Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Banjir di Kalimantan Selatan, Ketika Tuhan Dipersalahkan?

Senin, 25/01/2021 12:25 WIB
H.Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Ist)

H.Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Awal tahun 2021 ini Indonesia memang benar-benar sedang berduka. Bencana melanda dimana mana mulai jatuhnya pesawat Sriwijaya, tanah longsor di Majalengka, gempa bumi di Majene Sulbar, erupsi gunung Semeru, ombak besar di Menado hingga  banjir besar yang melanda Kalimantan Selatan yang hingga kini belum tuntas sepenuhnya. 

Danrem 101/Antasari Brigjen TNI Firmansyah melaporkan jumlah korban meninggal akibat banjir yang melanda Kalimantan Selatan sebanyak 21 orang, dan sebanyak 63.608 orang mengungsi, meninggalkan tempat tinggalnya untuk sementara.

"Jumlah Keluarga terdampak sebanyak 120.284 KK, dengan korban meninggal 21 orang, jumlah jiwa terdampak 342.987 orang, dan jumlah pengungsi di beberapa tempat pengungsian sebanyak 63.608 orang," kata Firmansyah dalam konferensi pers virtual, Rabu (20/1) seperti dikutip CNN. Indonesia.

Banjir Kalimantan Selatan melanda hampir seluruh kabupaten/ kota yaitu kota Banjarmasin,Kabupaten Tanah Laut,Kabupaten Banjar,Kabupaten Tapin, Kota Banjarbaru, Kabupaten Hulu Sungai Tengah,Kabupaten Balangan,dan Kabupaten Hulu Sungai Utara.

Banjir dan tanah longsor yang terjadi di Kalimantan Selatan pada Januari 2021 ini diyakini sebagai yang terparah sejak Indonesia merdeka. Komunitas adat Dayak Meratus diklaim sebagai yang paling terkena dampaknya. Selain tinggal di kawasan hilir yang disebut semakin gundul, bencana alam ini merusak sumber kehidupan warga Dayak Meratus, seperti ladang dan rumah mereka.

Meskipun banjir sudah berlangsung hampir dua minggu lamanya, namun dibeberapa tempat seperti di sebagian kota Banjarmasin, air banir belum sepenuhnya hilang dari pemukiman warga. Sehingga masyarakat harus menyedot air banjir dengan pompa supaya tidak menggenangi pemukimannya.

Pasca terjadinya banjir besar di Kalimantan Selatan, kontroversi masih terjadi seputar spekulasi apa penyebab utama terjadinya banjir yang terjadi disana. Banjir ini juga menyibak wajah penyelenggara negara baik di tingkat lokal maupun pusat dalam menyikapi permasalahan yang terjadi ketika bencana melanda. 

Penyebab Banjir

Segera setelah bencana banjir melanda Kalimantan Selatan, berbagai pihak ramai ramai mencari tahu apa yang menjadi penyebabnya. Karena dengan mengetahui penyebab diharapkan akan bisa dicari solusi yang menjadi akar masalahnya sekaligus menentukan siapa yang harus bertanggungjawab atas terjadinya suatu bencana.

Terkait dengan penyebab banjir Kalsel ini  Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono mengatakan, tim Bareskrim Polri telah dikerahkan untuk mencari tahu penyebab banjir yang menerjang wilayah di Kalimantan Selatan  dimana kesimpulan sementara, banjir terjadi karena pengaruh cuaca.

"Bareskrim sudah turun tim dan mendengarkan pemaparan dari BMKG. Ternyata salah satu faktor adalah curah hujan tinggi . Itu hasil sementara yang kami dapatkan," katanya seperti dikutip media  Jumat (22/1/2021).

Temuan dari Bareskrim ini menguatkan pernyataan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bahwa banjir yang terjadi di Kalimantan lebih disebabkan oleh anomali cuaca. Anomali tersebut berupa curah hujan sangat tinggi selama lima hari yakni 9 sampai 13 Januari 2021.

"Terjadi peningkatan 8-9 kali lipat  ," kata Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, KLHK, Karliansyah, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa, 19 Januari 2021.Sehingga, kata Karliansyah, air yang masuk ke sungai Barito di Kalimantan Selatan sebanyak 2,08 miliar meter kubik. Sementara, kapasitas sungai kondisi normal hanya 238 juta meter kubik," ujarnya.

Pernyataan dari pejabat  KLHK tersebut diamini oleh pejabat yang lainnya. Adalah Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan ( Menko PMK) Muhadjir Effendy yang mengatakan, banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan merupakan dampak fenomena La Nina. Padahal, kata dia, wilayah Kalimantan Selatan sebelumnya diprediksi tidak terkena dampak La Nina. 

"Seingat saya Kalimantan Selatan termasuk wilayah yang tidak dikira akan menghadapi dampak badai La Nina ini," ujar Muhadjir saat berkunjung ke posko pengungsian banjir Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Kamis (21/1/2021) seperti dikutip media.

Pernyataan dari Menko PMK sejalan juga dengan ucapan dari Gubernur Kalsel Syahbirin Noor yang menyebut penyebab banjir Kalsel adalan karena pengaruh cuaca yaitu La Nina, sebagaimana yang ia kemukakan saat diwawancara oleh televisi nasional yang banyak dikutip oleh media. 

Penyebab banjir karena cuaca itu dibenarkan oleh orang nomor satu di Indonesia. Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika melakukan peninjauan di Kelurahan Pekauman, Kecamatan Martapura Timur, Kabupaten Banjar pada Senin, 18 Januari 2021  mengatakan bahwa terjadinya banjir karena tingginya curah hujan selama hampir 10 hari berturut-turut sehingga daya tampung Sungai Barito yang biasanya menampung 230 juta meter kubik meluap, akibatnya air sebanyak 2,1 miliar kubik  membanjiri 10 kabupaten dan kota yang ada disana.

Pernyataan Pak Jokowi yang menyatakan bahwa banjir di Kalsel karena hujan terus menerus sehingga menyebabkan sungai Barito meluap menimbulkan banyak tanda tanya. Karena tidak semua Kabupaten/ Kota yang dilanda banjir berkaitan dengan sungai Barito seperti Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara, Tanah Laut, Kota Baru,Kabupaten Tapin dan lain lainnya yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan sungai Barito, tetapi mengapa luapan sungai Barito sebagai penyebabnya ?.

Fenomena ini mengesankan bahwa Presiden tidak memahami lokasi suatu wilayah serta penyebab banjir di Kalsel yang tidak semata mata berhubungan dengan meluapnya air sungai karena faktor hujan yang turun terus menerus dalam waktu lama.

Jika rata rata pejabat pemerintah menyatakan bahwa penyebab banjir karena pengaruh cuaca khususnya La Nina sehingga menimbulkan hujan deras dalam waktu yang lama maka berbeda halnya dengan para pengamat dan pegiat lingkungan pada umumnya. Mereka berpendapat bahwa penyebab banjir bukan semata karena soal cuaca tetapi disebabkan oleh faktor lainnya.

 Wahana Lingkungan Hidup (Walhi)  seperti dikutip banyak media, menilai banjir di Kalimantan Selatan (Kalsel) disebabkan alih fungsi hutan yang ada disana.Dwi Sawung, Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Walhi, mengungkapkan Kalimantan Selatan memiliki luas wilayah 3,7 juta hektare yang terdiri dari 13 Kabupaten/Kota. Seluas 50 % dari 3,7 juta hektare wilayah Kalsel sudah dibebani izin industri ekstraktif.

“Tambang 33% dan perkebunan kelapa sawit 17%. Ini diluar HTI(Hutan Tanaman Industri) dan HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Kami (Walhi) masih melihat faktor terbesarnya (penyebab banjir) adalah alih fungsi hutan menjadi kebun sawit dan tambang,” ungkap Sawung Rabu (20/1).

Sementara itu  Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah mengatakan, banjir parah di Kalsel tak lepas dari eksploitasi pertambangan batubara, perkebunan sawit dan industri ekstraktif lainnya yang merampas ruang dan merusak lingkungan.

Merah menjelaskan, dari 3,7 juta hektare (ha) luas Kalsel, sebanyak 1,2 juta atau 33% lahan di Kalsel dikuasai oleh pertambangan batubara. Lalu, sekitar 620.000 ha atau 17% lahan di Kalsel dikuasai oleh Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit berskala besar."Jadi kalau ditotal (luas lahan tambang batubara dan sawit) itu sudah 50% ditambah lagi dengan perizinan industri ekstraktif lainnya," kata Merah seperti dikutip  Kontan.co.id, Rabu (20/1).

Selain tambang batubara dan perkebunan sawit, di Kalsel juga terdapat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) atau Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Luasan IUPHHK-HA mencapai 234.000 ha, sedangkan HTI seluas 567.000 ha. Angka itu mencapai 20% dari luas Kalsel.

Dari izin yang digelontorkan oleh pemerintah itu, Merah mencatat, 553 merupakan izin pertambangan yang non clean n clear (CnC), sisanya sebanyak 236 Izin Usaha Pertambangan (IUP) berstatus CnC."Jadi penyebab utamanya (bencana banjir) menurut kami ya alih fungsi lahan oleh perusahaan tambang," katanya.

Sementara itu Ketua Lembaga Penanggulanagan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Muhammad Ali Yusuf menyebut menipisnya hutan yang ada di Kalimantan Selatan sebagai penyebab utama terjadinya banjir bandang disana. Menurutnya, kondisi hutan di Kalimantan 10 tahun terakhir cenderung menurun jumlahnya. Banyak hutan-hutan yang beralihfungsi menjadi tempat lain yang dinilai tidak ramah terhadap lingkungan karena mengharuskan menebang pepohonan yang tumbuh rindang yang mestinya dilindunginya. 

“Semua sudah berubah. Kita tidak menyalahkan kegiatan ekstraksi, karena itu untuk ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Tapi paling penting adalah kesadaran bersama khususnya Pemerintah Daerah bahwa segala sesuatu yang sedang atau sudah dilakukan, ada risiko yang kita tanggung,” kata Muhammad Ali Yusuf, Senin (18/1).

Berdasarkan hasil analisis Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) diketahui ada kontribusi penyusutan hutan dalam kurun 10 tahun terakhir ini terhadap peningkatan risiko banjir di wilayah Kalsel.

Berdasarkan data Lapan, dari 2010 sampai 2020, telah terjadi penyusutan luas hutan primer seluas 13.000 hektare, hutan sekunder seluas 116.000 hektare, sawah 146.000 hektare, dan semak belukar 47.000 hektare. Sedangkan area perkebunan di wilayah itu menurut data perubahan tutupan lahan luasnya bertambah hingga 219.000 hektare.

Menyalahkan Tuhan ?

Menyimak pernyataan penyebab banjir di Kalsel sebagaimana dikutip diatas memang mengesankan adanya dua pemahaman dan pandangan yang berbeda. Para pejabat umumnya menyatakan bahwa penyebab banjir karena pengaruh cuaca ekstrim yang menyebabkan hujan deras dan berlangsung lama. Fenomena ini menjadi penyebab terjadinya banjir disana.

Sementara kalangan pengamat dan aktifis menilai banjir yang terjadi bukan karena semata mata fakor cuaca tetapi karena ulah tangan tangan manusia yang tidak bijak memperlakukan lingkungan dan alam sehingga berdampak terjadinya bencana.  Membludaknya Izin Usaha Pertambangan batubara, perkebunan sawit,  dan ijin pembukaan areal hutan lainnya untuk berbagai kepentingan diduga menjadi penyebabnya.

Selain itu carut marut tata kelola lingkungan dan sumber daya alam, rusaknya daya tampung dan daya dukung lingkungan, termasuk hilangnya  tutupan lahan di daerah aliran sungai (DAS) ikut memicu terjadinya banjir besar yang merugikan masyarakat yang tinggal disana.

Dari pernyataan penyebab banjir diatas sebenarnya akan bermuara pada aspek tanggungjawab atas terjadinya suatu bencana. Siapa yang seharusnya bertanggungjawab jika suatu bencana melanda ?. Jika penyebab banjir itu dikarenakan oleh cuaca atau La Nina maka terkesan bahwa Tuhan yang dipersalahkan karena soal cuaca bukan manusia yang mengaturnya melainkan ada kuasa Tuhan disana. 

Dengan menyatakan bahwa penyebab bencana banjir adalah karena cuaca maka terkesan manusia ingin lepas tangan dari perilakunya yang serakah dalam mengeksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan sehingga terjadinya bencana.  Pada hal firman Allah  dalam Al-Qur’an menyatakan  :“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura: 30).

Menyalahkan cuaca sebagai biang kerok terjadinya banjir mengingatkan kita pada peristiwa kebakaran hutan beberapa waktu yang lalu dimana kebakaran hutan  terjadi  disebabkan oleh karena hujan tidak turun dalam waktu lama sehingga akhirnya terjadi kebakaran hutan dimana mana. Sama halnya dengan fenomena dimana hujan turun terlalu lama sehingga banjir akhirnya melanda. 

Tanpa bermaksud menyalahkan pihak pihak tertentu sebagai penanggungjawabnya ketika terjadi bencana maka seyogyanya terjadinya bencana seperti banjir di Kalsel perlu dilakukan upaya penegakan hukumnya untuk menjerat mereka mereka yang seharusnya bertanggungjawab atas terjadinya suatu bencana.  Jangan sampai bencana seperti banjir ini berlalu begitu saja karena sudah menemukan tersangkanya yaitu “Tuhan” yang menjadi pengatur segalanya. Kalau ini yang menjadi presedennya maka bencana akan selalu timbul karena dianggap bukan karena ulah manusia.

Jika banjir Kalsel disebabkan oleh karena faktor cuaca, faktor La Nina, lalu bagaimana dengan mereka yang telah mengeluarkan ijin ijin (penambangan, sawit, pembukaan hutan) dengan seenaknya ?.  Bagaimana halnya dengan para pengusaha yang telah mendapatkan ijin ribuan hektar lahan sehingga selama ini telah menikmati hasilnya menjadi orang orang kaya yang berlimpah harta ?. 

Saat ini ketika bencana banjir melanda, mereka para pejabat dan pengusaha yang telah mengeluarkan ijin dan menikmati ijin dengan gampang bisa menghindar dari arena bencana misalnya mengungsi ke hotel atau pergi ke Jakarta karena limpahan uang yang telah di perolehnya. Tetapi bagi rakyat Kalsel yang terkena dampak tidak bisa berbuat apa apa selain harus menikmati bencana itu  dengan bekal seadanya. Adilkah ini semua ?

Tanggungjawab Siapa ?

Kebanyakan bencana yang terjadi adalah akibat ulah perbuatan tangan tangan manusia. Bencana bencana seperti kebakaran hutan, tanah longsor maupun  banjir disebabkan oleh karena perbuatan manusia sebagai faktor utamanya. Ini berbeda halnya dengan bencana seperti gunung meletus atau gempa bumi yang lebih disebabkan oleh faktor alam alias bukan karena faktor perbuatan manusia meskipun secara hakiki semua disebabkan oleh ulah manusia juga sehingga menyebabkan Tuhan menjadi murka.

Ketika terjadi bencana, seyogyanya tidak boleh berhenti hanya sampai bencana saja melainkan harus diidentifikasi siapa penanggungjawabnya. Karena kalau hanya berlalu begitu saja tidak akan menimbulkan efek jera dan pelaku kerusakan lingkungan akan kembali melakukan perbuatannya sehingga menimbulkan bencana.

Menurut pasal 87 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), dinyatakan bahwa :“Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”

Berdasarkan pasal tersebut, setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan (perusahaan/badan hukum) yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tersebut memiliki tanggung jawab untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan, sejauh terbukti telah melakukan perbuatan pencemaran dan/atau perusakan. 

Pembuktian tersebut baik itu nyata adanya hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian (liability based on faults) maupun tanpa perlu pembuktian unsure kesalahan (liability without faults/strict liability) (Pasal 88 UUPPLH).

Selain itu seseorang dapat dituntut pidana, jika sengaja mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) vide pasal 41 UUPPLH, karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 100. 000. 000,- (seratus juta rupiah) vide pasal 42 UULH.

Pasal 78 angka 14 dirumuskan bahwa tindak pidana itu apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.

Dengan demikian, apabila pelakunya badan hukum atau badan usaha, maka sanksi pidana seperti pasal 50 ayat (1),(2) dan (3), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000 (lima milyar rupiah), dan ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.

Selama puluhan tahun ijin ijin usaha dibidang pertambangan, kehutanan, sawit dan sebagainya telah dikeluarkan kepada pengusaha di Kalsel sudah barang tentu diantara sekian banyak penerima  ijin usaha  tersebut ada sebagian pengusaha pengusaha yang menjalankan usahanya dengan seenaknya dengan mengabaikan lingkungan sehingga terjadi banjir atau bencana. Siapa siapa mereka ? Sejauhmana kerusakan yang ditimbulkan olehnya ?Bagaimana pertanggungngjawaban hukumnya ? tentunya menjadi kewajiban aparat penegak hukum untuk mengusutnya.

Selain penanggungajwab usaha ada pihak lain  yang seharusnya bertanggungjawab yaitu para pejabat terkait yang telah melakukan obral mengeluarkan ijin ijin bagi usahamereka. Sanksi pidana terhadap pejabat yang  telah mengeluarkan ijin usaha ini dimuat dalam pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 

Dalam pasal ini diberlakukan delik formil kepada pejabat pemerintah yang berwenang megeluarka izin lingkungan. Sanksi pidana dikenakan terhadap pejabat pemberi izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL. 

Sanksi ini diberikan dengan pemikiran bahwa sistem perizinan merupakan instrumen yang sangat penting dalam rangka pengendalian lingkungan. Karena Pengelolaan lingkungan hanya dapat berhasil menunjang pembangunan berkelanjutan apabila pemerintahan berfungsi efektif dan terpadu. Salah satu sarana yuridis administratif untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran lingkungan adalah sistem perizinan”.

Karena itu ada ancaman hukum pidana bagi pejabat (pusat maupun daerah), berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan pejabat tersebut, berkaitan dengan perizinan dan pengawasan pengelolaan lingkungan hidup, karena sebagai langkah pertama dalam upaya pencegahan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup adalah penerapan perizinan lingkungan, yang merupakan penegakkan hukum administrasi untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan atau kegiatan usaha yang berwawasan lingkungan.

Perusakan dan ataupun pencemaran lingkungan yang diakibatkan izin yang diberikan pejabat pemerintah kepada korporasi jelas merugikan negara secara ekonomi, mulai dari rusaknya ekosistem, dimana mempengaruhi kehidupan manusia. Dampak yang terjadi terhadap lingkungan tidak hanya menyentuh satu atau dua aspek saja, tetapi saling memiliki keterkaitan sesuai dengan mata rantai ekosistem. Sebagai contoh dampak adanya pembabatan hutan tak terkendali akan menyebabkan erosi, tanah longsor, banjir dan sebagainya.

Sanksi pidana terhadap pejabat pemberi izin lingkungan yang tidak dilengkapi amdal atau UKL-UPL adalah pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun, pidana penjara dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Sanksi pidana penjara yang dikenakan terhadap pejabat pemberi izin lingkungan ini sangat ringan apabila dibandingkan dengan kejahatan yang dilakukan. Sebagaimana fungsi amdal dan UKL-UPL yang merupakan instrumen penting sebagai instrumen pencegah yang merupakan bagian dari perizinan lingkungan. 

Selain itu KUHP Indonesia telah mengatur kejahatan jabatan yang kemudian diadopsi oleh Undang – undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang – undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disingkat UUPTPK.

Pasal 111 ayat (1) juga merupakan bentuk kejahatan jabatan, yang seharusnya sanksi yang diberikan lebih berat sesuai ketentuan dalam UUPTPK pasal 3 yang menyebutkan: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Dari ketentuan diatas tindak pidana korupsi dipandang serius dengan menerapkan ancaman hukuman seumur hidup dan memuat sanksi minimum dan denda minimum, ini tidak sebanding dengan pasal 111 ayat (1) UUPPLH 2009 yang memberikan sanksi terhadap pejabat yang menggunakan wewenangnya memberikan izin lingkungan yang tidak dilengkapi oleh Amdal atau UKL-UPL.

Sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 111 ayat (1) UUPPLH 2009 erat kaitkannya dengan tindak pidana korupsi, karena subyek hukum adalah pejabat yang berwenang, dimana menggunakan wewenangnya untuk melakukan tindak pidana, sepatutnya sanksi yang diberikan dalam pasal 111 ayat (1) mempertimbangkan sesuai tindak pidana korupsi.

Pasal 111 ayat (1) UUPPLH 2009 dapat dikaitkan pula dengan UUPTPK yang menggolongkan extra ordinary crime. Amdal dan UKL merupakan instrumen perlindungan lingkungan hidup, amdal merupakan perencanaan kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan, hal ini adalah sebagai filterisasi kegiatan industri yang semakin menghawatirkan, penggunaan teknologi dapat mengancam keberlangsungan lingkungan hidup. UUPPLH 2009 lahir sebagai wujud penghormatan hak-hak manusia terhadap lingkungan hidup yang baik dan sehat yang tertuang dalam UUD NRI 1945, yang kemudian menjadi konsideran pembentukan UUPPLH 2009. 

Adanya hak legal manusia untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat melalui pasal 28H memiliki konsekuensi hukum terhadap kewajiban negara untuk memenuhi dan menjamin hak tersebut. Pemenuhan hak tersebut melalui perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, termasuk memberikan peran yang strategis terhadap hukum pidana sebagai upaya preventif. Pendayagunaan hukum pidana dengan memandang kegiatan yang merugikan lingkungan sebagai extra ordinary crime, karena lingkungan harus dipandang setara dengan manusia. 

Karena kedudukan lingkungan yang dianggap setara dengan manusia itu maka wajar kalau pengusaha  yang menjadi perusak lingkungan maupun pejabat yang telah memberikan ijin usaha tanpa memperhatikan keselamatan lingkungan di mintai pertanggungjawabnnya. Agar jangan sampai ada salah satu pihak menikmati hasil hasil kekayaan sumberdaya alam sementara pihak lain menderita kerugian karena ulah mereka.  Jangan sampai ada yang usai menggelar pesta sementara pihak lain  harus mencuci piringnya. 

Selama puluhan tahun sudah banyak pejabat yang mengeluarkan ijin untuk usaha pertambangan, perkebunan sawit, dan usaha usaha lainnya yang kebanyakan mengandalkan lahan hutan sebagai modal utamanya. Hutan dibuka besar besaran sehingga lahan gundul terjadi dimana mana. Pada hal hutan dan tanaman itu  tak ubahnya spoon penyimpan air ketika hujan tiba.

Pohon-pohon dengan akarnya adalah penyimpan air untuk stok ketika musim kemarau tiba. Ketika hutan gundul karena berbagai akitifitas manusia maka hujan turun akan langsung menggelontor membanjiri areal kawasan tanpa kemampuan hutan untuk menyerapnya. Akhirnya terjadi banjir dimana mana mana.

Dengan kondisi seperti ini maka wajar kalau harus ada yang bertanggungajwab yaitu mereka yang telah mengeluarkan ijin dan menerima ijin usaha. Karena merekalah yang selama ini telah menikmati hasilnya menjadi pengusaha dan pejabat yang  kaya raya. 

Oleh karena itu tidak ada pilihan lain demi keadilan, penegakan hukum harus dilakukan terhadap mereka yang  terlibat pelanggaran baik disektor tambang (khususnya batubara, sawit dan sebagainya) sehingga menimbulkan bencana.  Hal ini bisa dicek menggunakan peta risiko dan rawan bencana, sehingga terlihat perusahaan apa saja yang terkait dengan sumber sumber bencana. Selain itu bisa dicek pada kepatuhan pengusaha untuk melaksanakan UKL-UPLnya yang notebene merupakan janji pengusaha sebagai syarat dikeluarkannnya ijin usaha.

Penegakan hukum seyogyanya dikenakan juga kepada pejabat di pusat atau daerah yang telah mengobral ijin seenaknya sehingga menyalahi daya dukung dan daya tampung lingkungan yang menjadi penyebab bencana seperti banjir, tanah longsor dan bencana lainnya.

Selanjutnya, dengan pertimbangan daya dukung dan daya tampung lingkungan pula maka perlu dipikirkan untuk kebijakan moratorium izin pertambangan baru, pembukaan lahan sawit  dan industri ekstraktif lainnya, termasuk sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Simultan dengan penegakan hukum dan moratorium usaha maka pemerintah harus melakukan evaluasi, audit, serta mencabut izin tambang dan industri ekstraktif di kawasan penting ekologi. terutama di kawasan hutan yang sudah mengalami deforestasi, serta di kawasan hulu dan badan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang saat ini banyak mengalami kerusakan sehingga timbul bencana.

Tak kalah pentingnya adalah mengkaji kembali tata ruang  termasuk merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW),  yang menjadi pedoman utama pejabat dalam mengeluarkan ijin usaha. Selain itu juga Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan UKL / UPL jangan sampai hanya menjadi pajangan belaka tanpa dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Sementara itu bagi masyarakat yang merasa tidak puas dengan kinerja penegakan hukum maupun kinerja pemerintah dalam menangani bencana bisa menggugat secara clas action karena secara yuridis hak seperti itu memang dimungkinkan adanya. 

Gugatan class action pernah dilakukan pada tahun 2017 lalu  ketika kebakaran hutan melanda Kalimantan Tengah. Saat itu kelompok masyarakat sipil menggugat Presiden RI, Menteri LHK, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang, serta Gubernur dan DPRD Kalteng, dimana hasil dari gugatan itu Pengadilan Negeri Palangkaraya telah menyatakan bahwa terugat bersalah.  Apakah kiranya gugatan serupa akan muncul untuk kasus banjir besar Kalimantan Selatan yang begitu luas dampaknya ?

Kiranya untuk menjalankan pembangunan yang berwawasan lingkungan demi menyelamatkan lingkungan agar terhindar dari bencana yang melanda memang diperlukan kerja keras dari kita semua. Terutama bagi para pejabat yang diberikan amanat untuk melindungi rakyatnya, beban berat ada di pundaknya. Tetapi kalau mau ringan beban itu maka bisa juga dilakukan dengan sekadar membuat pernyataan saja. Misalnya dengan menyatakan penyebab bencana banjir adalah karena faktor cuaca atau karena salahnya hujan yang turun terlalu lama. 

Moga moga saja pernyataan penyebab banjir Kalsel karena faktor cuaca atau karena La Nina  itu tidak keluar dari para pejabat  karena ingin menghindar dari segi tanggungjawabnya. Karena kalau ini yang terjadi kasihan rakyar Kalsel yang telah menderita oleh sebuah bencana yang telah menimpa.. Jangan sampai duka yang telah mereka rasakan ditambah lagi dengan keadilan yang harus diterimanya.


(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar