Kisruh Harga Kedelai Jadi Catatan Merah Pemerintah di Awal Tahun

Kamis, 07/01/2021 19:05 WIB
Ilustrasi kacang kedelai. (Foto: Istimewa).

Ilustrasi kacang kedelai. (Foto: Istimewa).

Jakarta, law-justice.co - Raibnya komoditas pangan tempe dan tahu dari pasaran diiringi mogoknya para produsen belakangan ini dipastikan karena harga kedelai yang melambung tinggi. Kondisi ini menguak fakta mencengangkan bahwa hingga saat ini, Indonesia masih sangat mengandalkan kedelai impor sebagai bahan baku utama pembuatan tahu-tempe.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Anis Byarwati, menyebut harga kedelai menjadi catatan merah bagi pemerintah di awal tahun 2021. Pasalnya, kondisi tersebut tak lepas dari cara pemerintah yang gagap menghadapi tantangan ekonomi. Lonjakan harga kedelai dipastikan merupakan efek dari resesi ekonomi yang terpukul akibat pandemi

Indonesia adalah negara agraris, tetapi sektor pertaniannya tidak berkembang, bahkan terus mundur. “Salah satunya karena kebijakan pangan nasional yang tidak didasarkan pada data yang kuat dan mengikat semua pemangku kepentingan,” katanya dalam keterangan tertulis, Kamis (7/1/2021).

Berdasarkan data The Food and Agriculture Organization (FAO), harga rata-rata kedelai pada Desember 2020 tercatat sebesar US$ 461 per ton atau naik 6 persen dibanding bulan sebelumnya yang tercatat US$ 435 per ton.

Salah satu faktor utama penyebab kenaikan harga kedelai dunia adalah lonjakan permintaan kedelai dari Cina kepada Amerika Serikat selaku eksportir kedelai terbesar dunia. Pada Desember 2020 permintaan kedelai Cina naik dua kali lipat, yaitu dari 15 juta ton menjadi 30 juta ton.

Anggota DPR Fraksi PKS Anis Byarwati. (Foto: Istimewa)

Anis menekankan harus ada upaya peningkatan produksi kedelai lokal dan pengendalian impor. Ini menjadi peluang sekaligus tantangan bagi pemerintah untuk mengoptimalkan kedelai dalam negeri sehingga ke depan dapat meningkatkan kesejahteraan petani kedelai.

“Sebagaimana kita tahu bahwa kondisi petani kedelai terlibas oleh kebijakan pasar bebas tahun 1995. Awalnya produksi lokal bisa memenuhi 70-75 persen kebutuhan kedelai, tetapi saat ini terbalik karena sekitar 70-75 persen kini dipenuhi dari impor,” tuturnya.

Selain kebijakan impor, kata Anis, faktanya pemerintah kesulitan menggenjot produksi kedelai dalam negeri. Kementerian Pertanian sempat menarget produksi kedelai pada 2019 bisa mencapai 2,8 juta ton untuk memenuhi kebutuhan yang diperkirakan mencapai 4,4 juta ton. Namun hingga Oktober 2019, hanya tercapai 480.000 ton atau 16,4 persen dari target. Pada 2018 juga sama, dari target 2,2 juta ton produksi kedelai, hanya terealisasi 982.598 ton.

Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan ini juga menyoroti optimalisasi penggunaan Dana Desa. Menurutnya, salah satu evaluasi yang harus dilakukan adalah penggunaan Dana Desa untuk mengembangkan potensi desa. Program yang diselenggarakan dari dana desa seharusnya memiliki daya ungkit untuk membangkitkan ekonomi pedesaan.

“Seharusnya Dana Desa bisa dialokasikan untuk program ketahanan pangan. Dan salah satunya adalah untuk pengembangan kedelai lokal,” kata dia.

Anis menyarankan agar pemerintah segera memperbaiki tata niaga kebutuhan pangan dan memperhatikan pentingnya kolaborasi aktif antara kementerian dan lembaga terkait untuk menciptakan stabilitas harga pangan.

“Kenaikan kedelai adalah salah satu dari masalah yang sebenarnya merupakan kejadian berulang. Dan ini juga harus diantisipasi untuk bahan pokok lainnya misalnya beras, telur, daging, cabai, bawang, dan masih banyak produk pangan lainnya,” paparnya.

Anis pun meminta pemerintah menindak tegas para spekulan yang melakukan praktik penimbunan. Menurutnya, Kementerian Perdagangan harus mencabut Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) pihak-pihak yang terbukti melanggar aturan tanpa kecuali.

“Sanksi tegas ini menjadi pelajaran atau shock therapy bagi para spekulan agar tidak lagi melakukan aksi penimbunan karena dapat menyebabkan harga menjadi tidak wajar,” pungkasnya.

(Muhammad Rio Alfin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar