Ancam Penjara Warga saat Tolak Disuntik Vaksin Adalah Pelanggaran HAM

Kamis, 14/01/2021 20:03 WIB
Politisi PDI Perjuangan, Ribka Tjiptaning salah satu orang yang tolak disuntik vakisn Covid-19 dan siap disanksi (indopolitika)

Politisi PDI Perjuangan, Ribka Tjiptaning salah satu orang yang tolak disuntik vakisn Covid-19 dan siap disanksi (indopolitika)

Jakarta, law-justice.co - Langkah pemerintah yang mengancam warga negara Indonesia dengan pidana penjara saat tolak disuntik vaksin COVID-19 merupakan sebuah benetuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hal itu disampaikan oleh peneliti Amnesty International Indonesia Ari Pramuditya.

“Pemerintah harus menjamin hak setiap orang untuk memberikan persetujuan dan tanpa paksaan sedikitpun sebelum dilakukan vaksinasi. Pemerintah wajib mengupayakan proses vaksinasi dilakukan secara sukarela. Pemaksaan vaksinasi dengan ancaman pidana pemenjaraan dan denda merupakan pelanggaran hak asasi manusia," katanya kepada law-justice.co, Kamis (14/1/2021).

Menurut dia, dalam hal tertentu pemerintah memang bisa membuat vaksinasi COVID-19 sebagai persyaratan – misalnya untuk pendidikan atau penggunaan kendaraan umum – sebagai langkah khusus untuk mencegah penyebaran COVID-19. Namun kata dia, sangat penting diingat kebijakan tersebut harus sesuai dengan hukum dan standar hak asasi manusia international.

“Amnesty menentang keras pendekatan pidana, terutama hukuman penjara, terhadap orang-orang yang menolak vaksinasi,` tegasnya.

Dia mengatakan pemerintah seharusnya fokus menyebarkan informasi yang transparan, lengkap dan akurat terkait vaksin. Manfaat ilmiah dari vaksin harus dijelaskan dan disebarkan dengan cara yang dapat dimengerti oleh semua orang, dalam bahasa yang mereka pahami dan format yang dapat mereka akses, guna meningkatkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap vaksin.

Sebelumnya, dalam webinar dan beberapa wawancara dengan media, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Edward Hiariej, mengatakan bahwa orang yang menolak vaksinasi COVID-19 dapat dianggap melanggar Pasal 93 Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Pasal 93 tersebut mengatakan: “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

Amnesty mengingatkan bahwa hak untuk tidak diberikan perawatan medis tanpa persetujuan telah tercermin dalam Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Deklarasi Universal tentang Bioetika dan Hak Asasi Manusia yang intinya menyatakan bahwa intervensi medis hanya boleh dilakukan dengan persetujuan sebelumnya dan tanpa paksaan berdasarkan informasi yang memadai. Selain itu persetujuan tersebut harus dinyatakan dan dapat ditarik kembali kapan saja dan dengan alasan apa pun.

Meskipun pemerintah dapat membatasi hak asasi manusia dengan alasan kesehatan masyarakat – dalam hal ini misalnya mensyaratkan vaksinasi COVID-19 dalam situasi tertentu – hal tersebut harus sesuai dengan Prinsip Siracusa tentang Batasan dan Pengurangan Ketentuan dalam ICCPR (Prinsip Siracusa), sehingga pensyaratan vaksinasi COVID-19 untuk keperluan tertentu harus:

a) merupakan tindakan yang sangat diperlukan, proporsional, dan wajar untuk mencapai tujuan; b) dilakukan dalam lingkup dan waktu yang terbatas untuk tujuan spesifik dan tidak diskriminatif; c) bisa dilakukan peninjauan berkala dan bisa diperbaiki terkait penerapannya yang semena-mena; dan d) memungkinkan individu untuk mengatur perilaku mereka tanpa melibatkan pendekatan penghukuman.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar