Kasus Video Sex Gisel Disebut Preseden Buruk Hukum RI, Simak Ulasannya

Minggu, 03/01/2021 20:30 WIB
Gisel dan MYD (Tribun)

Gisel dan MYD (Tribun)

Jakarta, law-justice.co - Penetapan tersangka artis perempuan Gisela Anastasya (GA) dalam kasus pornografi, dianggap akan membawa preseden buruk bagi para korban yang menghadapi ancaman penyebaran konten intim.

Perkumpulan pembela kebebasan berekspresi Asia Tenggara, SAFEnet, menegaskan semestinya GA dilihat sebagai korban, sebab ia tidak menyebarkan konten intim pribadinya.

"Penetapan GA sebagai tersangka itu tidak tepat dan akan menjadi preseden buruk untuk korban-korban yang mengalami situasi serupa," ujar Ellen Kusuma dari SAFEnet dilansir dari BBC News Indonesia Minggu (3/2/2021)

Penetapan tersangka artis perempuan berinisial GA dalam kasus pornografi, dianggap akan membawa preseden buruk bagi para korban yang menghadapi ancaman penyebaran konten intim.

Perkumpulan pembela kebebasan berekspresi Asia Tenggara, SAFEnet, menegaskan semestinya GA dilihat sebagai korban, sebab ia tidak menyebarkan konten intim pribadinya.

"Penetapan GA sebagai tersangka itu tidak tepat dan akan menjadi preseden buruk untuk korban-korban yang mengalami situasi serupa," ujar Ellen Kusuma dari SAFEnet kepada BBC News Indonesia, Rabu (30/12).

Pakar hukum pidana menyebut semestinya penegak hukum, baik penyidik, hakim dan jaksa, merujuk pada penjelasan dalam pasal yang disangkakan terhadap GA untuk mendalami maksud pembuatan konten intim itu.

GA resmi ditetapkan sebagai tersangka atas kasus pornografi pada Selasa (29/12), beberapa pekan sejak konten intim tersebut menyebar di media sosial dan trending di Twitter.

Bagaimana status hukum GA?

Menurut kepolisian, GA telah mengakui dirinya adalah pemeran dalam video asusila yang beredar di media sosial.

Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus, mengatakan atas dasar pengakuan tersebut, yang dikuatkan dengan hasil pemeriksaaan ahli forensik dan ahli teknologi informasi, polisi kemudian menetapkan GA dan pemeran pria dalam video itu, MYD, sebagai tersangka.

"Saudari GA mengakui, dikuatkan lagi dengan ahli forensik yang ada, ahli IT yang ada, dan juga saudari GA mengakui dan juga MYD mengakui bahwa itu memang yang ada di video tersebut yang beredar di media sosial itu adalah dirinya sendiri," jelas Yusri dalam konferensi pers, Selasa (29/12).

GA dijerat dengan Pasal 4 ayat 1 Juncto Pasal 29 dan atau Pasal 8 Undang-Undang Nomor 44 tentang Pornografi.

Pasal 4 ayat 1 berisi setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi.

Pasal 8 menyatakan setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

Sementara, pasal 29 mengatur ancaman hukuman bagi yang melanggar pasal 4 ayat 1, yakni pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama 12 tahun dan atau denda maksimal Rp6 miliar.

Kepala Sub-Divisi Digital At-Risks SAFEnet, Ellen Kusuma, menyayangkan penetapan GA sebagai tersangka dan disangkakan dengan pasal yang disebutnya sebagai "pasal karet" dalam UU Pornografi tersebut.

"Kalau didasarkan pada Undang-Undang Pornografi Pasal 4 ayat 1 di bagian penjelasan itu sudah disebutkan ketika ada ada konten yang dibuat untuk kepentingan pribadi, maka itu dikecualikan dari Pasal 4 ayat 1," jelas Ellen.

"Jadi harusnya, justru tidak dikenakan Pasal 4 ayat 1 oleh pihak kepolisian."

Adapun, catatan penjelasan atas Pasal 4 ayat 1 UU Pornografi menyebut: "Yang dimaksud dengan "membuat" adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri."

Dalam keterangannya, polisi mengatakan GA mengaku ponsel miliknya sempat hilang.

Yusri menyebut, hilangnya ponsel itu merupakan "kelalaian" GA sehingga pada akhirnya video itu tersebar ke masyarakat luas.

Siapa yang lebih tepat dijadikan tersangka?

Senada dengan Ellen, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, menegaskan apa yang dilakukan GA dan pria dalam video itu adalah hak "di ranah privat".

"Sehingga yang harus ditempatkan GA dan MYD ini justru korban dari penyebaran konten intim," katanya.

Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Evi Ahyani Djulfa, menjelaskan pasal yang disangkakan pada GA, yakni pasal 4 dan pasal 8 dalam UU Pornografi, adalah "pasal yang berbicara tentang pelaku pembuat konten pornografi".

"Pelaku pembuat dalam pasal 4 atau pasal 8 [adalah] orang yang berpartisipasi dalam pembuatan konten pornografi," kata Evi.

Jika ada orang yang dijadikan model konten pornografi dan memberikan persetujuan untuk itu, menurut Evi, "itu sudah menjadi perbuatan dilarang".


Sementara, kata Evi, pasal 4 menjadi perdebatan lama karena banyak kasus pornografi, termasuk yang melibatkan musisi Ariel beberapa tahun lalu, sebab dalam penjelasannya mengatakan "ketika itu digunakan untuk kepentingan sendiri itu tidak jadi perbuatan yang dikatakan dalam pasal 4".

"Tapi sayangnya ini ada dalam penjelasan, bukan norma. Jadi buat saya penjelasan ini adalah rujukan, baik hakim, jaksa, dan penyidik sendiri, untuk kemudian melihat apakah maksud dari yang bersangkutan ini untuk dirinya sendiri atau memang untuk kemudian diberikan kepada orang lain," jelas Evi.

Evi menyebut GA "mengambil risiko, dengan menyerahkan kepada orang lain untuk kemudian ini dijadikan produk pornografi".

Apa itu kekerasan berbasis gender online?

Siti Aminah Tardi dari Komnas Perempuan mengatakan penyebaran konten intim nonkonsensual seperti yang dialami GA, adalah salah satu dari pola kekerasan berbasis gender online.

Pada 2020, Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan gender secara daring meningkat pesat.

Hingga Oktober, ada 659 kasus yang sebagian di antaranya merupakan penyebaran konten intim nonkonsensual.

Dalam konteks hukum, kata Ami, penyebaran konten intim non konsensual memiliki potensi untuk dikenakan UU Pornografi karena di dalamnya ada tubuh perempuan, walaupun penyebarannya tidak konsensual.

"Jadi memang ada irisan antara UU Pornografi dan UU ITE," kata Ami.

"Itu yang harus kita lihat agar jangan sampai wilayah privat yang kemudian disebarluaskan oleh orang lain justru perempuan yang dia tak memberikan konsensual itu tersebar, dan tidak memberikan persetujuan hal itu dilakukan justru menjadi tersangka."

"Yang harus dikejar adalah orang yang menyebarkan, bukan orang yang melakukan aktivitas seksual. Itu adalah urusan personal mereka. Yang menyebabkan ini masuk ke ruang publik ini adalah yang menyebarkan. Itu logikanya," tegas Ami.

Lebih lanjut, Ami menjelaskan empat pola dalam kekerasan berbasis online.

Pertama, kekerasan seksual yang dilakukan di dunia nyata, juga dilakukan di dunia maya. Misalnya, sexting atau pelecehan di dunia maya dengan mengirimkan video alat kelamin atau melontarkan komentar seksis di dunia maya.

"Itu adalah pelecehan nonfisik yang pengaturannya belum ada di kita," katanya.

Kedua, dunia maya menjadi cara masuk untuk memperdaya korban yang sering disebut dengan grooming.

Ia mencontohkan, pelaku menggunakan media sosial atau aplikasi kencan maya melakukan pendekatan.

Ketika terjalin emosi antara keduanya, dilakukanlah eksploitasi, baik eksploitasi seksual maupun ekonomi, seperti pemerasan uang.

Ketiga, kekerasan berbasis online menjadi alat pemenuhan prestasi. Misalnya, korban diminta untuk berfoto tanpa pakaian kemudian itu menjadi ancaman untuk pemenuhan prestasi.

Keempat, kekerasan yang di dunia nyata masuk ke dunia maya. Contohnya, kata Ami, adalah kasus penyebaran konten intim non konsensual.

"Salah satu pihak memiliki konten intim, kemudian itu menjadi alat kontrol untuk menekan salah satu pasangannya, mengintimidasi, dan seterusnya," kata Ami.

Menurut Ami, kekerasan semacam ini banyak teradi dalam relasi-relasi personal seperti pacaran atau rumah tangga.

"Dalam konteks [kasus pornografi] GA, ini menjadi hal yang baru, siapa penyebarnya?" kata dia.

Adanya konten intim yang dikuasai salah satu pihak menjadi "alat kontrol" ke pihak yang lain.

Maka dari itu, kata Ami, polisi harus menemukan siapa penyebar konten intim GA dan mengetahui maksud video itu disebarkan.

Sebab merujuk pada kasus-kasus yang dilaporkan ke Komnas Perempuan, biasanya ada maksud dendam, intimidasi atau untuk mempermalukan orang-orang yang ada dalam video itu.

"Kita harus menempatkan GA ini sebagai korban penyebaran konten intim. Apakah GA menginginkan kontennya ini tersebar, kan tidak," kata Ami.

Preseden buruk bagi korban penyebaran konten intim?

Ellen dari SAFEnet mengaku "sangat kecewa" dengan penetapan tersangka GA.

Sebab, menurutnya, apa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum justru akan membuat preseden buruk bagi para korban lain yang menghadapi ancaman penyebaran konten intim oleh para pelaku.

"Yang sebenarnya para korban ini sudah dintimidasi oleh para pelaku dengan ucapan-ucapan seperti `nanti kamu dipenjara`, `nanti kamu kena UU ITE`," kata Ellen.

Padahal, semestinya korban bisa berlindung dengan UU yang ada, tapi sayangnya pasal-pasal dalam UU saat ini malah kerap kali digunakan untuk mengintimidasi lebih lanjut.

"Sehingga, ketika korban datang melakukan konsultasi dan kami mendorongnya untuk melapor ke polisi, itu memang cenderung enggan," kata Ellen.

Selain "pasal yang mengkriminalisasi", kata Ellen, para korban juga harus menghadapi prosedur yang panjang, potensi victim blaming, dan blacklash dari publik.

Apakah kasus GA bias budaya patriarki?

Sejak video intim itu viral beberapa pekan lalu, GA langsung menuai hujatan dan kecaman di media sosial.

Ellen berpandangan, dengan mencermati kasus GA dan yang sebelumnya kasus Ariel serta pemeran perempuan dalam video itu, model Luna Maya dan Cut Tari, pola pikir masyarakat Indonesia masih didominasi dengan unsur patriarki.

Ia mengatakan kebanyakan orang melihat sebuah konten intim sebagai sesuatu yang vulgar, dan utamanya, perempuan dalam video itu harus diminta pertanggungjawabannya atas konten tersebut.

Sehingga, meskipun sebenarnya ia adalah korban, tapi karena ia ada dalam konten tersebut maka ia tetap dianggap sebagai pelaku pornografi.

"Permasalahannya adalah ketika kasus-kasus ini terus mencuat di hadapan masyarakat dengan budaya patriarki tersebut, tentunya ada bias-bias yang muncul, baik secara profesional maupun personal.

"Jadi ketika aparat, baik dari pihak kepolisian ataupun tahapan persidangan, ketika melihat kasus-kasus penyebaran konten intim, tentunya bias-bias patriarki yang dipegang itu bisa mempengaruhi judgment (penilaian)-nya sendiri," jelas Ellen.

Dengan budaya patriarki yang mengakar, objektivikasi dilakukan pada pemeran dalam konten intim tersebut. Objektivitasi, kata Ellen, dilakukan pada perempuan dampaknya bisa jadi berbeda.

Hal serupa diutarakan oleh Siti Aminah Tardi dari Komnas Perempuan.

"Perempuan akan mendapatkan penghakiman, akan dipersalahkan terkait standar moralitas ganda yang dimiliki oleh struktur patriarki. Hal yang sama tidak berlaku untuk laki-laki."

"Laki-laki akan dianggap macho, maskulin. Tidak ada penghakiman serupa," kata Ami.

Ia mencontohkan, dalam kasus pornografi yang melibatkan Ariel, publik mengglorifikasi Ariel, namun menyematkan stigma negatif terhadap Luna Maya.

Menurut Ami, ini menunjukkan bagaimana sistem patriarki bekerja dan mempersalahkan perempuan dalam konteks standar moralitas masyarakat patriarki.

Ia mengatakan masyarakat tidak memiliki hak untuk menghakimi dan menilai moralitas mereka.

"Termasuk negara juga tidak punya hak untuk campur dalam kehidupan seksual GA dan M karena negara tidak dirugikan."

Bagamaina supaya hal ini tak berulang?

Agar kasus semacam ini tak terulang dan tidak menjadi preseden bagi korban penyebaran konten intim, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menegaskan perlunya "pembaruan hukum" di UU ITE maupun UU Pornografi.

"Bahwa perempuan yang tidak menyetujui konsen tersebarnya konten intimnya, maka ia tak boleh dipidana karena posisi mereka adalah korban," kata Ami.

Ellen dari SAFEnet menambahkan "advokasi pada pasal-pasal karet yang selama ini mengintimidasi korban, perlu dilakukan".

Pasal karet dalam UU Pornografi, salah satunya ialah pasal 4 ayat 1 yang kerap digunakan untuk menjerat korban.

"Pasal 4 sendiri sudah jelas di bagian penjelasannya bahwa kalau itu dibuat untuk kepentingan pribadi semestinya tidak bisa dijerat, karena itu dikecualikan."

"Tetapi pertanyaannya, kenapa itu tetap digunakan aparat penegak hukum untuk menentukan status tersangka dari GA itu," kata Ellen.

Saat ini SAFEnet menjadi bagian dari pihak yang mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi atas Pasal 27 ayat 1 UU ITE.

Ellen menambahkan, dengan situasi yang ada saat ini RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) penting untuk segera disahkan.

"Pasal-pasal dalam RUU itu bisa menjawab keresahan korban kekerasan berbasis gender online seperti yang saat ini ramai, yaitu terkait penyebaran konten intim," kata dia.

Sayangnya, hingga kini, RUU itu urung disahkan karena pembahasannya mandek di DPR.

Lebih jauh, Ellen menambahkan percakapan yang muncul di media sosial ketika ada kejadian penyebaran konten intim, masyarakat cenderung memviralkannya dan turut menyebarkannya.

Ellen mengatakan SAFEnet kerap menjalankan kampanye "Stop di kamu" agar konten itu tidak disebarkan. Sebab jika turut menyebarkan artinya kita sudah turut melakukan tindak kekerasan.

Edukasi, kata Ellen, selain dilakukan pada masyarakat juga semestinya dilakukan pada penegak hukum. Sebab kerap kali ketika memproses kasus pornografi dan memberlakukan pasal, tidak melihat konteks secara keseluruhan.

"Adaconsent lho di sini yang harus dipertimbangkan sebelum kemudian dinaikkan statusnya dari saksi menjadi tersangka," katanya.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar