Efikasi Vaksin Covid-19 RI Dibawah Brazil-Turki, ini Alasannya

Selasa, 12/01/2021 16:03 WIB
Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Prof DR Zullies Ikawati (Kagama)

Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Prof DR Zullies Ikawati (Kagama)

DI Yogjakarta, law-justice.co - Nilai efikasi vaksin Covid-19 buatan Sinovac perusahaan asal China di Indonesia diumumkan sebesar 65,3 persen.

Nilai ini berbeda dari efikasi vaksin yang sama yang diuji di Turki dan Brasil. Hasil uji klinis di Turki menghasilkan efikasi 91,25 persen dan Brasil 78 persen.

Dilansir dari CNNIndonesia, Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Prof DR Zullies Ikawati menuturkan, perbedaan nilai efikasi dapat dipengaruhi beberapa faktor, seperti karakteristik subyek uji dan lama pengujian.

"Jika subyek ujinya adalah kelompok risiko tinggi, maka kemungkinan kelompok placebo akan lebih banyak yang terpapar, sehingga perhitungan efikasinya menjadi meningkat," tuturnya lewat keterangan resmi, Selasa (12/1/2021).

Pengaruh subjek uji

Tinggi rendah nilai efikasi ditentukan dari berapa banyak orang yang terinfeksi virus corona SARS-CoV-2 pada kelompok yang tak disuntik vaksin. Kelompok yang tak disuntik vaksin ini diberi suntikan placebo yang berisi cairan air campur garam.

Jadi, misal pada kelompok vaksin ada 26 yang terinfeksi, sedangkan kelompok placebo bertambah menjadi 120 yg terinfeksi, maka efikasinya meningkat menjadi 78,3 persen.

Lebih lanjut ia menjelaskan uji klinis di Brazil menggunakan kelompok berisiko tinggi yaitu tenaga kesehatan. Akibatnya, nilai efikasi yang diperoleh lebih tinggi. Sebab, potensi tertular Covid-19 pada kelompok yang disuntik placebo lebih tinggi. Sehingga, bisa meningkatkan nilai efikasi.

Subjek uji klinis di Turki juga menggunakan relawan dari tenaga kesehatan.

"Yang kita ketahui di Turki hampir 80 persen tenaga kesehatan (nakes), sehingga dengan angka penularan tinggi dengan risiko tinggi maka efikasinya tinggi juga," kata Tim Komnas Peneliti Obat Jarir At Thobari, dalam konferensi pers kemarin (12/1/2021).

Sedangkan di Indonesia menggunakan populasi masyarakat umum yang risiko tertular Covid-19 pada kelompok placebo lebih kecil.

Maka jika subyek uji vaksin berisiko rendah, maka perbandingan kejadian infeksi antara kelompok placebo dengan kelompok vaksin menjadi lebih rendah. Akibatnya, menghasilkan angka efikasi yang lebih rendah.

Zullies lantas memberi contoh perhitungan. Misal pada kelompok vaksin ada 26 yg terinfeksi COVID (3,25 persen) sedangkan di kelompok placebo cuma 40 orang (5 persen). Karena kelompok placebo menjaga prokes dengan ketat, maka efikasi vaksin bisa turun menjadi hanya 35 persen. Perhitungannya (5 - 3,25)/5 x 100 persen = 35 persen.

"Jadi angka efikasi ini bukan harga mati, dan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor ketika uji klinis dilakukan," papar Zullies.

Perilaku relawan

Lebih lanjut, Jarir juga menjelaskan faktor perilaku masyarakat dan juga seberapa besar proses transmisi dari satu orang ke orang lain.

Hal ini juga diamini oleh Zullies. Menurutnya, jika relawan kelompok placebo ternyata menjaga perilaku sehat sehingga potensi tertular Covid-19 menurun, maka bisa memengaruhi angka efikasi.

"Apalagi (jika relawan uji klinis yang disuntik placebo) taat dengan prokes, tidak pernah keluar rumah, sehingga tidak banyak yg terinfeksi," tambahnya.

Lama waktu pengujian

Selain itu, jumlah subyek uji dan lama pengamatan juga dapat mempengaruhi hasil. Jika pengamatan diperpanjang menjadi 1 tahun, sangat mungkin menghasilkan angka efikasi vaksin yang berbeda.

Dengan angka efikasi yang berbeda ini menurut Jarir tatap bisa digunakan. Untuk data efikasi Indonesia, bisa digunakan untuk melihat bagaimana perlindungan vaksin pada masyarakat umum.

Sementara, data Turki dan Brasil bisa digunakan untuk menunjukkan bagaimana tingkat perlindungan vaksin pada tenaga kesehatan.

"Itu sama di Brasil semuanya nakes, sedangkan di Bandung itu populasi umum, artinya tentu baik, bahwa populasi umum perlindungannya segitu...Kita tidak ada subjek high risk seperti nakes, tapi untuk nakes kita bisa lihat data dari Turki atau Brasil," jelas Jarir.

Meski demikian, Zullies menilai efikasi vaksin Covid-19 Sinovac sebesar 65,3 persen sudah cukup baik. Angka ini pun sudah melewati ambang batas FDA, WHO dan EMA untuk persetujuan vaksin 50 persen.

"Artinya, secara epidemiologi, menurunkan kejadian infeksi sebesar 50 persen itu sudah sangat berarti dan menyelamatkan hidup banyak orang," tuturnya.

Di sisi lain, menurutnya vaksin corona buatan Sinovac juga memiliki imunogenisitas yang tinggi. Angka seropositive vaksin corona China ini mencapai 99,23 persen pada 3 bulan pertama. Dengan angka sebesar ini, menurut Zullies vaksin bisa memicu antibody pada subyek yang mendapat vaksin.

"Tentu kita masih harus menunggu efektivitas vaksin setelah dipakai di masyarakat. Dan perlu diingat bahwa karena ini baru EUA yg berasal dari interim report, pengamatan terhadap efikasi dan safety masih tetap dilakukan sampai 6 bulan ke depan untuk mendapatkan full approval," lanjutnya.

 

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar