Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Surat Terbuka ke-2 untuk Anggota Dewan dan Kepala BPK soal APBN

Senin, 01/02/2021 11:23 WIB
Sidang Paripurna, Masa sidang III 2021 (Detik)

Sidang Paripurna, Masa sidang III 2021 (Detik)

Jakarta, law-justice.co - Perihal: Potensi Pelanggaran Undang-Undang Keuangan Negara

Tembusan: Kementerian Keuangan

Anggota Dewan dan BPK yang Terhormat. Semoga sehat walafiat dan amanah dalam mengemban tugas negara. Surat terbuka ini adalah yang kedua kepada Dewan.

Karena materinya relevan maka surat terbuka ini kami sampaikan juga kepada BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang ditugaskan Undang-Undang Dasar melakukan pemeriksaaan keuangan negara.

Dewan yang Terhormat, surat terbuka pertama kami sampaikan pada 25 Desember 2020 tentang pengelolaan APBN dan SiLPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) yang berpotensi merugikan negara dan melanggar hukum: https://www.kedaipena.com/surat-terbuka-kepada-dewan-apbn-dan-silpa-bisa-rugikan-negara-dan-langgar-hukum/. Nampaknya Dewan masih sibuk dan belum ada waktu membalasnya. Kami maklum dan sabar menunggu.

Dewan dan BPK yang Terhormat. Menurut pemahaman kami, menurut Undang-Undang (UU) Keuangan Negara semua pengeluaran pemerintah (government spending / expenditure) harus melalui pos Belanja Negara di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pengertian Belanja Negara adalah semua pengeluaran baik untuk keperluan operasional maupun investasi.

Namun sungguh mengejutkan ada beberapa jenis pengeluaran tidak masuk pos Belanja Negara di APBN. Pertama, Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk BUMN.

Nilainya Rp 143,2 triliun selama 2015-2019. Sumber dana untuk PMN ini langsung diperoleh dari utang (pembiayaan investasi), tanpa masuk pos Belanja Negara di APBN, dan tidak masuk perhitungan defisit anggaran.

Pasal 4 ayat (1) UU No 19/2003 tentang BUMN berbunyi Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Dan pasal 4 ayat (2) huruf a mengatakan Penyertaan Modal Negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN bersumber dari APBN.

Dari kedua pasal ini sangat jelas bahwa modal dan PMN untuk BUMN harus berasal dari kekayaan negara yang bersumber dari APBN, yaitu Pendapatan Negara. Sehingga modal dan PMN dari utang bertentangan dengan kedua pasal ini. Bukankah begitu? Mohon Dewan dan PBK berkenan memberi konfirmasi.

Kedua mengenai PMN Lainnya yang antara lain digunakan untuk PMN di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Rp5,7 triliun), Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (Rp 2,5 triliun), dan lainnya.

Jumlah seluruh PMN Lainnya mencapai Rp27,8 triliun selama 2015-2019. Modusnya juga sama, tidak masuk APBN tetapi langsung dibiayai dari utang. Mengapa bisa begitu? Aturan mana yang mengatakan PMN di Lembaga atau Badan dibolehkan tidak melalui pos Belanja Negara di APBN? Mohon Dewan dan BPK berkenan memberi rujukan peraturannya.

Ketiga, PMN atau investasi pemerintah di Badan Layanan Umum (BLU). Nilainya sangat besar, mencapai Rp104,6 triliun (2015-2019). Dana investasi ini juga berasal langsung dari utang, tidak tercatat di dalam pos Belanja Negara di APBN.

Total PMN dan investasi pemerintah tersebut di atas mencapai Rp283,5 triliun (2015-2019), tidak masuk dalam pos Belanja Negara di APBN, tetapi langsung dibiayai dari utang.

Dewan dan BPK yang Terhormat. Pengelolaan keuangan negara seperti digambarkan di atas menimbulkan moral hazard.

Pemerintah cenderung mendirikan dan membesarkan BUMN seenaknya karena modal untuk pendirian dan penyertaan tidak dihitung sebagai defisit anggaran, karena tidak masuk APBN dan dibiayai langsung dari utang.

Akibatnya, negara dibebani utang cukup besar akibat pendirian dan penyertaan modal kepada BUMN yang off-budget ini.

Tidak heran investasi pemerintah untuk BUMN, lembaga dan BLU semakin banyak dan semakin besar. Salah satunya Lembaga Pengelola Investasi (LPI) yang sedang hangat, juga menggunakan modus yang sama, modalnya bersumber dari utang. Bukankah begitu?

Ketika terjadi kerugian, baik karena mismanagement atau korupsi, pemerintah cenderung menanggung semua kerugian atau bailout melalui PMN lagi yang berasal dari utang.

Karena tidak masuk pos Belanja Negara di APBN, dan tidak terhitung dalam defisit anggaran. Seperti kasus Jiwasraya, Asabri dan banyak lainnya. Moral hazard. Bagaimana mungkin modal dan investasi bersumber dari utang? Jelas ini bukan praktek good governance.

Selain itu, pemerintah juga bisa (maaf menggunakan kata) manipulatif. Menggeser Belanja Negara menjadi PMN dan investasi pemerintah untuk mengurangi defisit anggaran, akibat tidak masuk APBN.

Contohnya, Dana Abadi Penelitian, Dana Bergulir, Pengadaan Tanah Proyek Strategis Nasional. Bagaimana mungkin semua pengeluaran PMN ini dibiayai langsung dari utang, bukan dari APBN? Bukankah ini sudah diluar akal sehat dan bertentangan dengan peraturan?

Terakhir, kami juga sangat terkejut mengetahui bahwa pembayaran “kontribusi” kepada badan internasional seperti The Islamic Corporation for the Development of Private Sector (ICD), International Development Bank (IDB), International Fund for Agricultural Development (IFAD), Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), International Development Association (IDA) juga bersumber dari utang, bukan dari APBN.

Nilainya Rp10,7 triliun (2015-2019) di mana 87,4 persen atau Rp9,4 triliun untuk AIIB (Asian Infrastructure Investment Bank) yang diinisiasi China. Pengeluaran rutin ini seharusnya tercatat di pos Belanja Negara. Bagaimana pendapat Dewan dan BPK?

Dewan dan BPK yang Terhormat. Kalau semua PMN di atas dicatat di dalam pos Belanja Negara maka defisit anggaran 2015 dan 2016 menjadi 3,1 dan 3,16 persen terhadap PDB. Artinya lebih besar dari batas maksimum defisit anggaran 3 persen.

Berarti, pengelolaan fiskal dan keuangan negara seperti ini melanggar undang-undang tentang APBN, Keuangan Negara serta BUMN. Di lain pihak, tidak ada satu pun peraturan yang membolehkan investasi pemerintah atau penyertaan modal negara off-budget, artinya tidak melalui pos Belanja Negara dan APBN, atau yang membolehkan investasi pemerintah dibiayai langsung dari utang.

Mohon Dewan dan BPK berkenan memberi tanggapan. Demikian Surat Terbuka ini kami sampaikan. Terima kasih.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar