FPI Tempuh Jalur Hukum Soal Pembubarannya, HNW: Pemerintah Juga Harus Buktikan Taat Konstitusi

Kamis, 31/12/2020 14:47 WIB
Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid. (Foto: Istimewa).

Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid. (Foto: Istimewa).

Jakarta, law-justice.co - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Hidayat Nur Wahid mengapresiasi langkah tim hukum Front Pembela Islam (FPI) yang menyiapkan langkah hukum menyusul terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) enam pejabat tinggi negara yang melarang kegiatan dan penggunaan atribut Front Pembela Islam (FPI).

Dia berharap Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan pemerintah harus turut membuktikan sikap yang sama, yakni mengedepankan ketaatan hukum dalam kasus tersebut. Apalagi, Komnas HAM juga telah mengingatkan bahwa pelarangan ormas harus sesuai konstitusi.

"Langkah hukum yang akan ditempuh oleh FPI itu sejalan dengan konstitusi dan komitmen bangsa ini, bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), bukan negara kekuasaan (machtstaat), dan oleh karenanya setiap tindakan penyelenggara negara juga harus berbasis kebenaran dan keadilan hukum," kata Nur Wahid dalam keterangan tertulis, Kamis (31/12/2020).

Pria yang akrab disapa HNW ini menyayangkan sikap pemerintah yang buru-buru menghentikan FPI. Pasalnya, penerbitan SKB larangan dan penghentian kegiatan FPI tersebut dinilai oleh koalisi masyarakat sipil seperti LBH, KontraS, PSHK, dan LBHPers sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip negara hukum dan demokrasi.

Dia juga menyatakan bahwa SKT yang disebut pemerintah telah habis masa berlakunya sejak Juni 2019 lalu nyatanya sudah kembali diberikan rekomendasi perpanjangan oleh Fachrul Razi, mantan Menteri Agama sebelum Yaqut Cholil Qoumas pada 29 November 2019 lalu. Fachrul saat itu hendak merangkul FPI karena ormas tersebut berkomitmen kepada Pancasila dan NKRI.

HNW menjelaskan, aturan main dalam kasus penghentian dan pelarangan kegiatan FPI yang memakai UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), sangat jauh dari prinsip negara hukum, demokrasi dan HAM. Sebab, dalam UU tersebut sanksi yang dijatuhkan terhadap ormas bisa dilakukan tanpa melewati proses peradilan. Menurutnya, hal itu menjadi salah satu ciri negara kekuasaan, bukan ciri negara hukum.

“Padahal, di UU Ormas sebelumnya (UU No.17/2013), pemberian sanksi harus melewati mekanisme proses peradilan. Pasal 65 UU No.17/2013 menyebutkan bahwa penghentian sementara kegiatan suatu ormas wajib meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung. Sayangnya, di UU Ormas perubahan (UU N0.16/2017) yang berasal dari Perppu yang diteken oleh Presiden Jokowi, ketentuan itu dihapuskan,” terangnya.

“Perppu Ormas itu sebenarnya dahulu sudah banyak penolakan, seperti dari Gerindra, PAN, PKS dan sejumlah organisasi atau aktivis hak asasi manusia," imbuhnya.

Lebih lanjut, Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini menilai langkah FPI untuk menempuh jalur hukum itu juga sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materi UU Ormas. Dalam putusan nomor 2/PUU-XVI/2018, MK menyebutkan bahwa meski proses pengadilan sebelum penjatuhan sanksi ormas dihapuskan, bukan berarti pihak yang keberatan dengan surat keputusan penjatuhan sanksi tidak bisa membawa kasus itu ke pengadilan.

“Opsi menggugat ke PTUN masih tersedia. Jadi langkah FPI sudah tepat. Kita semua harus sama-sama mengedepankan proses hukum,” ujarnya.

Menurut HNW, apabila eks anggota FPI ingin mendirikan ormas baru sesuai undang-undang, seharusnya pemerintah tidak menghalang-halanginya. Apalagi, kata dia, para eks anggota FPI itu diakui oleh nasyarakat luas dengan banyaknya aksi positif dan kegiatan konkret membantu pemerintah dan masyarakat, seperti saat FPI membantu korban bencana alam tanpa membedakan agama dan ras.

“Kini, eksponen FPI sudah deklarasikan ormas Front Persatuan Islam. Di mana deklaratornya tegas menyampaikan bahwa Front Persatuan Islam didirikan dengan semangat damai, untuk melanjutkan perjuangan bela agama, bangsa dan negara, sesuai Pancasila dan UUD 1945. Kegiatan positif oleh ormas seperti ini harusnya tidak dihambat lagi oleh pemerintah,” katanya.

(Muhammad Rio Alfin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar