Ternyata Faktor Psikologis Lebih Cepat Sembuhkan Pasien COVID-19

Jum'at, 15/01/2021 15:43 WIB
Pasien Covid-19 Makin banyak (Tribun)

Pasien Covid-19 Makin banyak (Tribun)

Jakarta, law-justice.co - Sejumlah warga Indonesia menceritakan proses kesembuhan mereka atau anggota keluarganya dari COVID-19.

Kebanyakan dari mereka mengaku bahwa faktor psikologis ikut membantu memperbaiki kondisi mereka, sehingga tidak selalu merasa khawatir atau merasakan kesakitan mereka.

Seperti yang dialami Sapto Bino, pemimpin redaksi media Tirto bersama keluarganya dinyatakan positif COVID-19.

Pertengahan Desember lalu, Sapto menuliskan ceritanya yang mengalami demam setelah pulang kerja di akun Facebook-nya.

Kemudian giliran istrinya yang susah buang air besar diikuti demam dan badan lemas, begitu pula dengan putrinya

Sehari sebelum Natal, mereka bertiga dites PCR Swab dan keesokan malamnya dinyatakan positif semua.

Karena rumah sakit di Bogor dilaporkan tidak ada yang kosong, Sapto dan keluarganya menjalani isolasi mandiri di rumah mereka dengan diberikan obat-obatan dan multivitamin.

Tapi Sapto mengaku selain obat, yang membantu kesembuhan keluarganya adalah tidak terlalu memikirkan sakit.

"Kita banyak bacaan, hati senang, enjoy, ketawa, bisa meningkatkan imunitas tubuh dan membentuk antibodi yang melawan virus atau penyakit," kata Sapto Bino kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya hari Jumat (15/1/2021).

"Saya mencari hal yang bisa menghibur," kata Sapto yang mendapatkannya lewat YouTube.

"Saya sangat kagum dengan Cak Lontong, lawakannya saya suka sekali, membolak-balikkan logika, menjengkelkan yang membahagiakan, bisa bikin terpingkal dan melupakan derita yang bisa bikin stres."

"Selain Cak Lontong, sesekali seleksi Indonesia Idol, terutama cela-celaan Ari Lasso dan Anang yang sering dapat bully-an juri lain."

"Anak saya sukanya Korean Pop (K-pop) dan NCT salah satunya grup favorit serta Drakor (Drama Korea)." katanya lagi.

Sementara istirnya menunjukkan respons yang positif, setelah Sapto mendendangkan lagu Iga Marwani.

"Setelah itu setiap pagi kami sambil berolahraga menyetel lagu album hit di Indonesia 1980-1990-an seperti Utha Likumahua, Rafika Duri, Chrisye, Ermy Kullit, Ruth Sahabaya, Dewa, juga Rossa yang istri dan kami suka," kata Sapto.

Meminta kiriman video dan gambar yang lucu

Saat masuk rumah sakit akibat COVID-19 pada akhir Desember lalu, Rini Tri Utami mengaku sangat terpukul bukan saja karena kondisi fisiknya, tapi karena anak sulungnya yang duduk di kelas 6 juga dinyatakan positif COVID-19 dan harus menjalani karantina di hotel sendirian.

"Pertama masuk sudah hampir anfal, demam tinggi, urtikaria, gagal nafas, sesak, dan kejang, rasanya sudah hampir mati," ujar Rini yang juga mengaku sempat berhalusinasi.

"Tiap kali memejamkan mata, [penampakannya] jadi ungu semua, terus ada yang manggil-manggil namaku, "Rin.. Rini.." kadang suara bapak-bapak, kadang suara perempuan, jadi aku terus merasa, aku kenapa ya, apa ini [pertanda] aku mau mati ya," ceritanya kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.

Karena itu, Rini akhirnya mengirimkan sejumlah pesan singkat kepada keluarga dan teman-teman terdekatnya berisi permohonan maaf sampai niatnya membayar utang ke beberapa orang.

Tapi cara pandangnya dari yang "sudah siap mati" berubah drastis setelah ia berkomunikasi dengan anaknya melalui video call.

"Aku melihat dia di hotel sendirian dikarantina. Padahal dia kan selama ini masih manja sama aku. Kok dia kuat ya?

Kemudian Rini menerima telepon dari Ibunya yang isinya tidak bisa ia lupakan dan menguatkannya.

"Rini, Ibu itu ingin kamu panjang umur. Nanti kalau Ibu sudah meninggal, siapa yang doain Ibu kalau kamu yang duluan [meninggal]?" tutur Rini menirukan pesan Ibunya.

Selain melihat anak sulungnya, sang suami juga mengirimkan video senam anak bungsunya di aplikasi tiktok yang membuatnya senang.

Ia kemudian mengirimkan lagi pesan singkat ke beberapa group WhatsApp yang sempat ia abaikan selama sakit, tapi kali dengan pesan yang berbeda.

"Aku minta teman-teman mengajak aku mengobrol yang ringan-ringan dan bikin ketawa, atau kirim video atau meme lucu supaya bisa mendongkrak imunitas."

Ide itu menurutnya muncul setelah ia mengenali dulu karakter dirinya sendiri.

Sebagai orang yang suka mengobrol dan suka bercanda, Rini merasa kedua hal yang ia sukai itulah yang akan membuatnya senang dan lebih semangat dalam mengalahkan penyakitnya.

"Malam itu saya tertawa lepas, beban pikiran juga enteng. Kemudian ternyata organ-organ tubuh juga membaik."

Tiga hari setelah mengubah pola pikir dan cara pandangnya, kondisi Rini berangsur membaik dan ia akhirnya diperbolehkan dokter pulang setelah seminggu dirawat.

Diisolasi sampai semua gejala hilang

Di Makassar seorang warga yang pernah terpapar COVID-19 menceritakan pengalamannya mengikuti program isolasi yang dikelola Pemerintah setempat.

Fikri Yatir, yang pernah bekerja di Australia, terpapar virus corona pada akhir Desember dan menjalani isolasi di sebuah hotel depan Benteng Ford Rotterdam sejak 3 Januari lalu.

Ia menceritakan awalnya kakaknya yang pulang dari luar kota dalam keadaan sakit dan menunjukkan gejala COVID-19, diikuti anggota keluarganya lainnya selang beberapa hari.

Saat pergantian tahun, giliran Fikri yang mulai demam dengan gejala COVID-19, hingga saudaranya yang dokter mengupayakan agar mereka semua dites.

Fikri mengaku sudah sejak awal ia ingin agar seluruh keluarganya menjalani tes.

"Saya sampaikan, saya ini yang terakhir sakit dan saya yang pertama dites.

"Itu artinya kalian kemungkinan besar sudah positif semua. Makanya dari dulu disarankan tes supaya kita tahu penanganannya," katanya kepada Farid Ibrahim dilansir dari Vivanews.

Hasil dari tes menunjukkan ada enam orang di keluarganya yang positif, termasuk Fikri.

Berbekal surat keterangan positif COVID-19, Fikri mendaftarkan diri ikut program isolasi yang dikelola pemerintah.

"Saya menempati kamar sendiri, makan diantarkan tiga kali ... kalau ada yang kirim makanan atau beli dari luar harus titip di petugas jaga. Nanti diantarkan oleh pendamping masing-masing," jelasnya.

Selama menjalani isolasi, disediakan pula layanan binatu dan kebersihan, namun piring dan sendok harus disiapkan sendiri.

"Tiap hari kami boleh keluar ke lapangan parkiran untuk berolahraga pada jam setengah 8 hingga jam 10," ucap Fikri, yang juga diwajibkan ikut kelas edukasi saat isolasi.

"Kelasnya dibagi tiga sesi. Yaitu tentang Covid secara umum, vaksin, dan tentang jenis-jenis tes swab. Pematerinya dokter dan satgas Covid," ujar Fikri Yatir, yang menjalani isolasi sejak 3 Januari.

Maya Pratiwi warga asal Bandung mengatakan pentingnya memberikan dukungan moral kepada anggota keluarga yang sakit COVID-19.

Hal ini ia rasakan langsung setelah ayahnya yang dinyatakan tertular virus corona dan harus dirawat di rumah dan di kamar sendirian, sesuai saran rumah sakit atas pertimbangan usia.

Hasil tes COVID-19 ayahnya yang positif "menyakitkan hati" Maya dan anggota keluarganya yang lain.

"Ini membuat mental pasien dan keluarga menjadi drop, itu yang aku alami sendiri," ujar Maya.

"Kita lalu bangkit dan memberikan semangat, karena jika pasien terlalu banyak khawatir justru malah akan memperburuk kondisinya."

Maya mengatakan setiap harinya anggota keluarga menanyakan perasaan ayahnya, selain juga makanan apa yang ayahnya ingin santap.

Menurut Maya awalnya keluarga tidak ingin melaporkan kepada RT karena tidak ingin membuat kecemasan di kalangan warga, terlebih masih ada stigma bagi mereka yang dinyatakan tertular virus corona.

"COVID-19 itu masih dianggap aib, penyakit menjijikkan yang menular dan bisa membuat penderita dan keluarganya menjadi malu," kata Maya yang bekerja sebagai trainer di konsultan Kubuk Leadership.

Tapi Maya mengatakan keluarganya tetap bertanggung jawab.

Meski tidak melaporkan ke RT, seluruh anggota keluarganya melakukan isolasi mandiri saat merawat ayahnya dan tidak keluar sama sekali selama hampir 30 hari hingga semua dinyatakan negatif.

"Edukasi adalah hal yang paling penting, bahwa ini bukan penyakit yang memalukan dan bagaimana cara agar tidak menular," kata Maya saat dihubungi Erwin Renaldi.

"Dukungan moril kepada pasien menjadi penting melihat stigma yang masih ada, hindari juga berita-berita hoaks."

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar