PKS Lontarkan Kritik untuk Sri Mulyani Terkait Kenaikan Cukai Tembakau

Kamis, 28/01/2021 17:20 WIB
Sri Mulyani dan Anis Byarwati. (Foto: Kronologi).

Sri Mulyani dan Anis Byarwati. (Foto: Kronologi).

Jakarta, law-justice.co - Anggota Komisi Keuangan (Komisi XI) DPR RI, Anis Byarwati, melontarkan catatan kritis kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait kenaikan tarif cukai rokok yang akan diberlakukan mulai 1 Februari mendatang.

Anis mengatakan Kementerian Keuangan mengumumkan kenaikan cukai tembakau sebesar 12,5 persen. Rencana kenaikan tarif cukai tembakau tergambar pada kenaikan target penerimaan cukai rokok sebesar Rp7,86 triliun atau 4,8 persen. Target penerimaan cukai rokok tahun 2021 adalah sebesar Rp172,8 triliun.

"Merujuk perolehan Cukai Hasil Tembakau (CHT) 2020 sebesar Rp170,24 triliun naik 3,1 persen dari target 164,9 triliun. Ini menjadi catatan tersendiri, karena seharusnya kenaikan CHT dapat meningkatkan kesejahteraan petani tembakau melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT),” kata Anis dal keterangannya, Kamis (28/1/2021).

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengatakan bahwa kenaikan cukai rokok cenderung akan menaikkan jumlah rokok ilegal. Untuk itu, selain menaikkan cukai rokok, pemerintah perlu lebih intens lagi melakukan edukasi publik atas bahaya rokok kepada masyarakat.

Pasalnya, tujuan kenaikan cukai dan penyederhanaan struktur tarif cukai tembakau menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah mengurangi dampak negatif tembakau dan jumlah perokok.

“Diharapkan ada political will yang kuat dari pemerintah untuk membatasi perokok aktif, minimalnya menegakkan aturan larangan merokok di lingkungan kementerian dan lembaga pemerintahan,” katanya.

Ketua Bidang Ekonomi dan Keuangan DPP PKS ini juga menyinggung realisasi APBN 2020, terutama Anis pada rasio utang terhadap PDB Indonesia (debt to GDP ratio) yang terus mengalami peningkatan dan semakin memburuk akhir-akhir ini. Saat masa pra pandemi, debt to GDP ratio Indonesia terus meningkat, dari awalnya 24 persen pada 2014 menjadi 30,2 persen pada 2019. Masa pandemi kemudian melonjak ke 38,5 persen pada 2020 dan berpotensi melesat menjadi 40,8 persen pada 2021.

Anis menjelaskan, meningkatnya debt to GDP ratio menunjukkan bahwa selama periode tersebut penambahan utang lebih tinggi dibandingkan penambahan PDB. Artinya, utang pemerintah selama ini belum cukup produktif untuk mendorong PDB nasional.

"Hal ini tentu perlu menjadi catatan penting. Situasi ini merupakan sinyal kurang bagus, yang artinya pemerintah akan kesulitan mengendalikan laju utang di masa yang akan datang," ujarnya.

Terkait Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun 2020, Anis mengungkapkan bahwa para ekonom sepakat resesi ekonomi akan cepat teratasi jika pandemi bisa dituntaskan dengan cepat. Namun, kata dia, PEN bidang kesehatan tercatat dengan realisasi yang rendah. PEN bidang kesehatan hanya terealisasi Rp63,51 triliun dari pagu Rp99,5 triliun. Penyebabnya mulai dari permasalahan administrasi hingga koordinasi antara kementerian dan lembaga pemerintah sendiri.

“Seolah kementerian kesehatan tidak dilibatkan dalam penentuan pagu anggaran untuk PEN bidang kesehatan hingga terjadi realisasi anggaran yang lemah dan tidak optimal. Keluhan juga datang dari berbagai daerah, rumah sakit, dan para tenaga kesehatan terkait anggaran dari pusat yang juga belum jelas,” jelas Anis.

Adapun terkait kebijakan perpajakan dalam UU Cipta Kerja, Anis menyoroti turunnya tarif PPh Badan dari 25 persen menjadi 22 persen yang kontroversial dan ditolak Fraksi PKS karena dianggap akan menggerus penerimaan negara.

“Insentifnya untuk pengusaha jelas, tapi dampak signifikan bagi perekonomian belum pasti,” kata dia.

Belum lagi, lanjut Anis, tren penerimaan negara terus merosot dari tahun ke tahun. Sedangkan negara perlu memobilisasi sumber pembiayaan pembangunan agar dapat memenuhi layanan dasar dan jaminan sosial demi kesejahteraan rakyat. Padahal, tingkat kepatuhan pajak wajib pajak (WP) badan cukup rendah, hanya 65 persen bila dibandingkan dengan WP karyawan dan non karyawan yang mencapai 75 persen. Penurunan PPh Badan bertolak belakang dengan kepatuhan WP korporasi yang rendah.

Anggaran untuk pembelian vaksin tak luput jadi sorotan Anis. Pengadaan dan operasional vaksin Covid-19 dilakukan impor dengan jumlah anggaran dalam program PEN 2021 sebesar Rp104,7 triliun. Anis menyebut angka itu adalah anggaran jumbo ditengah resesi ekonomi.

Ia lantas menyesalkan tidak munculnya dukungan anggaran untuk vaksin merah putih. Bahkan sama sekali tidak disinggung dalam slide pemaparan Sri Mulyani saat Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR, kemarin (27/1).

“Jika berorientasi pada penghematan anggaran, maka vaksin dalam negeri adalah solusi. Anggaran negara dan devisa pasti terkuras jika orientasinya impor. Dengan jumlah penduduk 268 juta, maka vaksin dalam negeri harus didukung penuh secara anggaran dan diprioritaskan,” tegas Anis.

(Muhammad Rio Alfin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar