Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Setumpuk "PR" Kapolri Baru, Mana yang Akan Diselesaikan Lebih Dahulu?

Rabu, 20/01/2021 07:37 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Setelah lama ditunggu, akhirnya Presiden Jokowi memilih  Listyo Sigit Prabowo sebagai calon tunggal Kapolri. Terpilihnya Listyo Sigit Prabowo berarti menyingkirkan empat kandidat lainnya yang diusulkan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tempo hari. 

Keputusan Presiden Jokowi memilih Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo sebagai calon tunggal Kapolri ditulis dalam surat yang diberikan Mensesneg Pratikno kepada Puan Maharani selaku Ketua DPR RI. Dengan begitu, Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo tinggal selangkah lagi menjadi Kapolri baru menggantikan Jenderal Idham Azis yang sudah memasuki masa purna tugas dalam pengabdiannya sebagai Kapolri. 

Pada Selasa (19/1/2021) kemaren, Komjen Pol Listyo Sigit telah  menjalani tes membuat makalah yang diselenggarakan Komisi III DPR RI. Selanjutnya  pada Rabu (20/1/2021) hari ini akan dilaksanakan uji kelayakan dengan format pemaparan visi-misi calon Kapolri lalu dilanjutkan pendalaman dari para anggota Komisi III DPR RI. 

Uji kelayakan tersebut dilakukan dengan mekanisme 2x2,5 jam yaitu dimulai pada pukul 10.00 WIB sampai 12.30 WIB dan dilanjutkan kembali pukul 14.00 WIB hingga 16.30 WIB. Komisi III DPR berharap setelah melaksanakan uji kelayakan tersebut akan langsung mengambil keputusan apakah menerima atau menolak calon Kapolri yang diajukan Presiden Jokowi.

Penunjukan Listyo Sigit Prabowo sebagai calon Kapolri pilihan Presiden Jokowi tidak sepi dari kontroversi. Banyak yang mengkritisi penunjukan dia sebagai Kapolri meskipun itu hak sepenuhnya dari presiden RI. Seperti apa kontroversi yang mewarnai terpilihnya Listyo sebagai calon Kapolri baru pilihan Presiden Jokowi ?.  Apa pekerjaan rumah (PR) Kapolri baru yang kini sudah menanti ?, Dari serangkaian PR itu, kira kira mana yang harus segera diselesaikan lebih dahulu sebagai indikator bahwa Polri akan melakukan transformasi menuju Polri yang PREdiktif, responSIbilitas, dan transparanSI berkeadilan (Presisi)?

Diwarnai Kontroversi

Menyimak biodatanya, Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo dilahirkan di  Ambon, 5 Mei 1969, sehingga ia terbilang sebagai calon Kapolri yang masih muda usianya. Ia sempat mengenyam pendidikan di Akademi Kepolisian dan Pendidikan Magister (S2) di Universitas Indonesia. Jabatan pertama yang didapatkan Listyo Sigit di kepolisian ialah Kabag Dalpers Ropers Polda Metro Jaya.

Selanjutnya, Listyo Sigit Prabowo dipindahkan ke Jawa Tengah untuk memegang jabatan tinggi di beberapa kota dan kabupaten disana.Dari 2010 hingga 2012, Listyo Sigit sempat menjadi Kapolres di Pati, Sukoharjo, dan Surakarta.Sigit pun pernah menjadi Wakil Kepala Kepolisian Kota Besar Semarang (Wakapoltabes Semarang) pada 2010 sampai akhirnya pada 2013, Listyo Sigit dikirim ke Polda Sulawesi Tenggara (Sultra).

Setahun kemudian ia kembali ke Jakarta menjadi ajudan Jokowi yang sudah menjadi Presiden Indonesia.Dua tahun mengabdi pada Presiden Jokowi, Listyo Sigit Prabowo akhirnya dikirim ke Banten untuk diangkat menjadi Kapolda disana.Jabatannya kemudian dinaikkan lagi pada 2018 menjadi Kadiv Propam Kepolisian Republik Indonesia.

Listyo Sigit baru menjadi Kabareskrim pada Jumat 6 Desember 2019 untuk menggantikan Jenderal Pol Idham Azis yang naik jabatannya.Seolah menyusul Jenderal Pol Idham Azis, kini Listyo Sigit Prabowo diajukan Presiden Jokowi menjadi calon tunggal Kapolri menggantikan Jenderal Pol. Idham Aziz yang segera memasuki masa pensiunnya.

Terpilihnya Listyo Sigit sebagai calon tunggal Kapolri tidak pernah sunyi dari kontroversi yang menyertainya.Kritik  substantif disampaikan oleh  Koordinator TPDI (Tim Pembela Demokrasi Indonesia). Seperti dikutip JPNN.com, Petrus menilai media mengangkat rekam jejak prestasi Komjen Pol. Listyo Sigit Prabowo diukur dari pengungkapan kasus Novel Baswedan dan kasus penangkapan Djoko S. Tjandra, sebagai referensi menuju TB 1 (sebutan Jenderal Polisi disandang oleh Kapolri atau Tri Brata 1). “Di mata publik, ini adalah langkah mundur dan sangat memalukan”, begitu katanya. 

Menurutnya publik melihat penanganan kasus Novel Baswedan dilakukan secara setengah hati sehingga tidak memuaskan hasilnya. Sementara, kasus Djoko S Tjandra justru merupakan potret buram kegagalan Komjen Listyo Sigit Prabowo, karena Djoko S Tjandra sempat melanglang buana mengurus KTP, mengajukan PK dan lain-lainnya terkesan dibiarkan dengan daya rusak yang tinggi, hingga berakibat dua Jenderal Polisi menjadi tumbalnya. “Karena itu, demi masa depan NKRI, Komjen Pol. Listyo Sigit Prabowo, tidak layak diusulkan apalagi dipilih jadi Kapolri 2021 ke depan,” kata Petrus.mengakhiri penjelasannya.

Selain itu kontroversi terjadi  tidak lepas dari latar belakang profil pribadi Listyo Sigit yang beragama nasrani dimana ia dipilih Jokowi ditengah tengah mayoritas bangsa Indonesia yang menganut islam sebagai agamanya. Meskipun ia bukan Kapolri pertama yang beragama nasrani namun pemilihan Listyo cukup membuat kalangan tertentu merasa kurang nyaman menerimanya.

Wasekjen Persaudaraan Alumni (PA) 212 Novel Bamukmin  sebagaimana dikutip telusur co.id menyatakan tidak mempermasalahkan keyakinan yang dianutnya. Namun  Novel mengaku, ada semacam dilema yang menggelayut di benaknya. Karena dikhawatirkan keputusan yang diambil kurang mewakili suara dari mayoritas umat Islam Indonesia

"Memang suatu dilema kalau suatu kekuasaan atau jabatan dipegang oleh orang yang tidak mewakili mayoritas," katanya.Di tangan pemimpin Polri yang muslim saja, kata Novel, ada tindakan kriminalisasi ulama. Bahkan ada pembunuhan terhadap laskar khusus pengawal Habib Rizieq Shihab yang belum kelar kasusnya."Kapolri yang muslim, ulama dikriminalisasi bahkan terjadi pembantaian terhadap pejuang Islam yaitu enam laskar yang dibantai, dan ini menjadi kekhawatiran kami," katanya.

Namun demikian banyak juga yang menilai positif pemilihan calon Kapolri yang berlatar belakang agama nasrani sebagai cermin bahwa Indonesia bukan negara agama. Adalah pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati yang mengatakan bahwa  munculnya Komjen Listyo Sigit Prabowo sebagai calon tunggal Kapolri, dengan latar belakang agama kristen akan menjadi nilai plus Indonesia di mata dunia. 

"Ini membuktikan kalau Indonesia bukanlah negara agama. Indonesia dengan ke-Bhinekaan Tunggal Ika-nya serta toleransi yang tinggi memiliki Kapolri yang justru bukan dari agama mayoritas," kata Nuning, saapan akrab Susaningtyas  di Jakarta, Rabu, 13 Januari sebagaimana dilansir Antara.

Sementara itu Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo mendukung keputusan Presiden yang menetapkan Sigit sebagai calon tunggal Kapolri yaitu Listyo Sigit Prabowo karena yang bersangkutan telah menunjukkan kemampuannya dalam menjaga nama baik dunia kepolisian Republik Indonesia. “Rekam jejak beliau selama menempati berbagai posisi sudah menunjukkan kemampuannya dalam menjaga nama baik sekaligus meningkatkan kinerja Polri,” ujarnya pada Rabu, 13 Januari 2021.

Dilingkungan DPR  sendiri, peta dukungan fraksi di DPR  dengan dicalonkannya Listyo Sigit sebagai calon Kapolri oleh Presiden Jokowi ternyata juga mendapatkan respons yang positif dari mayoritas anggota Komisi III DPR, karena Listyo dinilai memiliki kapasitas, kapabilitas, dan integritas dalam memimpin Korps Bhayangkara. 

Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Herman Hery menilai Listyo Sigit merupakan figur reformatif di institusi Polri sehingga dirinya berharap mantan Ajudan Presiden Jokowi itu bisa membawa pembaharuan di Polri dan mengakomodasi semua pihak khususnya di internal Korps Bhayangkara. 

Karena itu dia berharap Listyo dapat melakukan langkah-langkah terobosan bagi perbaikan kinerja Polri dan bisa merangkul kalangan senior-junior di Polri dengan mempersatukan serta menyolidkan institusinya. 

Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai NasDem Ahmad Sahroni menilai Presiden Jokowi telah mempertimbangkan aspek profesionalisme dalam menunjuk Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo sebagai calon Kapolri menggantikan pendahulunya. Penunjukan Komjen Listyo tersebut juga menunjukkan bahwa Presiden Jokowi telah membuktikan institusi Polri adalah lembaga yang inklusif dan tidak memilih pimpinan berdasarkan ras atau agama.

Sementara itu Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Adies Kadir menilai kemampuan calon Kapolri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo sudah tidak diragukan lagi, khususnya dari segi integritas, kapabilitas dan profesionalitas, loyalitas dan pengalamannya. Karena itu menurut dia ketika Presiden Jokowi menunjuk Listyo Sigit, maka Partai Golkar sebagai partai pendukung pemerintah, akan mendukungnya.

Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PAN Pangeran Khairul Saleh mengatakan fraksinya mendukung penuh siapa pun pilihan Presiden Jokowi terkait calon Kapolri karena diyakini terbaik untuk bangsa dan negara. Dia berharap calon Kapolri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo konsisten menjalankan prinsip Profesional, Modern, dan Terpercaya (Promoter) ketika menjalankan tugas memimpin institusinya. 

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman mengatakan fraksinya menghormati keputusan Presiden Jokowi yang mengajukan Listyo Sigit Prabowo. Menurut dia, Listyo merupakan putra terbaik Polri, memiliki banyak prestasi, dan tidak pernah ada masalah signifikan dalam perjalanan karirnya. 

Setumpuk PR

Kursi sebagai Kapolri memang belum sepenuhnya didudukinya, namun setumpuk PR sudah menghadangnya. Banyak pengamat dan elemen masyarakat serta lembaga negara yang memberikan gambaran seperti apa pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan oleh Kapolri baru nantinya.

Diantara masukan terkait pekerjaan rumah Kapolri baru itu, cukup komprehensif kiranya apa yang disampaikan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Seperti dikutip oleh TEMPO, CO, LPSK mencatat ada 7 hal yang perlu diperbaiki oleh calon Kapolri Listyo Sigit Prabowo nantinya. 

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan catatan pertama adalah soal penyiksaan yang dilakukan anggota kepolisian saat menjalankan tugasnya. Praktik penyiksaan, kata Edwin, masih menjadi catatan buram masyarakat sipil Indonesia. Merujuk data KontraS, sepanjang periode Mei 2019-Juni 2020, terdapat 62 kasus penyiksaan dimana pelaku dominan adalah oknum polisi dengan 48 kasus. Dari keseluruhan kasus yang terdata, terdapat 220 orang korban, dengan rincian 199 korban luka dan 21 korban meninggal dunia.

Peristiwa terakhir yang menarik perhatian, dikenal dengan Peristiwa KM 50, yang menewaskan 6 orang laskar FPI dimana rekomendasi Komnas HAM meminta agar peristiwa itu diproses dalam mekanisme peradilan umum pidana.  Sejauh ini  kasus penyiksaan yang dilakukan oleh polisi diselesaikan dengan mekanisme internal etik/disiplin dibandingkan proses peradilan pidana. 

“Publik mempertanyakan, equality before the law dan efek jeranya. Memang, penyiksaan masih memiliki problem regulasi karena tidak ada di KUHP sehingga disamakan dengan penganiayaan,” tutur Edwin Wakil Ketua LPSK.

Catatan kedua LPSK adalah mengenai penanganan kasus penyebaran hoaks dan ujaran kebencian yang akhir akhir ini memakan banyak korban pengguna sosial media. Menurut Edwin, catatan yang menjadi sorotan dalam perkara ini adalah sikap imparsialitas polisi dalam menindak pelaku tanpa memandang afiliasi politiknya. “Yang sering muncul menjadi pertanyaan publik atas perkara ini ialah, sejauh mana Polri bertindak imparsial tanpa melihat afiliasi politik dari para pelakunya,” tuturnya.

Pernyataan dari LPSK ini memang tidak salah tentunya karena sejauh ini Polri terkesan menyasar pihak pihak tertentu saja dalam menegakkan hukum atas perkara hoak dan ujaran kebencian khususnya di sosial media. Mereka yang menjadi buzzer buzzer penguasa terkesan kebal hukum karena tidak pernah di proses untuk dimasukkan ke penjara. Sebaliknya mereka yang berasal dari kelompok oposisi begitu sigap aparat memprosesnya.

Para buzzer istana yang suka menebar kebencian, fitnah dan berita hoaks itu sudah berkali dilaporkan kepada pihak berwajib tapi nyaris tak satupun yang berhasil di giring ke penjara. Beberapa contoh diantaranya, Abu Janda pernah dilaporkan Ikatan Advokat Muslim Indonesia (IKAMI) ke Badan Reserse Kriminal Polri pada, 10 Desember 2019 lalu namun tidak ada kelanjutan kasusnya.

Pada tanggal 1 November 2019 lalu, Fahira Idris, anggota DPD RI dari Jakarta, resmi melaporkan dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Ade Armando ke Polda Metro Jaya. Pelaporan itu adalah buntut unggahan meme Gubenur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan tata rias tokoh fiksi Joker, oleh Ade Armando.

 Namun sampai sekarang belum jelas bagaimana tindaklanjut kasus tersebut karena tidak ada kabar beritanya. Mengenai Ade Armando sudah berkali kali dilaporkan ke polisi karena unggahannya dimedia sosial yang dianggap mengandung ujaran kebencian, dan berita dusta.

Buzzer penguasa lainnya,Denny Siregar dilaporkan ke Polres Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Laporan itu terkait unggahannya di media sosial yang diduga menghina santri cilik dari sebuah pesantren yang ada disana. Pihak kepolisian membenarkan adanya laporan terhadap Denny. Laporan dibuat oleh Ustaz Ruslan namun sampai saat ini tidak terdengar kelanjutan penanganan perkaranya.

Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa aparat kepolisian masih belum bertindak secara adil untuk memperlakukan para penyebar hoak dan ujaran kebencian khususnya di sosial media. Pada hal para buzzer penguasa itu sebagaian mendapatkan pembiayaan dari negara yang artinya uang rakyat yang dipakainya. Karena itu menjadi tantangan baru Kapolri baru untuk bisa bertindak adil dalam menegakkan hukum dalam perkara penyebaran hoak dan ujaran kebencian terutama di sosial media.

Catatan Ketiga, yaitu pentingnya polisi mengedepankan restorative justice dalam penegakan hukum yang dilakukannya. Menurut LPSK,  penjara sudah penuh sehingga sudah waktunya polisi menggunakan pendekatan restorative justice sebagai penyelesaian tindak pidana.

Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya.

Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelakunya.

Dalam proses acara pidana konvensional misalnya apabila telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban, dan sang korban telah memaafkan sang pelaku, maka hal tersebut tidak akan bisa mempengaruhi kewenangan penegak hukum untuk terus meneruskan perkara tersebut ke ranah pidana yang nantinya berujung pada pemidanaan sang pelaku pidana. 

Proses formal pidana yang makan waktu lama serta tidak memberikan kepastian bagi pelaku maupun korban tentu tidak serta merta memenuhi maupun memulihkan hubungan antara korban dan pelakunya. Konsep restorative justice menawarkan proses pemulihan yang melibatkan pelaku dan korban secara langsung dalam penyelesaian masalahnya.

Konsep pendekatan restorative justice seperti dikemukakan diatas itulah kiranya yang perlu di jalankan oleh Kapolri baru setelah sekian lama penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri terkesan mengabaikannya.

Catatan Keempat adalah terkait dengan  isu korupsi di tubuh kepolisian. Edwin mencontohkan kasus Djoko Tjandra yang menyeret dua jenderal polisi menjadi tersangka. Dia bilang praktek suap dan pungutan liar masih dikeluhkan masyarakat ketika berurusan dengan polisi dalam menjalankan tugasnya. Dia bilang Kapolri baru harus memperbaiki kinerjanya terkait dengan korupsi yang melibatkan internalnya.“Menjadi tugas Kapolri agar pelayanan dan proses hukum di tubuhnya bersih dari praktik transaksional yang dapat menghilangkan kepercayaan publik,” ujarnya.

Catatan yang disampaikan oleh LPSK ini kiranya memang benar adanya. Pungli dan korupsi telah mengakar di tubuh Polri dimana pelakunya dari tingkatan bintara hingga perwira. Selain kasus terakhir yang melibatkan tiga jendral polisi dalam perkara Djoko Tjandra. Sebelumnya , lembaga Kepolisian juga pernah menjadi sorotan lantaran rekening gendut milik seorang bintara polisi yang bertugas di Kepolisian Daerah Papua. Adalah Ajun Inspektur Satu Labora Sitorus, anggota Kepolisian Resort Sorong, Papua, pemilik rekening gendut  karena triliunan nilainya. 

Kasus rekening gendut para perwira Polri  di Jakarta juga sempat menjadi berita hangat meskipun kemudian tidak jelas bagaimana kelanjutan penanganannya. Yang jelas penyelesaian masalah internal Polri terkait korupsi dan suap  ini menjadi PR bagi Kapolri baru yang terpilih nantinya. 

Karena sebagai institusi pelayan masyarakat, institusi Polri haruslah bersih dari segala praktik korupsi para anggotanya. Karena korupsi termasuk kejahatan luar biasa selain tindak pidana terorisme dan narkoba. Untuk itu, sekurangnya ada tiga langkah yang dapat dilakukan untuk memberantas korupsi di tubuh institusi Korps Bhayangkara. Yang pertama, adalah membangun keteladanan para perwira tinggi Polri dengan hidup jujur dan sederhana. Karena Polri itu menganut sistem komando, jika dari atas bersih, maka ke bawah juga akan bersih pula. Oleh sebab itu, para perwira di kepolisian harus dapat menjadi teladan bagi anak buahnya.

Langkah kedua, adalah rekrutmen, rotasi, mutasi dan promosi di tubuh Polri dimana proses-proses tersebut haruslah berjalan transparan dan akuntabel dalam pelaksanannya.  Selain itu diberlakukan assessment rekam jejak dan kualitas calon yang dicalonkannya. Tanpa adanya proses yang transparan dan akuntabel, maka ia akan menjadi lahan untuk saling jegal menjegal, permainan kotor dan pada akhirnya menumbuhkan personil Polri yang tidak mumpuni karena ketidakjelasan orientasinya.

Langkah ketiga adalah peran pengawasan internal Polri dilakukan perlu perubahan radikal, agar mampu mengawasi gerak-gerik anggota Polri dalam menjalankan tugas dan berperilakunya. Hal tersebut agar tidak ada anggota Polri yang bersikap sewenang wenang sehingga menyalahi fungsi dan tugasnya. 

Paling tidak dengan tiga langkah ini saja bisa mengurangi adanya perilaku korupsi dan pungli yang saat ini masih menjadi momok bagi Polri sehingga mendapatkan penilaian negatif dari masyarakat Indonesia. Fenomena ini menjadi PR bagi Kapolri baru nantinya untuk bisa menyelesaikannya.

Catatan Kelima, kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan masih menjadi keprihatinan nasional sehingga harus dicari solusinya.  Model kejahatan yang berkembang mulai  dari grooming hingga pemerasan, dimana banyak pelaku melakukan aksinya karena pengaruh konten pornografi di sosial media. “Polri dituntut aktif melakukan patroli siber untuk memerangi konten pornografi di dunia maya,” kata Edwin dalam keterangannya. 

Apa yang disampaikan oleh LPSK terkait dengan kekerasan terhadap anak dan perempuan itu menjadi tantangan baru bagi Kapolri baru tentunya. Mau tidak mau penegakan hukum terhadap kasus tersebut harus dilakukan secara adil dan  tranparan dimana siapapun yang menjadi pelakunya harus dihukum untuk menimbulkan efek jera. Efek jera ini perlu dimunculkan agar kejadian serupa tidak terulang untuk yang kedua kalinya.

Dalam kaitan ini maka Polri sebagai mitra masyarakat perlu memberdayakan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran mereka agar mau melaporkan bila melihat ada insiden pelecehan atau kekerasan pada anak dan perempuan dilingkungannya . 

Dalam menghadapi adanya kekerasan dan pelecehan terhdap anak dan perempuan maka Polri perlu bekerjasama dengan pihak pihak terkait dalam menjalankan tugasnya. Sebagai contoh kerjasama dengan Komnas Perlindungan Anak dan kelembagaan lainnya yang berkaitan dengan anak dan perlindungan perempuan pada umumnya.

Catatan Keenam menurut LPSK,  calon Kapolri perlu memperbaiki kerja sama antara polisi dengan penegak hukum lain seperti KPK, Kejaksaan Agung dan LPSK.  "Kapolri diharapkan mampu membangun koordinasi dan sinergi, tidak berhenti menjadi slogan," tutur Edwin Wakil Ketua LPSK.Ia juga mengapresiasi Polri atas kolaborasinya selama ini dengan LPSK dalam perlindungan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan terorisme. Harapannya, kolaborasi itu dapat berlanjut di perkara lain seperti tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya.

Sinergi antar lembaga penegak hukum dalam menangani suatu tindak pidana memang sangat diperlukan, sebab selain bisa menjaga baik hubungan antar lembaga. Sinergi terkadang diperlukan untuk memudahkan mengungkap perkara. Dalam kasus tindak pidana korupsi misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang kerap melibatkan lembaga lain untuk mendukung kinerjanya.

Contoh mudah apabila melakukan penggeledahan, penyidik KPK kerap kali meminta bantuan aparat kepolisian untuk melakukan pengawalan selama prosesnya. Begitu juga bila melakukan pemeriksaan saksi di daerah, KPK seringkali meminjam kantor kepolisian untuk menggali keterangan para saksi yang dipanggil untuk melengkapi berkas perkara.

Sinergitas antar lembaga penegak hukum ini harus selalu dijaga dan kalau perlu ditingkatkan supaya penegakan hukum bisa berjalan sebagaimana harapan kita bersama. Karena saat ini masih ada kesan adanya rebutan kewenangan misalnya antara Polri dan Kejaksaan dalam perkara penanangan kasus korupsi sebagaimana tercium pada kasus penanganan Djoko Tjandra.  Dengan demikian membangun sinergitas antara aparat penegak hukum menjadi PR Kapolri baru nantinya.

Catatan terakhir, adalah terkait dengan strategi Polri dalam meningkatkan keamanan di beberapa zona yang rawan tindak kekerasan seperti Sulawesi Tengah dan Papua. Menurut Edwin Wakil Ketua LPSK, satu Polri sisi perlu memperhatikan strategi untuk melindungi masyarkat, sementara disisi lain  melindungi keamanan anggotanya dengan memberikan perlengkapan dan kesejahteraan bagi personel yang diterjunkan ke daerah konflik yang mengancam keselamatan jiwanya.

Untuk itu calon Kapolri Listyo Sigit Prabowo menjurutnya  harus meningkatkan perhatian kepada anggota yang bertugas zona merah seperti Sulteng dan Papua. Langkah yang bisa dilakukan ialah dengan memberikan reward, perlengkapan teknologi, kendaraan dan waktu penugasan dengan mempertimbangkan situasi psikologis anggota yang berdinas di zona merah karena berkaitan dengan keselamatan jiwanya.

Demikianla beberapa catatan dari LPSK yang menjadi PR Kapolri baru nantinya. Tentu bukan suatu hal mudah untuk mewujudkannya. Tetapi dengan tekad dan kemauan yang kuat tidak mustahil Kapolri baru ini lebih moncer kinerjanya daripada pejabat sebelumnya.

Sebenarnya bukan hanya LPSK yang mengingatkan Kapolri baru atas PR yang harus diselesaikan setelah menduduki kursinya. Lembaga lain seperti  Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)  juga berharap Kapolri baru nanti dapat memperbaiki kinerja kepolisian agar lebih baik nantinya.

Pertama, Kontras menyoroti keleluasaan Polri mengeluarkan diskresi  yang tidak digunakan dengan baik untuk mengisi kekosongan hukum sehingga kedepan diharapkan kewenangan penggunaan diskresi dilaksanakan dengan sebaik baiknya. Sejauh ini menurut penilaian Kontras diskresi mewujudkan  dalam bentuk pembatasan kebebasan sipil sehingga mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia.

Kedua, angka kekerasan oleh aparat kepolisian selalu mengalami keberulangan setiap tahunnya. Kontras memandang pembiaran terhadap kekerasan dilegitimasi dengan minimnya mekanisme pengawasan internal maupun eksternal sehingga membuat pelakunya leluasa melakukan aksinya

Ketiga, represifitas dalam penanganan aksi massa. Pendekatan kepolisian dalam menangani aksi massa mengalami kemunduran pada aspek penghormatan hak atas kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi negara. Bentuk-bentuk pemberangusan kerap terjadi pada saat sebelum, saat, sampai sesudah adanya aksi massa

Selanjutnya, Kontras memantau Polri menggunakan sumber dayanya untuk memberangus kebebasan berekspresi di sosial media. Metodenya dengan tafsir sepihak terhadap konten-konten yang dianggap penghinaan ataupun berita bohong melalui pendekatan penegakan hukum pidana.

Kritik kelima Kontras pada Polri ditujukan dalam aspek penempatan anggota Polri, terutama yang masih aktif pada lembaga-lembaga lain yang tidak berkaitan dengan fungsi keamanan negara. Kontras memandang hal ini rentan memunculkan konflik kepentingan karena aparat bisa berfungsi sebagai abdi penguasa bukan abdi negara.

Banyaknya penempatan anggota Kepolisian di luar struktur organisasi Polri, maka tidak hanya dapat mengganggu independensi, namun juga berimplikasi pada meluasnya pengaruh dan kuasa Polri dalam tatanan sosial-ekonomi yang ada. Permasalahan ini merupakan hambatan kinerja Polri sehingga sudah sewajarnya dilakukan pembenahan demi kemajuan Polri itu sendiri nantinya

Tanpa adanya evaluasi secara segera terhadap kelembagaan Polri, maka tugas mulia berupa penegakan hukum dan pemeliharaan Kamtibmas dapat digunakan secara bias demi kepentingan-kepentingan eksternal yang dapat merugikan masyarakat dan mengancam Hak Azasi Manusia

Sederetan PR yan g disampaikan oleh LPSK maupun Kontras tersebut tentu menjadi beban tersendiri bagi Kapolri Baru yang terpilih nantinya.  Semoga saja Kapolri baru mampu menjalankan tugas dengan sebaik baiknya.

Menuju Polri Yang Presisi

Banyak PR yang harus diselesaikan Kapolri baru tersebut telah memunculkan strategi bagi calon pejabat terkait untuk menyikapinya. Dalam hal ini Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo sebagai pejabat  calon Kapolri baru telah berkomitmen melalui visi dan misinya untuk membangun kepemimpinan Polri periode 2021-2024 dengan taglinje transformasi POLRI PRESISI yang merupakan abreviasi dari Prediktif, Responsibiltas, dan Transparansi berkeadilan (Presisi). 

Konsep  Presisi  merupakan fase lebih lanjut dari POLRI PROMOTER (PROfesional, MOdern, dan TERpercaya) yang telah digunakan pada periode sebelumnya, dengan pendekatan pemolisian berorientasi masalah (problem oriented policing).

Dalam kepemimpinan POLRI PRESISI, ditekankan pentingnya kemampuan pendekatan pemolisian prediktif (predictive policing) agar Polri mampu menakar tingkat gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) melalui analisa berdasarkan pengetahuan, data, dan metode yang tepat sehingga dapat dicegah sejak awal mula. Kata responsibilitas dan transparansi berkeadilan menyertai pendekatan pemolisian prediktif yang ditekankan agar setiap insan Bhayangkara mampu melaksanakan tugas Polri secara cepat dan tepat, responsif, humanis, transparan, bertanggung jawab, dan berkeadilan.

Kiranya konsep kepemimpinan POLRI PRESISI ini sangat relevan saat ini ditengah situasi pandangan masyarakat terhadap Polri yang terkesan sarat  dengan tindakan kekerasan dan penyalahgunaan kewenangan dalam pelaksanaan tugasnya. Hal ini dikuatkan dengan adanya berbagai pengaduan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terkait adanya praktik pemolisian dalam penanganan harkamtibmas yang masih menampilkan kekerasan dan kurangnya pengawasan dalam pelaksanaan tugas mereka.

Permasalahan praktik pemolisian sebenarnya memang tidak hanya menggejala di Indonesia saja. Badan-badan kepolisiandi berbagai belahan dunia, termasuk di negara-negara maju seperti AS, Inggris, Australia, dan lain-lain, telah sejak lama menghadapi permasalahan akut berkaitan dengan tindak kekerasan, penyalahgunaan wewenang, penerimaan uang suap, dan lain-lain perilaku negatif yang dilakukan petugas kepolisian, baik mereka yang bertugas di lapangan (street cop) maupun jajaran pimpinan (management cop)-nya.

Berbagai permasalahan ini menyebabkan lembaga kepolisian menghadapi krisis legitimasi, yakni tentang peran dan fungsi yang seharusnya ia lakukan dalam menjalankan tugasnya.

Kepemimpinan “POLRI PRESISI” diharapkan dapat mewujudkan Polri sebagai institusi unggul sebagaimana dimandatkan dalam peta jalan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025. Pembabakan tahapan Grand Strategy Polri merupakan penjabaran dari RPJPNasional yang berpedoman pada pencapaian cita-cita nasional sesuai dengan  tujuan kita berbangsa dan bernegara.

Kepemimpinan POLRI PRESISI ini telah menjadi  komitmen calon Kapolri tunggal yaitu Komjen Listyo Sigit Prabowo yang bertekad untuk Menjadikan Polri sebagai institusi yang Prediktif, Responsibilitas dan Transparansi Berkeadilan (PRESISI) dalam menjalankan tugasnya.

Jika dikaitkan dengan setumpuk PR yang harus dikerjakan oleh Kapolri baru yang terpilih nanti maka konsep kepemimpinan POLRI PRESISI ini sesungguhnya bisa di uji melalui kebijakan Kapolri baru dalam menyikapi pelaksanaan penyelesaian PR yang direkomendasikan oleh beberapa lembaga dan Ormas seperti LPSK, Kontras, Muhammadiyah dan yang lain lainya.

Salah satu isu menonjol yang mendapatkan perhatian luas masyarakat adalah masalah tindak kekerasan yang dilakukan polisi dimana isu ini mendapatkan prioritas utama oleh beberapa lembaga agar segera dicarikan solusinya. Baik Kontras, Muhammadiyah, maupun LPSK menempatkan masalah ini sebagai PR prioritas yang mesti diselesaikan oleh Kapolri baru terplih nantinya.

Karena tindak kekerasan apalagi menyebabkan kematian warga negara berkaitan dengan tujuan didirikannya negara ini yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh warga negara Indonesia sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Salah satu isu menonjol adalah terkait dengan kematian 6 laskar FPI yang dilakukan oleh aparat negara. Kematian 6 laskar FPI ini oleh Komnas HAM telah dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap hak azasi manusia.

Dalam hal ini beberapa elemen masyarakat seperti Muhammadiyah telah mendukung agar kasus ini  dilanjutkan ke ranah penegakan hukum dengan mekanisme pengadilan Pidana guna mendapatkan kebenaran materiil lebih lengkap dan menegakkan keadilan. Bahkan menurut Muhammadiyah pembunuhan terhadap empat anggota laskar FPI seharusnya tidak sekadar pelanggaran HAM biasa melainkan termasuk kategori pelanggaran HAM berat sehingga seyogyanya pelakunya diadili di Pengadilan Hak Azasi Manusia.

Sejalan dengan komitmen calon Kapolri baru yang akan menerapkan Kepemimpinan POLRI PRESISI maka penyelesaian tindak kekerasan yang dilakukan aparat khususnya menyangkut kematian 6 laskar FPI menjadi batu ujian sekaligus tolok ukurnya.

Kapolri yang baru, sebagai bentuk  keseriusan untuk mewujudkan Institusi Polri yang Prediktif, Responsibilitas dan Transparansi Berkeadilan (PRESISI) perlu ikut mendorong penyelesaian tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggotanya dalam kasus pembunuhan 6 laskar FPI ke Pengadilan dan tidak diselesaikan secara internal saja.

Kapolri yang baru seyogyanya  “merelakan” anggotanya yang terlibat untuk diadili dalam suatu peradilan yang transparan dan berkeadilan agar mampu menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat kepada Kapolri yang akhir akhir ini terpuruk karena berbagai kasus yang membelitnya. Kapolri yang baru tidak boleh melindungi anggotanya yang diduga telah melakukan pembunuhan terhadap warga negara Indonesia yang semestinya dilindunginya.

Bahkan kalau perlu pengusutan tidak sebatas pada pelaku lapangan saja tetapi juga kepada jajaran atas (aktor intelektual dibalik penembakan itu) yaitu yang memberikan perintah sampai kemudian menyebabkan hilangnya 6 nyawa anak bangsa.

Masyarakat tentu akan menunggu kiprah Kapolri baru  yaitu Komjen Listyo Sigit Prabowo dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Semoga saja ia menjadi Kapolri yang profesional dalam menjalankan tugasnya sesuai konsep  kepemimpinan POLRI PRESISI yang menjadi komitmennya. Upaya untuk mewujudkan komitmen ini tentunya merupakan tantangan tersendiri karena yang bersangkutan berlatar belakang agama yang bukan dianut oleh masyarakat Indonesia. 

Tetapi kalau yang bersangkutan nantinya mampu menjalankan Polri yang Prediktif, Responsibiltas, dan Transparansi berkeadilan (Presisi) paling tidak  melalui uji petik penyelesaian kasus penembakan 6 laskar FPI maka dukungan pasti akan mengalir deras kepadanya. Tetapi kalau kemudian tindak tanduknya tidak berubah dari kebijakan kepemimpinan Polri sebelumnya yang sarat dengan aroma kekerasan dan penghilangan nyawa maka tinggal tunggu waktu saja saat kejatuhannya. Kita berharap polisi kita akan baik baik saja demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar