Bakrie Telecom Kolaps, Utang Triliunan Menumpuk Tapi Kok Adem Ayem?

Sabtu, 23/01/2021 07:52 WIB
Logo Esia Bakrie Telecom (Ist)

Logo Esia Bakrie Telecom (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Masih ingatkah anda dengan nomor telepon berkode awal 9 dari operator telekomunikasi berbasis CDMA bernama Esia? Esia dulu di era pasca reformasi  pernah berjaya sebagai operator CDMA terbesar kedua di Indonesia setelah Telkom Flexi.

Esia adalah produk telekomunikasi milik PT Bakrie Telecom Tbk. Lantas bagaimana nasibnya kini? Esia sudah lama tutup buku. Sepeninggal Esia, Bakrie Telecom colaps dan semakin sulit usahanya serta gagal bersaing melawan operator telekomunikasi besar seperti; Telkomsel, Xl dan Indosat.

Saat ini kondisi keuangan perusahaan operator Esia itu sangat sulit dan secara ekonomis sudah jelas bangkrut. Apalagi Bursa Efek Indonesia (BEI) sudah hampir dua tahun men-suspend saham Bakrie Telecom dan mengancam akan mendepak saham berkode BTEL itu dari pasar modal.

Bagaimana fakta dan kenapa Bakrie Telecom bisa jatuh, begini ceritanya;

1. Memiliki Utang yang nilainya hampir 2.133 Kali dari besar asetnya

Jumlah total utang BTEL dalam laporan keuangan 2020 turun dari posisi 2019 sebesar Rp 13,35 triliun menjadi Rp 9,6 triliun. Namun jumlah aset BTEL turun drastis dari Rp 11,23 miliar menjadi Rp 4,5 miliar. Jika dihitung utang BTEL mencapai 2.133 kali lipat dari asetnya.

BTEL juga mengalami kerugian sebesar Rp 60,17 miliar. Catatan itu berbanding terbalik dengan capaian di 2019 yang berhasil menorehkan laba bersih Rp 7,17 miliar.

Adapun pendapatan usaha bruto BTEL turun dari Rp 10 miliar menjadi Rp 8,1 miliar. Beban pokok turun dari Rp 6,25 miliar menjadi Rp 5 miliar. Sehingga pendapatan usaha neto turun dari Rp 4 miliar menjadi Rp 3 miliar di 2020.

BTEL bisa mengurangi total beban usaha dari Rp 27,3 miliar menjadi Rp 10,7 miliar. Namun beban keuangan perusahaan membengkak drastis dari hanya Rp 15 juta menjadi Rp 71,56 miliar.

2. Berpotensi Besar Dikeluarkan dari Pasar Modal

Saat ini saham BTEL berpotensi dikeluarkan dari papan perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sebab saham BTEL sudah disuspensi hampir 2 tahun berturut-turut.

Mengutip keterbukaan informasi publik di bursa, Kamis (21/1/2021), BEI telah mengumumkan bahwa saham BTEL sudah dibekukan selama 20 bulan dari 27 Mei 2019. Pembekuan saham BTEL akan mencapai 24 bulan atau 2 tahun penuh pada 27 Mei 2020. Potensi delisting itu tertuang dalam Peraturan Bursa Nomor I-I tentang Penghapusan Pencatatan (Delisting) dan Pencatatan Kembali (Relisting) Saham.

Menurut ketentuan III.3.1.2 berbunyi BEI dapat menghapus saham perusahaan tercatat apabila saham perusahaan tercatat yang akibat suspensi di pasar reguler dan pasar tunai, hanya diperdagangkan di pasar negosiasi sekurang-kurangnya selama 24 bulan terakhir.

3. Diawasi dan Dipantau Ketat oleh BEI

Menurut Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna mengatakan perseroan sendiri telah mempublikasikan rencana upaya perbaikan pada tanggal 14 Agustus 2020. Pada intinya Bakrie Telecom melalui entitas anaknya akan masuk ke beberapa bisnis baru yang telah direncanakan sampai dengan tahun akhir tahun 2021 ini.

"Lalu pada tanggal 17 Januari 2021, Perseroan juga telah mempublikasikan Laporan Keuangan periode 30 September 2020 (audited) yang mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian," tandasnya kepada pers di Jakarta, Rabu (20/1/2021).

Ia mengatakan, saat ini BEI tengah melakukan evaluasi lebih lanjut terkait kesesuaian laporan keuangan perseroan dengan standar pelaporan yang berlaku. Selain itu BEI juga memantau upaya konkrit Bakrie Telecom untuk mempertahankan keberlangsungan usaha (going concern).

"Otoritas Bursa juga masih menunggu penyelesaian beberapa kewajiban Perseroan kepada Bursa, sehingga Bursa belum dapat melakukan pembukaan penghentian sementara perdagangan (unsuspensi) BTEL," tambahnya.

Bagaimana sikap manajemen Bakrie grup menanggapi masalah BTEL ini. Wartawan yang mau konfirmasi sangat sulit mendapat komentar dari para petinggi Bakrie grup. Sepertinya semua serempak tutup mulut, takut salah ngomong. 

Yang menjadi sorotan publik saat ini adalah siapa yang akan menanggung utang triliunan rupiah itu? Karena sahamnya juga dimiliki oleh publik, tentu pemilik saham publik baik individu, swasta dan organisasi maupun BUMN/BUMD (jika ada), seharusnya bersikap tegas dan menagih piutang itu. Tapi sampai saat ini sepertinya pemilik saham publik adem ayem saja. Padahal nilainya triliunan lho... Ada apa ya?

(Roy T Pakpahan\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar