Awas! Tolak Disuntik Vaksin Covid Bisa Dipenjara Satu Tahun
Jika tolak disuntik vaksin Sinovac maka bisa dipenjara satu tahun (ist)
Jakarta, law-justice.co - Pemerintah berencana memulai suntik vaksin Covid-19 pada taggal 13 Januari 2021 dengan Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebagai orag pertama yang disuntik. Karena itu, diharapkan semua masyarakat untuk ikut disuntik vaksin asal China tersebut. Sebab, jika tak mau disuntik maka bisa dipenjara satu tahun.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Prof Edward O.S. Hiariej mengatakan, vaksinasi sifatnya wajib yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan, sehingga yang menolak terancam sanksi pidana.
Dalam situasi pandemi Covid-19, merujuk UU 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, salah satu bentuk tindakan kekarantinaan kesehatan adalah pembatasan sosial berskala besar (PSBB), yang itu ditetapkan oleh Menteri Kesehatan atas usul kepala daerah. Cakupan PSBB ini juga tertuang dalam Undang-Undang (UU) a quo, antara lain meliputi peliburan sekolah, pembatasan kegiatan keagamaan, kegiatan di fasilitas umum dan lainnya.
Pasal 9 ayat 1 UU a quo disebutkan bahwa setiap orang yang tidak memenuhi kekarantinaan kesehatan atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekaratinaan sehingga menyebabkan kedaruratan masyarakat dipidana dengan penjara paling lama 1 tahun, dan atau denda paling banyak Rp 100 juta. Ada kewajiban bagi setiap warga negara mematuhi berbagai peraturan per-UU yang terkait dengan kekarantinaan kesehatan.
“Jadi, ketika program vaksinasi ini dikatakan sebagai kewajiban, maka jika ada warga negara yang tidak mau divaksin maka bisa dikenakan sanksi. Bisa berupa denda, bisa penjara, atau kedua-keduanya,” kata Edward pada webinar “Kajian Hukum : Kewajiban Warga Negara Mengikuti Vaksin”, Jumat (8/1/2021).
Namun, menurut Edward, hukum pidana sifatnya ultimum remedium. Artinya sanksi pidana adalah sarana penegakan hukum yang paling terakhir dipakai jika sarana penegakan hukum lainnya tidak lagi berfungsi. Yang diutamakan adalah pendekatan persuasif seperti sosialisasi. Oleh karena itu sosialisasi dan edukasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya vaksinasi sangat penting. Kesadaran bahwa dari sisi kesehatan vaksin sangat bermanfaat, dapat menurunkan tingkat penularan dan kematian akibat Covid-19.
Jika kesadaran ini sudah ada, maka tanpa upaya paksa seperti penegakan sanksi pidana tidak perlu lagi dilaksanakan. Aturan mengenai kekarantinaan kesehatan ini diatur lebih jelas di dalam peraturan gubernur, bupati atau walikota.
“Misalnya Pemda DKI Jakarta begitu diumumkan bahwa vaksin akan diberikan sekitar pertengahan Januari, waktu itu Wakil Gubernurnya mengatakan bahwa akan ada sanksi denda Rp 5 juta bagi setiap orang yang menolak vaksin,” katanya.
Di kesempatan lain, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Daeng M. Faqih, mengatakan, pelaksanaan vaksinasi ini perlu role model dari pimpinan dan tokoh publik supaya masyarakat semakin percaya dan tidak ragu. IDI akan memberikan contoh dengan menjadi penerima vaksin pertama kali setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memberikan izin emergency use authorization.
IDI sendiri telah membentuk tim advokasi vaksinasi yang bertugas memberikan rekomendasi kepada pemerintah agar pelaksanaan vaksinasi di lapangan berjalan lancar dan diterima masyarakat. Survei internal saat ini sedang dilakukan lembaga riset IDI bersamaan dengan kegiatan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat bahwa vaksin penting untuk mengakhiri pandemi.
“Tujuan akhirnya adalah menyadarkan dokter untuk ikut divaksinasi pada tahap pertama. Selain itu, ketika saat pelaksanaan vaksinasi di masyarakat nanti, tenaga kesehatan bisa ikut berpartisipasi untuk menyukseskannya,” kata Daeng melalui keterangan pers, Minggu (10/1/2021).
Menurut Daeng, para tenaga kesehatan sendiri sudah memahami pentingnya vaksinasi karena mereka terbiasa melakukan pelayanan vaksinasi sehari-hari. Karenanya tenaga kesehatan seharusnya tidak perlu mempermasalahkan vaksinasi. Koridor yang perlu dijaga adalah keamanan dan efektivitasnya, dan itu akan dijawab oleh hasil laporan uji klinik yang dilakukan serta izin penggunaan darurat yang dikeluarkan BPOM.
Dang pun mengatakan, kepercayaan terhadap vaksin tidak berdasarkan merek atau basis negara, tapi harus berdasarkan aspek ilmiah. Jadi vaksin tersebut sudah dijamin keamanan dan efektivitasnya dari mana pun asal dan mereknya.
Terkait halal haram vaksin Covid-19 menurut Daeng sangat berpengaruh apalagi masyarakat Indonesia termasuk dokter itu mayoritasnya beragama Islam sehingga penjelasan tentang kehalalan itu penting sekali. Hal ini sudah dipastikan oleh Majelis Ulama Indonesia yang pada Jumat (8/1) menyatakan bahwa vaksin Sinovac hukumnya suci dan halal.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof Iris Rengganis mengatakan, jika pandemi ini terus dibiarkan tanpa vaksinasi maka penularan terus menerus terjadi, sehingga lebih banyak lagi masyarakat yang tertular. Ini terjadi karena herd immunity yang tercipta bersifat alamiah atau seleksi alam. Artinya yang kuat tetap kuat, yang lemah mudah jatuh sakit, dan yang sakit bisa meninggal. Oleh karena itu dibutuhkan imunitas buatan melalui vaksinasi.
Diharapkan minimal 70% penduduk divaksin untuk membentuk kekebalan kelompok. Sedangkan 30% orang yang mungkin tidak bisa divaksinasi karena kondisi kesehatan tertentu terlindungi dengan sendirinya. Jadi misalnya penduduk Indonesia 260 juta jiwa, maka sebanyak 180 jutaan yang harus divaksin.
Komentar