Sudah Terjadi, Perma No.5/2020 Batasi Kerja-kerja Jurnalistik

Kamis, 07/01/2021 12:32 WIB
Gedung Mahkamah Agung RI di Jakarta (Foto: Law-justice.co)

Gedung Mahkamah Agung RI di Jakarta (Foto: Law-justice.co)

law-justice.co - Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 tahun 2020 Tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Lingkungan Pengadilan yang ditetapkan pada 27 November 2020 sudah berdampak langsung pada kerja-kerja jurnalistik. Hakim mulai membatasi jurnalis dalam mendokumentasikan jalannya persidangan.

Setidaknya dampak Perma No. 5/2020 sudah terjadi di Pengadilan Negeri Kelas 1A Palembang dan Pengadilan Negeri Serang Banten pada Selasa (5/1/2021). Ketua Pengadilan Negeri Kelas 1 Palembang, Bombongan Silaban, hanya memberikan kesempatan para jurnalis untuk mengambil foto dan video selama 10 menit sebelum sidang kasus narkoba dimulai. Saat persidangan berlangsung, jurnalis dilarang mengambil gambar dan video.

Hal serupa juga terjadi di PN Serang, Banten. Dalam persidangan sebuah kasus dugaan pemalsuan dokumen dan keterangan palsu, majelis hakim hanya mengizinkan jurnalis untuk mengambil foto statis dan tidak boleh membuat video. Ketua Majelis Hakim, Erwantoni, mengatakan bahwa Perma No.5/2020 berlaku untuk semua pengunjung, tidak terkecuali jurnalis.

Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 4 ayat 6 yang berbunyi, "Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin Hakim/Ketua Majelis Hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya Persidangan." Pelanggaran terhadap Pasal 4 ayat 6 dikualifikasikan sebagai penghinaan terhadap pengadilan.

Substansi aturan itu sama dengan aturan pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV yang harus seizin Ketua Pengadilan Negeri di Surat Edaran Nomor 2 tahun 2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan pada 7 Februari 2020 lalu. Surat Edaran MA tersebut mencantumkan ancaman pemidanaan bagi setiap orang yang melanggar tata tertib menghadiri persidangan. Ketentuan ini kemudian dicabut Mahkamah Agung setelah mendapat protes dari berbagai kalangan.

Menyikapi dua kasus di atas, Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mendesak Mendesak Mahkamah Agung untuk segera mencabut ketentuan soal pengambilan foto, rekaman audio, dan rekaman audio visual yang harus seizin hakim atau ketua majelis hakim.

Perwakilan KKJ dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Sasmito Madrim mengatakan, MA seharusnya tetap berkomitmen untuk tidak membatasi kerja-kerja jurnalistik. Terlebih lagi, aturan yang sama pernah dibatalkan pada awal tahun lalu.

"Kami bisa mengerti bahwa Mahkamah Agung ingin menciptakan ketertiban dan menjaga kewibawaan pengadilan. Namun, niat untuk itu hendaknya tidak membuat hak wartawan dibatasi," kata Sasmito dalam siaran pers yang diterima redaksi.

KKJ menegaskan, jurnalis bekerja dilindungi oleh Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang derajatnya lebih tinggi dari Peraturan MA.

"Ancaman pidana melalui kualifikasi tindakan mengambil gambar dan merekam tanpa seizin hakim sebagai penghinaan terhadap pengadilan akan menambah daftar panjang kasus kriminalisasi terhadap jurnalis," ujar dia.

Tentang Komite Keselamatan Jurnalis
Komite Keselamatan Jurnalis dideklarasikan di Jakarta, 5 April 2019. Komite beranggotakan 10 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil, yaitu; Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Komite Keselamatan Jurnalis, secara khusus bertujuan untuk mengadvokasi kasus kekerasan terhadap jurnalis.

(Januardi Husin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar