan alasan untuk mematikan jaringan atau menjadi dasar internet shutdown dengan dalih memutus informasi hoax.
  8. Pasal 40 Ayat 2 (b) tentang Pemutusan Akses. Pasal ini bermasalah karena penegasan peran pemerintah lebih diutamakan dari putusan pengadilan.
  9. Pasal 45 Ayat 3 tentang Ancaman Penjara tindakan defamasi. Pasal ini bermasalah karena dibolehkan penahanan saat penyidikan.

Diantara  pasal-pasal karet tersebut diatas, pasal yang paling sering digunakan ada dua yaitu pasal 27 dan 28 karena sering digunakan untuk menjerat seseorang menjadi tersangka.

Pasal 27 ayat (3) mengatur larangan terhadap "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Sementara pada pasal 28 ayat (2) berbunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Pada era Presiden Jokowi, UU No 11/2008 tersebut diganti menjadi UU nomor 19 Tahun 2016. Presiden Jokowi Widodo mengesahkan UU tersebut pada pada 25 November 2016,namun, dalam perubahan tersebut, `pasal karet` UU ITE yang dikhawatirkan bisa digunakan untuk membungkam kritik tetap tidak dihilangkan keberadaannya.

Rumusan Pasal 27 dan 28 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memang dinilai terlalu luas. Tak heran, aturan menuai kontroversi karena cenderung dijadikan pasal karet dalam penerapannya.

Pemaknaan adanya pelanggaran aturan terlalu bebas sehingga, instansi penegak hukum diberikan kewenangan menafsirkan kejadian atau konten yang dilaporkan. Terkesan saat ini Polri menetapkan sendiri apakah sebuah kejadian atau peristiwa itu masuk atau tidak dalam tindak pidana dalam delik yang diatur dalam kedua pasal tersebut.

Luasnya cakupan Pasal 27 dan 28 UU ITE dipertegas dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 76/PUU-X/2017 pada 2018. Sesuai putusan MK, ketentuan antar golongan tidak lagi hanya sebatas suku, agama, dan ras saja melainkan meliputi lebih dari itu, yaitu semua entitas yang tidak terwakili atau terwadahi oleh istilah suku, agama, dan ras.

Ketentuan ini membuat golongan apa pun masuk dalam bagian antargolongan yang dimaksud UU ITE termasuk golongan politik. Seperti golongan parpol A, golongan pendukung (tim sukses) kepala daerah A, B, atau bahkan bisa termasuk golongan janda, golongan jomblo, dan golongan-golongan lainnya.

Semestinya harus ada ketentuan yang membatasi pengertian antargolongan dalam kasus ujaran kebencian.Misalnya, diatur larangan penyebaran kebencian terhadap kelompok orang berdasarkan ras, agama atau kepercayaan, orientasi seksual, disabilitas mental, fisik, dan intelektual. Sehingga ada penegasan terhadap ketentuan antargolongan di Pasal 28A UU ITE. Dengan begitu aturan ini tidak menjadi pasal karet.

Sarat Ketidakadilan

Selain bersifat multitafsir karena adanya pasal pasal karet, penerapan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE juga dinilai sarat dengan ketidakadilan sebagaimana sinyalemen yang disampaikan oleh Presiden Indonesia.

Diantara aroma ketidakadilan dalam penerapan UU ITE dialami oleh Ahmad Dani dan Bun Yani. Ahmad Dhani terjerat Pasal 27 ayat 3 jo. Pasal 45 ayat 3 UU ITE dengan dugaan pencemaran nama baik, di mana terdakwa membuat konten video yang berisi kata “idiot” yang dianggap melecehkan nama baik peserta demo di luar hotel tempat terdakwa menginap di Surabaya.

Atas pernyataannya, kelompok yang menamakan Koalisi Bela NKRI melaporkan Dhani ke Polda Jawa Timur pada 30 Agustus 2018. Kelompok itu merasa Dhani melakukan pencemaran nama baik. Karena kasus inilah Ahmad Dhani dikenakan tuduhan atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang merujuk pada Pasal 311 KUHP, yang dimaksud menyebarkan tuduhan pencemaran nama baik adalah menuduhkan suatu perbuatan bukan penghinaan.

Sementara itu Buni Yani juga terkena pasal UU ITE sehubungan dengan penyebaran video pidato Basuki Tjahaja Purnama (“BTP”) ketika masih menjabat sebagai Gubernur DKI pada tahun 2016. Berdasarkan laman berita nasional.kompas.com, Buni Yani diduga mengedit video BTP ketika sedang berpidato, dimana pidato tersebut menggunakan salah satu ayat Surat Al Maidah. Video tersebut diduga diedit sehingga dianggap memiliki makna berbeda, meskipun Buni Yani membantah melakukan hal tersebut.  

Perbuatan Buni Yani tersebut dinilai memenuhi unsur Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE dengan melakukan ujaran kebencian dan mengedit isi video pidato BTP.  Atas perbuatannya tersebut, Buni Yani divonis bersalah dan dijatuhi hukuman penjara 1,5 tahun oleh Pengadilan Negeri Bandung.

Catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), hingga Oktober 2020, ada sebanyak 10 peristiwa dan 14 orang yang diproses hukum karena mengkritik Presiden Jokowi Widodo.Lalu dari 14 peristiwa, 25 orang diproses dengan obyek kritik kepolisian, dan 4 peristiwa dengan 4 orang diproses karena mengkritik Pemda. Mereka diproses dengan penggunaan surat telegram Polri maupun UU ITE.

Sementara itu Para buzzer istana yang suka menebar kebencian, fitnah dan berita hoaks itu sudah berkali dilaporkan kepada pihak berwajib tapi nyaris tak satupun yang berhasil di giring ke penjara. Beberapa contoh diantaranya, Abu Janda yang pernah enam kali dilaporkan ke polisi namun tidak satupun yang berhasil menjadikan dia sebagai tersangka termasuk kasus yang terakhir ini yaitu menuduh islam agama radikal sebagaimana yang dilaporkan oleh Ketua KNPI.

Pada tanggal 1 November 2019 lalu, Fahira Idris, anggota DPD RI dari Jakarta, resmi melaporkan dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Ade Armando ke Polda Metro Jaya. Pelaporan itu adalah buntut unggahan meme Gubenur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan tata rias tokoh fiksi Joker, oleh Ade Armando.

"Foto (yang diunggah) di Facebook milik Ade Armando adalah potret Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang merupakan dokumen milik Pemprov DKI atau milik publik, yang diduga diubah menjadi foto seperti (tokoh) Joker," ujar Fahira di polda.

Namun sampai sekarang belum jelas bagaimana tindaklanjut kasus tersebut karena tidak ada kabar beritanya. Mengenai Ade Armando sudah berkali kali dilaporkan ke polisi karena unggahannya dimedia sosial yang dianggap mengandung ujaran kebencian, dan berita dusta.

Pada akhir tahun lalu,nama politisi PDIP Dewi Tanjung masuk dalam daftar trending topik di Twitter pada Sabtu (28/12/2019).Hal ini terjadi hampir bersamaan setelah ditangkapnya pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan yang merupakan anggota Polri aktif berinisial RB dan RM.

Warganet ramai-ramai menyebut nama Dewi Tanjung dalam kicauannya di Twitter. Mereka mendesak agar politikus PDIP ini ditangkap dengan menambahkan tagar #TangkapDewiTanjung dalam cuitannya. Namun seperti biasa tidak ada tindaklanjut proses hukum terhadap wanita yang dikenal sebagai pendukung berat penguasa.

Buzzer penguasa lainnya,Denny Siregar dilaporkan ke Polres Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Laporan itu terkait unggahannya di media sosial yang diduga menghina santri cilik dari sebuah pesantren di wilayah tersebut. Pihak kepolisian membenarkan adanya laporan terhadap Denny. Laporan dibuat oleh Ustaz Ruslan. Namun, polisi tak merinci nomor laporannya.

Denny disebut dilaporkan terkait unggahannya di media sosial."Iya benar (Denny Siregar) dilaporkan, yang melaporkan adalah Ustaz Ruslan," ujar Kepala Satun Reserse Kriminal Polresta Tasikmalaya, Ajun Komisaris Polisi Yusuf Ruhiman saat dikonfirmasi wartawan, Jumat, 3 Juli 2020.Denny dilaporkan dengan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). 

Sejauh mana tindaklanjut dari proses pelaporan terhadap Denny tersebut, belum jelas kabarnya. Yang ramai justru ditangkapnya pegawai Telkomsel karena dianggap membocorkan data pribadi Denny setelah beberapa hari lalu ia melaporkan kasusnya kepada polisi.

Itulah beberapa nama yang di sebut sebut sebagai buzzer istana dan kebal hukum karena tidak bisa diproses hukum untuk dikirim  ke penjara. Selain buzzer buzzer yang kebal hukum, ada juga buzzer penguasa yang pekerjaannya melaporkan mereka mereka yang dianggap menjadi pengkritik penguasa. Buzzer itu bernama Muannas Alaidid.

Buzzer yang satu ini tercatat pernah melaporkan Farid Gaban, Fahira Idris, Jonru dan lain lainnya. Selain melaporkan tokoh tokoh ternama, Alaidid juga pernah melaporkan melaporkan 40 akun medsos yang tersebar baik di facebook, instagram, twiter dan nomor  HP WA (Whatsappgroup). 

Laporan laporan mereka biasanya dengan sigap ditindaklanjuti oleh aparat berwenang berbeda halnya jika laporan itu disampaikan oleh pihak oposisi yang suka mengkritik penguasa. Adanya fenomena ini membuat pegiat media sosial, Jonru Ginting menyindir kinerja aparat hukum  yang bertugas menanganinya.

Kritik terkini Jonru kepada aparat terjadi berkaitan dengan penanganan kasus pembobolan data pribadi Denny Siregar.Diketahui, kepolisian langsung merespon cepat kasus pembobolan data pribadi Denny Siregar dengan menangkap pelaku yang merupakan outsourching Telkomsel."Kembali terbukti, para buzzeRp memang BINATANG semua. Pada kebal hukum semua. Ya, namanya juga binatang. Yang ditangkap polisi kan cuma manusia," tulis Jonru di akun Twitternya, Sabtu (11/7/2020).

Sementara itu menurut pendiri lembaga survei Kedai Kopi, Hendri Satrio, mengatakan ada ketidakadilan dalam penegakkan hukum terhadap buzzer atau pendengung.Menurutnya buzzer pro pemerintah seolah kebal hukum, karena kalau pun melakukan kesalahan tak dikenakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.“Masalahnya kalau yang di lingkungan Istana boleh salah, tapi yang di luar kalau salah kena UU ITE,” ujar Hendri di diskusi Buzzer dan Ancaman Terhadap Demokrasi di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jalan Diponegoro, Jakarta, Jumat 10 Oktober 2019.

Menanggapi adanya sinyalemen para buzzer istana kebal hukum karena tak tersentuh hukum, pihak istana dikabarkan  membisu. Hal ini terungkap ketika ditanya wartawan fakta-fakta buzzer istana kebal hukum walaupun sudah dilaporkan ke polisi. “Saya tidak pada posisi itu ya. Tidak bisa mengomentari itu karena itu sektornya kepolisian,” kata mantan Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko kepada wartawan, Kamis (3/10/2019). 

Menurut Moeldoko, semua proses hukum diserahkan kepada aparat kepolisian. “Menurut kita nggak, tapi menurut kepolisian iya, kita posisinya tidak bisa justifikasi itu,” jelasnya. Ia mengatakan, buzzer kedua belah pihak harus ditertibkan. “Saya pikir memang perlu (ditertibkan). Kan ini kan yang mainnya dulu relawan, sekarang juga pendukung fanatik,” ucap Moeldoko. 

Sementara itu terkait dengan masalah ini, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengakui bahwa pasal karet dalam UU ITE sering digunakan untuk mengkriminalisasi."Pasal-pasal yang dianggap karet di dalam UU ini tentunya berpotensi untuk kemudian digunakan untuk melaporkan atau saling melapor, atau lebih dikenal dengan istilah mengkriminalisasikan," katanya seperti dikutip law-justice.co, 16/02/2021.

Direvisi atau Dicabut ?

Keinginan pemerintah untuk merevisi kembali UU ITE karena ada indikasi ketidakadilan dalam penerapanya memang patut disambut dengan gembira. Apalagi UU ITE selama ini memang dijadikan sarana bagi sebagian anggota masyarakat untuk saling melaporkan kalau merasa nama baiknya dicemarkan oleh pihak lainnya.

Adanya pernyataan Presiden Jokowi yang meminta revisi UU ITE tersebut mengindikasikan bahwa Presiden mengakui kalau selama ini UU tersebut telah diterapkan secara tidak adil dan telah dijadikan sarana untuk menyasar pihak pihak tertentu saja.

Lebih jauh pasal pasal karet yang terdapat dalam UU tersebut dikuatirkan akan menjadi ancaman demokrasi, bahkan berpotensi memberangus kebebasan berekspresi di Indonesia. The Economist Intelligence Unit (EIU) baru saja merilis Laporan Indeks Demokrasi 2020. Dalam laporan ini Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia  dengan skor 6.3. Meski dalam segi peringkat Indonesia masih tetap sama dengan tahun sebelumnya, namun skor tersebut menurun dari yang sebelumnya 6.48. Ini merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat.

Turunnya indeks demokrasi Indonesia tersebut diduga beriringan dengan banyaknya laporan UU ITE yang masuk ke kepolisian yang berujung pada penangkapan penangkapan khususnya terhadap para aktifis yang selama ini dianggap beroposisi pada penguasa.

Agar Indonesia tidak semakin terpuruk dalam pelaksanaan demokrasinya maka salah satu upayanya adalah dengan meninjau kembali pelaksanaan UU ITE yang selama ini dinilai telah memberangus kebebasan berekspresi bagi warga negaranya.

Upaya untuk meninjau kembali keberadaan UU ITE itu rencananya akan dilakukan dengan melakukan revisi terhadap pasal pasal karet yang dinilai mengandung ketidakadilan dalam penerapannya. Yang namanya revisi maka bisa saja lebih baik dari yang sebelumnya namun bisa pula sebaliknya. Karena dalam hal ini kita tidak bisa menduga duga sejauhmana  itikad baik pemerintah dalam dalam merevisi UU ITE tersebut. 

Untuk menghindari adanya kesimpangsiuran dan syak wasangka, maka daripada direvisi akan lebih pas kiranya kalau UU ITE tersebut dicabut saja paling tidak pasal pasal karetnya khususnya pasal 27 dan pasal 28 karena sangat berbahaya. Soalnya UU ITE  yang awalnya dibuat dengan semangat untuk mengatur bisnis dan perdagangan melalui internet (online), dalam prakteknya lebih banyak digunakan sebagai sarana untuk mengkriminalisasi lawan lawan politik mereka yang tidak sejalan dengan garis politik penguasa.

Pelaksanaan UU ITE mengesankan seolah-olah penegak hukum, baik itu kepolisian dan Kejaksaan telah menjadi alat dari kekuasaan untuk membungkam kritik warga negaranya. Demikian juga nampak proses pidana atas ketentuan pasal ini telah menjebak penegak hukum untuk menggunakannya sebagai sarana mengejar pangkat dan jabatannya.

Selain itu, UU ITE yang didalamnya mengatur juga tentang delik  pencemaran nama baik atau ujaran kebencian telah  menyebabkan permusuhan antar suku, agama, ras dan antargolongan karena mereka yang merasa dirugikan kemudian melakukan aksi saling lapor sehingga membuat aparat menjadi kewalahan dibuatnya.

Atas dasar pertimbangan tersebut maka lebih tepat kiranya kalau UU ITE khususnya pasal pasal karet dan lebih khusus lagi pasal 27 dan 28 dicabut saja keberadaannya. Pencabutan bisa dilakukan melalui Perpu karena proses pembahasan revisi UU melalui DPR biasanya berlangsung dalam waktu cukup lama.

Dengan dicabutnya pasal pasal karet dalam UU ITE tersebut akan meniadakan peluang bagi aparat penegak hukum untuk bermain main dalam penerapan hukumnya. Mengingat selama ini praktek tebang pilih dalam penerapan hukum di Indonesia begitu terasa. Sehingga dalam penegakan hukum yang lebih penting sebenarnya adalah para pelaksananya bukan aturannya.

Akademisi dan praktisi hukum di Indonesia sangat sering mengutip kata-kata Bernardus Maria Taverne (1874-1944). “Berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang-undang sekalipun”. .

Pernyataan B.M Taverne memperlihatkan bahwa dalam penegakan hukum bukan undang-undang yang menentukan, melainkan sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh manusianya. Dinamika penegakan hukum di Indonesia memperlihatkan kebenaran pernyataan Taverne ini. Warna penegakan hukum banyak ditentukan komitmen dan sosok pribadi orang yang menjadi polisi, jaksa, hakim dan pengacaranya.

Beberapa peristiwa yang mengindikasikan adanya kriminalisasi penegak hukum khususnya kepolisian terhadap para tersangka dengan menggunakan pasal pasal karet sebenarnya bukan hanya terkait dengan UU ITE saja melainkan pada ketentuan lainnya seperti KUHP dan UU No. 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Sebagai contoh kepolisian pernah menggunakan pasal 14 dan 15 UU No.1/1946 untuk menjerat Ali Baharsyah dan Syahganda Nainggolan sebagai tersangka. Nasib sama dialami oleh Zaim Saidi yang dijerat dengan pasal 9 UU No. 1/1946 dan sebagainya.

Sementara itu Habib Riziek Shihab yang sekarang mendekam di penjara dijerat dengan pasal 160 KUHP serta pasal pasal terkait dengan karantina kesehatan yang sangat kontroversial penerapannya karena terkesan tebang pilih dan karantina kesehatan sendiri tidak diberlakukan penerapannya pada saat serangan pandemi virus corona yang sekarang terjadi di Indonesia.

Berangkat dari fenomena diatas maka persoalan pokok sebenarnya bukan terletak pada direvisi atau dibatalkannya UU ITE melainkan pada semangat dan komitmen para penegak hukum untuk menegakkan hukum secara berkeadilan untuk semua. Bukan tebang pilih sesuai dengan pihak pihak tertentu yang mempunyai kuasa.

Bukankah kita sering mendengar adagium yang menyatakan bahwa ditangan aparat penegak hukum yang baik, peraturan hukum yang jelek akan menjadi baik tapi sebaliknya peraturan hukum yang baik akan menjadi jelek di tangan penegak hukum yang tidak becus kerjanya ?

Kiranya perlu dipahami juga bahwa kalau kita berbicara mengenai penegakan hukum, peraturan/ UU hanyalah  salah satu aspek saja. Variabel lainnya adalah aparat penegak hukum itu sendiri, budaya hukum masyarakat serta political will pemerintah yang berkuasa. 

Terlepas dari itu semua, kita berharap mudah mudahan saja keinginan Presiden untuk merevisi maupun mencabut UU ITE tersebut benar benar dilandasi oleh semangat untuk memperbaiki penegakan hukum dan iklim demokrasi di Indonesia yang diharapkan pula akan diikuti oleh komitmen aparat penegak hukumnya. Sebab kalau tidak nantinya  akan bisa dinilai sebagai ungkapan basa basi atau sekadar pemanis di bibir saja.

(Editor\Warta Wartawati)

Share:




Berita Terkait

Komentar