Mengenang Sejarah Gundik dan Tionghoa di Kalijodo

Jakarta, law-justice.co - Siapa yang tidak mengenal kawasan Kalijodo, yang sempat terkenal sebagai lokalisasi prostitusi dan perjudian terbesar di wilayah Jakarta. Nama besarnya masih melekat walau pun kini sudah berubah muka menjadi kawasan terpadu ruang terbuka ramah anak.

Dulunya, Kalijodo adalah sebuah lokasi sentral ekonomi yang menghidupkan Jakarta. Asal mula Kalijodo itu sendiri sebenarnya merupakan tempat persinggahan etnis Tionghoa yang mencari gundik atau selir. Mengacu pada catatan sejarah abad silam sekitar tahun 1600-an, Jakarta masih terkenal dengan nama Batavia. Pada masa kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), mayoritas penduduk di sana adalah etnis Tionghoa.

Baca juga : Wamen BUMN Buka-bukaan Update Restrukturisasi BUMN Karya

Masyarakat etnis Tionghoa ini adalah orang-orang pelarian dari Manchuria. Wilayah yang dulunya terletak di dekat perbatasan Korea Utara dan Rusia itu sedang mengalami perang. Saat melarikan diri ke Batavia, mereka tidak membawa istri, sehingga mereka pun akhirnya mencari gundik atau pengganti istri di Batavia.

Dalam proses pencarian gundik, mereka kerap kali bertemu di kawasan bantaran sungai. Lalu tempat yang dijadikan dianggap menjadi pertemuan pencarian jodoh dinamakan Kalijodo. Dalam bahasa Jawa artinya “Sungai Bertemunya Jodoh”.

Baca juga : KPU Salah Baca Duplik, Hakim Konstitusi Saldi Isra Singgung Ini

Para calon gundik ini mayoritas didominasi oleh perempuan lokal. Para gadis pribumi akan menarik pria etnis Tionghoa dengan menyanyi lagu-lagu klasik Tionghoa di atas perahu yang tertambat di pinggir kali.

Pada masa tersebut, perempuan yang akan menjadi gundik disebut Cau Bau. Cau Bau dianggap memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan pelacur. Kendati demikian, di lokasi tersebut masih berlangsung aktivitas seksual dengan transaksi uang.

Baca juga : Simak Deretan Rekomendasi Saham yang Diprediksi Raih Cuan Pekan Ini

Cau Bau artinya adalah perempuan. Cau Bau ini bisa disamakan dengan Geisha dalam kebudayaan Jepang. Mereka bukan bertujuan untuk melacur, tapi perempuan tersebut menghibur dan mendapatkan uang atas pekerjaannya. (IDN Times)