Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Kasus Terbunuhnya Laskar FPI, Beban Berat Kapolri Baru Pilihan Jokowi

Sabtu, 09/01/2021 19:02 WIB
Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (LJ)

Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (LJ)

Jakarta, law-justice.co - Dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, bakal ada pergantian Kapolri baru penerus Jenderal Idham Aziz yang akan segera memasuki masa pensiunnya. Kabarnya Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) telah menyerahkan lima nama calon Kapolri kepada Presiden Indonesia. Hal itu disampaikan Ketua Kompolnas sekaligus Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD lewat akun twitter-nya.

Kelimanya adalah Wakapolri Komjen Pol Gatot Eddy Pramono, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafly Amar,  Kemudian Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo, Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri Komjen Pol Arief Sulistyanto, dan Kepala Badan Pemelihara Keamanan Polri Komjen Pol Agus Andrianto. Mahfud menyebut nama-nama yang dikirimkan ke Istana sudah memenuhi syarat sebagai Kapolri selanjutnya. "Kelima orang itu dianggap memenuhi syarat profesionalitas, loyalitas, jam terbang," katanya.

Diantara kelima calon Kapolri yang sudah dikirim ke istana tersebut kini publik masih menunggu siapa yang pada akhirnya akan terpilih menjadi Kapolri berikutnya. Tapi siapapun yang terpilih nantinya akan dihadang tugas berat yang harus dipikulnya. Apa saja sebenarnya tugas berat yang harus dipikul oleh Kapolri baru setelah terpilih nantinya ?, Mengapa kasus pembunuhan laskar FPI menjadi beban berat Kapolri berikutnya ?, Mengapa penyelesaian kasus pembunuhan laskar FPI harus menjadi momentum untuk perbaikan jajaran Polri  ke depannya ?

Beban Berat Itu

Setiap kali terjadi pergantian Kapolri, Kapolri baru akan selalu menghadapi tantangan yang berbeda. Karena kondisi  politik dan keamanan memang selalu  bergerak dinamis kadang kadang tidak terduga duga sebelumnya.

Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah memberikan sejumlah catatan terkait dengan calon Kapolri pengganti Jenderal Idham Azis yang akan memasuki masa pensiunnya.Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana memaparkan salah satu yang harus dipastikan ialah agenda pembenahan masalah internalnya. Khususnya terkait dengan masalah  penindakan kasus korupsi yang belum optimal penangananya."Institusi Polri selama ini masih dipersepsikan negatif oleh publik, terutama berkaitan dengan komitmen untuk memberantas korupsi," kata Kurnia dalam keterangan resmi ICW, Jumat (8/1) sebagaimana dikutip CNN. Indonesia.

ICW, kata Kurnia, menyoroti sejumlah kasus-kasus megakorupsi yang ternyata malah melibatkan kalangan internalnya.Berdasarkan catatannya, ada sembilan Jenderal polisi yang sudah terseret kasus korupsi besar di Indonesia. Diantaranya Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo yang tersandung kasus dugaan penerimaan suap terkait kasus Djoko Tjandra saat masih buron dan banyak yang lainnya.

Diluar masalah tersebut, ICW mencatat ada enam hal yang menjadi beban berat Kapolri baru yang terpilih nantinya. Masalah itu diantaranya : (1). koordinasi antar penegak hukum yang masih belum optimal karena adanya ego sektoral diantara aparat penegak hukum dalam menangani suatu perkara. (2). Minimnya transparansi perkara, dimana publik kesulitan untuk mengakses perkembangan penanganan perkara.

Kemudian ke (3). Promosi jabatan bermasalah dimana kerap ditemukan anggota-anggota Polri yang memiliki rekam jejak bermasalah namun terpilih dalam jabatan strategis di institusinya. (4). Banyak anggota Polri menduduki jabatan publik dalam hal ini ICW menyebut ada sekitar 30 anggota kepolisian yang menduduki jabatan di luar institusinya. (5). Penindakan korupsi menurun dimana ICW mencatat penanganan korupsi di Korps Bhayangkara selalu menurun setiap tahunnya. Sepanjang 2019 misalnya, polisi hanya mengerjakan 100 kasus dengan 209 tersangka.

Capaian itu menurun dari tahun sebelumnya, yakni 162 kasus dengan 337 tersangka. (6). Potensi penyalahgunaan fungsi dimana fungsi kepolisian saat ini terkesan tengah dimanfaatkan oleh kekuasaan eksekutif dan melaksanakan kontra narasi terhadap kritik publik kepada penguasa. Narasi ini terlihat misalnya saat pemerintah dan DPR mengesahkan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja.

Sementara itu Kompolnas melalui juru bicaranya Poengky mencatat  ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi oleh calon Kapolri pengganti Jenderal Idham Azis ke depan, yakni harus mampu mengatasi dampak virus corona.Karena menurut dia,hal ini menyangkut tugas Polri dalam mewujudkan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat melalui pelayanan, pengayoman, perlindungan masyarakat serta penegakan hukumnya.

“Lesunya ekonomi telah meningkatkan angka kejahatan, antara lain kejahatan konvensional, kejahatan ekonomi, kejahatan transnasional termasuk narkoba, kejahatan siber, kejahatan terorisme, kejahatan kelompok kriminal bersenjata, dan sebagainya," kata Poengky seperti dikutip media.

Sementara itu Pengamat intelijen dan keamanan Universitas Indonesia (UI) Stanislaus Riyanta menilai, calon Kapolri yang baru harus figur yang mampu menciptakan rasa aman bagi masyarakat Indonesia. Seperti dikutip MerahPutih.com, Calon Kapolri pengganti Jenderal Idham Azis menurutnya memiliki tugas berat kedepannya. Selain menjaga keamanan ketertiban, sosok tersebut harus mendapat kepercayaan dari masyarakat Indonesia.

Yang menarik adalah pernyataan dari  Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S.Pane seperti dikutip oleh BisnisNews.id 9/01/2021. Menurutnya Kapolri baru akan mewarisi dua utang besar yang ditinggalkan Kapolri sebelumnya, yang tentunya tidak akan mudah untuk diselesaikannya.

"IPW mendata, kedua warisan utang yang ditinggalkan Idham Azis itu adalah kasus pembunuhan satu keluarga di Sigi Sulteng yang diduga dilakukan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) dan penembakan yang menewaskan 6 laskar FPI di Tol Cikampek," katanya.

Ketidakmampuan menuntaskan kasus Sigi adalah kegagalan Idam Azis sebagai mantan petinggi Densus 88, yang selama ini sangat agresif memburu teroris dan jaringannya. Kasus lainnnya adalah terkait dengan terbunuhnya enam anggota laskar FPI yang oleh Komnas HAM dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap Hak Azasi Manusia.

Kedua kasus ini, menurut catatan IPW, akan  menjadi warisan Idham Azis untuk Kapolri baru yang bukan mustahil bisa menjadi masalah baru yang rumit, karena bisa membuat kepercayaan publik terhadap Polri makin terpuruk saja. Untuk itu Kapolri baru diharapkan bisa segera melakukan konsolidasi di internal Polri agar jajaran kepolisian bisa lebih fokus lagi untuk menuntaskan perkaranya.

Mengapa Harus Diadili ?

Selain tugas tugas berat sebagaimana dikemukakan diatas, Kapolri baru yang terpilih nantinya juga dihadang oleh kasus yang dibilang “istimewa” karena mendapatkan perhatian luas masyarakat Indonesia serta jadi pemberitaan media massa. Kasus itu adalah menyangkut terbunuhnya enam laskar FPI di KM. 50 yang sampai sekarang masih diwarnai oleh pro kontra masyarakat dalam menyikapinya.

Banyak desakan agar kasus ini bisa diselesaikan dengan tuntas untuk menghilangkan kecurigaan dalam penegakan hukumnya. Menurut hemat saya sekurang kurangnya ada lima alasan mengapa kasus ini harus dituntaskan penegakan hukumnya. 

  1. Melanggar HAM (Hak Azasi Manusia

Penembakan terhadap laskar FPI adalah pelanggaran terhadap HAM sebagaimana dinyatakan oleh Komnas HAM ketika merilis temuannnya. Komnas HAM menyebut peristiwa penembakan oleh polisi terhadap laskar FPI sebagai tindakan unlawful killing atau pembunuhan yang terjadi di luar hukum yang tidak dibenarkan karena alasan hak azasi manusia.

Menurut Komisioner Komnas HAM, Khoirul  Anam, terdapat empat orang yang masih hidup dalam penguasaan resmi petugas negara yang kemudian ditemukan meninggal dunia. Komnas HAM menyebut peristiwa tersebut sebagai pelanggaran Hak Azasi Manusia."Penembakan sekaligus empat orang dalam satu waktu tanpa ada upaya lain untuk menghindari jatuh korban jiwa mengindikasikan ada tindakan unlawful killing terhadap laskar FPI," ujarnya

Pembunuhan di luar proses hukum/putusan pengadilan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap orang-orang yang diduga terlibat kejahatan ini merupakan pelanggaran HAM dan pelanggaran hukum acara pidana. Padahal, orang-orang yang diduga terlibat kejahatan memiliki hak ditangkap dan dibawa ke muka persidangan serta mendapat peradilan yang adil (fair trial) guna pembuktian, apakah tuduhan yang disampaikan oleh negara adalah benar adanya.

Tindakan pembunuhan di luar proses hukum ini dianggap melanggar HAM karena memutus hak seseorang untuk mendapat proses hukum secara adil. Hak-hak tersebut jelas tidak akan terpenuhi apabila para tersangka dihilangkan nyawanya. Penuntutan perkara ini otomatis gugur karena pelaku meninggal dunia.

Tindakan pembunuhan di luar putusan pengadilan dilarang keras oleh ketentuan HAM internasional dan peraturan perundang undangan nasional yang sudah diadopsi pemerintah Indonesia. Larangan tersebut dimuat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang diratifikasi/disahkan melalui UU No.12 Tahun 2005,Pasal 6 UU 12/2005 menyebutkan “setiap manusia mempunyai hak hidup, bahwa hak ini dilindungi oleh hukum, dan bahwa tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya.”

Pembunuhan diluar hukum adalah bentuk merampas hak hidup seseorang sebagai HAM paling utama. Hak hidup setiap orang dijamin oleh UUD Tahun 1945 dan merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights).

Pasal 28A UUD Tahun 1945 menyebutkan setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pasal 28B ayat (2) UUD Tahun 1945 menyebutkan setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pembunuhan diluar hukum  terdapat pula dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang merujuk pada pembunuhan yang dilakukan secara sewenang-wenang; tidak ada alasan pembenar untuk itu; dan tidak berdasar hukum yang sah atau pembunuhan yang dilakukan di luar putusan pengadilan.

  1. Direkomendasikan Banyak Lembaga

Dugaan bahwa kasus pembunuhan laskar FPI merupakan pelanggaran terhadap HAM disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat Indonesia. Penilaian itu antara lain disuarakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari LBH Jakarta, YLBHI, ICJR, IJRS, HRWG, Institut Perempuan, LBH Masyarakat, LeIP, KontraS, SETARA Institute, PSHK, ELSAM, Amnesty International Indonesia, Public Virtue Institute, PBHI, PIL-Net, ICEL, Asosiasi LBH APIK Indonesia, Imparsial, dan LBH Pers.

Koalisi menilai ada banyak kejanggalan dalam peristiwa ini yang harus diusut karena diduga kuat terjadi pelanggaran HAM, khususnya hak atas peradilan yang adil dan hak hidup warga negara.

Selain koalisi masyarakat sipil, ormas ormas besar di Indonesia seperti Muhammadiyah menghendaki agar terbunuhnya laskar FPI ini bisa diselesaikan secara tuntas melalui proses peradilan agar menjadi jelas duduk perkaranya.

  1. Terkait dengan Tujuan Negara

Terbunuhnya laskar FPI menimbulkan tanda tanya akan tugas negara dalam melindungi rakyatnya. Pada hal tujuan utama didirikanya negara ini adalah untuk melindungi segenap anak anak bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tujuan melindungi nyawa manusia adalah prioritas utama didirikannya negara Indonesia.

Tujuan melindungi nyawa warga negara Indonesia khususnya ditengah pandemi virus corona ini sebenarnya telah berulangkali disampaikan oleh para pejabat kita. Kapolri Jenderal Pol Idham Aziz pernah menyatakan bahwa keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi di negara kita. “Polri mengacu pada azas salus populi suprema lex esto, yang artinya keselamatan rakyat merupakan hukum yang tertinggi," kata Jenderal Pol Idham Aziz dalam jumpa pers di Jakarta, Sabtu (14/11/2020) seperti dikutip media. Tetapi dengan terbunuhnya laskar FPI itu dimanakah kiranya penerapan azas tersebut dalam pelaksanaannya ?

  1. Agar Tak Terulang Lagi

Proses peradilan terhadap pelanggar HAM perlu dilakukan agar dikemudian hari kasus serupa tidak terulang untuk yang kesekian kalinya.Tuntutan agar digelar peradilan HAM itu sebenarnya sudah lama menggema. Sebagai contoh tuntutan itu pernah terjadi  pada bulan September lalu dalam peristiwa terbunuhnya beberapa orang mahasiswa akibat unjuk rasa menentang revisi UU KPK.

Saat itu beberapa elemen masyarakat  menyerukan pihak berwenang Indonesia untuk memulai investigasi yang independen, menyeluruh, dan efektif terhadap pembunuhan di luar hukum dan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat negara.

Namun seperti diketahui bersama ternyata harapan beberapa elemen masyarakat tersebut tidak bisa diwujudkan sebagaimana mestinya. Dalam kasus penghilangan nyawa diluar hukum yang menimpa mahasiswa di Sulawesi Tenggara misalnya polisi  menolak untuk menyelidiki kematian mahasiswa. Polisi saat itu bersikukuh untuk hanya menjalankan prosedur disiplin internal saja yang berujung pada penjatuhan hukuman ringan pada para pelakunya

Kegagalan membawa tersangka pelaku pelanggaran ini ke pengadilan akan memperkuat persepsi bahwa aparat kepolisian beroperasi di atas hukum dan akan memicu iklim ketidakpercayaan terhadap korp polisi Indonesia.

Agar persepsi itu tidak menjadi nyata maka perlu kiranya digelar peradilan yang adil dan fair agar menjadi jelas perkaranya sehingga tidak saling menaruh curiga diantara anak anak bangsa yang selama ini tercederai rasa keadilannya.

Selama kekerasan dan kejahatan HAM yang dilakukan oleh aparat negara selalu berulang karena diduga sanksi yang dikenakan kepada para pelanggarnya terlalu ringan karena mereka di adili hanya oleh institusinya sendiri saja. Fenomena ini tentunya tidak boleh terulang kembali agar bisa menimbulkan efek jera.

  1. Menjadi Perhatian Dunia

Selain tuntutan agar dibentuk tim Independent, penyelesaian kasus ini juga bisa terancam dibawa ke pengadilan Internasional di Den Haag Belanda.  Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar berpendapat, hilangnya nyawa enam (6) laskar pengawal pentolan Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab yang didor eksekutor merupakan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, bisa diseret ke Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag, Belanda.

“Tindakan ini bisa diadili di Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai pelanggaran HAM, bahkan bisa diadili di ICC (International Criminal Court) di Den Haag,” katanya dalam pesan singkat seperti dikutip Tagar, Rabu, 16 Desember 2020.

Ditengah tengah desakan untuk mengadili  para pelaku pendembakan laskar FPI itu tersiar berita staf Kedutaan Besar (Kedubes) Jerman mendatangi sekretariat Front Pembela Islam (FPI) terkait insiden penembakan enam Laskar FPI. Kedatangan staf Kedubes Jerman yang disebut-sebut sebagai agen intelijen Jerman itu tentu menimbulkan tanda tanya, ada apa ?.

Kini kasus penembakan terhadap 6 laskar FPI yang oleh Kontras dan elemen bangsa lainnya disebut sebut sebagai pelanggaran HAM berat itu sudah menjadi perhatian dunia. Muncul kesan bahwa pemerintah Indonesia dinilai tidak mampu melindungi hak azasi warga negaranya karena terjadinya pembunuhan diluar hukum yang telah dilakukan oleh aparat negara. Dalam kaitan ini kredibilitas pemerintah memang sedang dipertaruhkan bukan saja didalam negeri tetapi juga di mancanegara.  Yang paling dikhawatirkan dalam kaitan ini tentunya adalah kemungkinan keterlibatan Mahkamah Internasional terhadap upaya pengusutan kasusnya.

Oleh karena itu bisa dibayangkan bagaimana wajah Indonesia di mata dunia manakala kasus ini kemudian berlalu begitu saja. Kredibilitas Indonesia akan semakin hancur tentunya dan Indonesia akan dikenal sebagai negara yang tidak bisa melindungi nyawa rakyatnya.

Momentum Perubahan

Kebijakan yang diambil oleh petugas dengan menghabisi 6 FPI nyawa sekaligus, apapun alasannya tidak bisa diterima. Sebab mereka yang terbunuh bukanlah penjahat narkoba, teroris ataupun koruptor yang merugikan keuangan negara. Mereka adalah warga sipil biasa yang mestinya harus diperlakukan sedemikian rupa bukan langsung ditembak dadanya sehingga meregang nyawa.

Apakah dalam dalam hal ini aparat memang tidak dilatih untuk menembak kaki untuk melumpuhkan orang yang dianggap berbahaya bagi keselamatan petugas kalau mereka memang merasa terancam nyawanya ?

Oleh karena kasus penembakan 6 orang FPI itu  menyangkut kewibawaan terhadap kekuasaan pemerintah dan kewibawaan negara maka seyogyanya penyelesaian kasus ini tidak boleh dipandang sebelah mata apalagi banyak permintaan masyarakat baik ormas, LSM  dan elemen masyarakat lainnya yang meminta supaya kasus ini dibawah keproses peradilan hak azasi manusia.

Kita bisa belajar pada kasus  kematian George Floyd di tangan kepolisian Minnesota USA. Dimana disana  salah seorang polisi yaitu  Derek Chauvin seorang polisi kulit putih diduga telah menindih leher Geroge Floyd sampai yang bersangkutan kehabisan nafas lalu meninggal dunia. Peristiwa ini telah memantik demonstrasi besar di Amerika bahkan beberapa belahan dunia.

Akibat perbuatannya Derek Chauvin dkk dipecat dari kepolisian dan didakwa dengan tuduhan pembunuhan yang berat hukumannya. Kasus ini telah dijadikan sebagai momentum perubahan oleh pemerintah Amerika. Dewan kota Minneapolis kini melarang petugas polisi mencekik dan mengekang leher tersangka. Bukan hanya itu, Partai Demokrat di Kongres Amerika telah menyusun undang-undang tentang reformasi polisi di Amerika.

Apakah kiranya terbunuhnya 6 orang FPI oleh aparat negara itu bisa juga dijadikan momentum perubahan bagi perbaikan kinerja aparat kita ?.Kalau dilihat dari alasannya tentu lebih mengena daripada kasus yang terjadi di Amerika. Karena yang meninggal disini bukan cuma satu saja tetapi enam nyawa dibawah penguasaan aparat yang seharusnya menjaganya.

Kalau menengok peristiwa sebelumnya, selama pemerintah yang sekarang berkuasa sangat mudah hilangnya nyawa anak anak bangsa seolah olah nyawa manusia seperti tidak ada harganya. Sebagai contoh dalam mengatasi unjuk rasa diberbagai daerah telah terjadi  jatuh korban kekerasan yang diduga dilakukan ole aparat negara. Video video yang beredar memperlihatkan kebrutalan aparat dalam mengejar para pengunjuk rasa termasuk penangkapan tokoh, aktivis dan ulama yang kritis terhadap pemerintah cenderung mengabaikan ketentuan UU yang ada.

Potret tersebut memperlihatkan gambaran negara hukum yang semakin jauh dari rule of law sebagai acuannya. Atas nama hukum dengan mudah nyawa manusia diambilnya.  Atas nama hukum siapa pun yang berbeda harus ditangkap untuk kemudian dimasukkan ke penjara. Atas nama hukum keadilan dan perlakuan sama dihadapan hukum diabaikannya . Praktek penegakan hukum yang berlaku mirip yang terjadi pada jaman penjajahan Belanda. Dimana hukum sangat keras diberlakukan kepada pribumi tetap lunak pada kaum penjajah sendiri sebagai pengendali hukumnya.

Secara yuridis formal sebenarnya UU 2/2002 tentang Polri dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Polri sebagai fungsi pemerintahan meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum, perlindungan dan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (Pasal 4, UU2/2002).

Didalam ketentuannya sudah tegas dinyatakan bahwa aparat harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Tetapi ternyata prakteknya sangat jauh dari harapan kita bersama.

Oleh karena itu Pembunuhan 6 FPI yang sangat sadis, harus dijadikan sebagai momen melakukan perubahan terhadap fungsi tugas polisi, jangan sampai kekerasan menjadi budayanya dalam menegakkan hukum serta harus dibuatkan rambu-rambu supaya tidak menjadikan hukum digunakan untuk kepentingan kekuasaan belaka.

Kiranya perlu dipikirkan ulang gagasan lama yang menginginkan supaya Polri ditempatkan di bawah Mendagri saja. Sementara itu Brimob digabungkan saja dengan Tentara. Ini semua merupakan ikhtiar supaya aparat negara tidak menjelma menjadi musuh rakyat dengan segala aksi kekerasan yang dilakukannya melainkan benar benar melindungi mereka.

Harus selalu diingat bahwa keberadaan aparat itu digaji oleh negara yang menggunakan uang rakyat sebagai sumber utama. Sehingga harus menjadi jelas kemana arah pengabdiannya yaitu kepada rakyat bukan kepada cukong atau pemilik modal yang banyak uangnya.

Kini momentum terjadinya pergantian kepemimpinan Polri seyogyanya menjadi sarana untuk memperbaiki kinerja aparat dan jajarannya. Sesuai rekomendasi Komnas HAM, proses peradilan harus digelar untuk mengadili mereka yang telah menghilangkan nyawa anak anak bangsa. Dalam hal ini patut disesalkan rekomendasi Komnas HAM yang hanya menyebut terjadinya pelanggaran HAM tanpa embel embel pelanggaran HAM berat yang berbeda konsekuensinya.

Padahal temuan Komnas HAM sudah jelas terjadi extra judicial killing tetapi uniknya tidak disebut sebagai pelanggaran berat Hak Azasi Manusia. Dengan hanya disebut sebagai pelanggaran HAM saja maka konsekuensinya akan sulit mengaktifkan ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 36 dan 37 UU Nomor 26/2000 tentang Peradilan Hak Azasi Manusia. Akan sulit untuk menghukum pelakukan dengan hukuman mati, penjara seumur hidup atau pidana hingga 25 tahun lamanya.

Apalagi dengan frasa “ penegakan hukum dengan mekanisme Pengadilan Pidana guna mendapatkan kebenaran materiil lebih lengkap dan menegakkan keadilan”, hal ini bisa saja ditafsirkan sebagai diproses pidana dalam ranah peradilan umum alias peradilan biasa. Kalau ini yang akan dilakukan maka proses peradilan yang akan digelar bisa saja  serupa dengan penegakan kasus hukum Novel Baswedan dimana pelakunya hanya dihukum ala kadarnya. Yang penting bisa mengesankan seolah olah penegakan hukum telah dilakukan sebagaimana mestinya. Apakah memang ini maksud dan tujuannya ?

Kecurigaan dan kekhawatiran tersebut bisa saja menjadi nyata kalau kemudian Kapolri yang terpilih nantinya bersemangat untuk mengedepankan kepentingan institusinya, kepentingan untuk menyelamatkan anggota korpsnya. Sehingga proses peradilan yang terbuka dan adil menjadi bisa menjadi utopia  belaka. Kalau memang akan begini nantinya maka  jangan terlalu berharap jauh untuk menghukum otak atau dalang pelakunya. Sebab  ditingkat eksekutornya saja “sangat ramah” penegakan hukumnya. Semoga saja itu semua hanya sekadar kekhawatiran saya saja dalam mengamati fenomena yang ada.

 

(Editor\Warta Wartawati)

Share:




Berita Terkait

Komentar