Paskalis Kossay, Politisi Senior dan Intelektual Papua

Problem Papua: Kepemimpinan Jokowi Lebih Kejam dari Rezim Sebelumnya

Selasa, 16/02/2021 11:29 WIB
Presiden Jokowi Kembali Kunjungi Papua. (TimesIndonesia)

Presiden Jokowi Kembali Kunjungi Papua. (TimesIndonesia)

Jakarta, law-justice.co - Dalam masa kepemimpinan Jokowi, eskalasi kekerasan di Tanah Papua terus meningkat. Amnesti Internasional mencatat dalam dua tahun terakhir sejak Agustus 2019 sampai 2020 terjadi 68 kasus pembunuhan terhadap warga sipil orang asli Papua. Semua kasus tersebut tidak pernah diproses hukum yang wajar.

Apa yang dicatat lembaga kemanusiaan tersebut baru yang sempat dicatat yang terjadi didalam kota. Belum terhitung banyak kasus pembunuhan yang terjadi diluar kota atau di pinggiran kota. Apalagi didaerah konflik kasus pembunuhan dipandang sebagai sesuatu yang lumrah.

Pemerintahan Jokowi menjadikan rakyat papua sebagai musuh negara. Seluruh gerak gerik rakyat papua diawasi sedemikian ketat dan keras. Hak kebebasan berekspresi dibungkam dengan pendekatan keamanan yang represif. Diciptakan kondisi seolah-olah menghadapi perang. Padahal rakyat hanya ingin menyampaikan pendapat di depan umum.

Hanya masa pemerintahan Jokowi kondisi kemanusiaan di Papua sangat buruk. Jokowi tidak mampu mengendalikan situasi keamanan di Papua menjadi normal. Jokowi sengaja membiarkan para aktor pemusnahan kemanusiaan di Papua terus bergerak tanpa mempertimbangkan nilai kemanusiaan.

Para aktor ini menggunakan alasan klasik, semua orang papua yang berseberangan sikap dan pandang dicap kelompok separatis OPM. Padahal belum tentu OPM. Stigmatisasi OPM ini sudah menjadi budaya dari setiap aparat keamanan negara yang bertugas di Papua. Dengan mudahnya menuduh rakyat sebagai bagian dari kelompok separatis OPM.

Karena itu peristiwa semisal aksi demo mahasiswa pun dicap antek separatis OPM. Sehingga ditenggelamkan aspirasi murni yang harus didengar oleh pihak alamat dan tujuan aspirasi yang harus disampaikan. Kondisi ini terus berlangsung sampai hari ini.

Pemerintahan Jokowi lebih mendengar suara elit. Padahal orang-orang tersebut sesungguhnya kelompok oportunis yang mencari untung dibalik penderitaan rakyat. Kelompok oportunis ini berkoar-koar meyakinkan Jokowi seolah mereka pihak penentu stabilisasi kondisi papua. Padahal sesungguhnya omongan mereka hanya spekulasi politik dalam misi oportunisme pribadi.

Jokowi termakan bulat-bulat dengan omongan elit papua yang oportunis tersebut. Harusnya di-recheck akurasi omongan dengan turun lapangan temui rakyatnya. Namun prinsip recheck itu jarang dilakukan.

Jokowi meyakini omongan para oportunis itulah dijadikan titik tolak pengambilan kebijakan. Dampaknya tidak berpengaruh signifikan meredam situasi keamanan rakyat di bawah.

Hal ini bisa kita simpulkan, Jokowi sebenarnya tidak ada hati untuk membangun Papua. Kebijakan Jokowi ke Papua sekadar pencitraan, tidak terarah dan menjawab kebutuhan rakyat papua.

Jokowi selalu menggembar gemborkan pembangunan infrastriktur jalan dan jembatan. Namun tidak ada yang baru dirancang bangun dalam kepemimpinan Jokowi. Yang ada justru melanjutkan apa yang sudah dirancang bangun oleh kepemimpinan presiden SBY.

Satu hal sangat memprihatinkan rakyat Papua adalah eskalasi keamanan yang terus meningkat. Jokowi sepertinya tidak mampu mengendalikan para jenderal TNI dan Polri supaya sistem keamanan di Papua ini dikelola dengan pendekatan kesejahteraan. Bukannya terus memelihara konflik, menambah pasukan semakin meresahkan rakyat.

Jaman pemerintahan SBY situasi keamanan di Papua cukup terkendali baik. Ada cukup ruang bagi rakyat Papua berekspresi. Dan SBY mendengar dengan baik lalu merancang bangun sesuai aspirasi rakyat papua.

Untuk mengendalikan kebijakannya, Presiden SBY membentuk sebuah lembaga baru yang disebutnya Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat disingkat UP4B.

Lembaga ini banyak membuat terobosan dimana sampai hari ini masih membekas, termasuk merancang dan menerobos isolasi daerah melalui pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan termasuk MoU dengan pihak TNI untuk membongkar jalan yang sangat sulit dikerjakan oleh sipil.

Akhir tahun 2020 lalu Jokowi mengeluarkan kebijakan baru untuk membangun Papua dengan menerbitkan Inpres Nomor 9 tahun 2020 tentang percepatan pembangunan kesejahteraan masyarakat Papua dan papua barat dan sekaligus membentuk Badan Pengelola Inpres tersebut yang ditunjuk Wapres Ma’aruf Amin sebagai penanggung jawab. Sampai dengan hari ini, memasuki tahun 2021 realisasi dari kebijakan tersebut tidak nampak.

Sebaliknya pemerintahan Jokowi larut sibuk dengan urusan revisi UU Otsus papua. Proses revisi UU Otsus pun dilakukan dengan terburu-buru, mengabaikan prosedur dan mekanisme perubahan Otsus sesuai pasal 77 uu no 21/2001. Satu hal yang terlalu ceroboh dilakukan pemerintahan Jokowi adalah mengintervensi kewenangan daerah tentang pemekaran provinsi.

Pemerintah pusat tidak ada ruang sedikitpun menangani pemekaran provinsi. Pemekaran provinsi sudah diatur dalam pasal 76 dimana kewenangan absolutnya ada pada MRP. Namun masalah apa yang menyebabkan, kemudian pemerintah pusat nekat mengambil alih kewenangan daerah dalam urusan pemekaran provinsi ini.

Pengambilalihan kewenangan daerah ini menunjukan contoh konkrit dari ketidaktulusan Jokowi membangun Papua. Jokowi lebih mendengar keinginan elit sehingga ingin memaksakan pemekaran provinsi di tanah Papua.

Padahal dampak dari pemekaran provinsi ini sangat luas dan menimbulkan kontradiktif pandangan rakyat papua. Memang kontradiktif dan debatable bila ditinjau dari berbagai aspek baik sosial budaya, ekonomi dan politik.

Harap Jokowi kembali mempertimbangkan matang dari semua aspek tersebut lalu memutuskan. Jangan dipaksakan, pada akhirnya semakin menyengsarakan kehidupan rakyat papua.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar