Mediasi Konflik, PM Ethiopia Temui Oposisi dan Militer Sudan

law-justice.co - Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed menemui pemimpin militer dan oposisi di Khartoum dalam usaha menjadi mediator krisis politik yang terjadi setelah penggulingan Presiden Sudan, Omar al-Bashir, Sabtu (8/6).

Prakarsa Ethiopia itu diambil setelah terjadi pertumpahan darah di Sudan sejak Bashir digulingkan oleh militer pada April. Aksi-aksi unjuk rasa berlangsung selama empat bulan menentang pemerintahan Bashir yang represif.

Baca juga : Effendy Maruapey Dilantik Jadi Direktur Penindakan Jampidmil Kejagung

Kelompok oposisi mengatakan 113 orang tewas dalam penyerbuan kamp protes warga sipil pada Senin dan kemudian terjadi penindakan keras terhadap para pengunjuk rasa. Pemerintah menyebutkan sedikitnya 61 orang tewas, termasuk tiga personel keamanan.

Di bandara Khartoum, PM Abiy disambut oleh Letnan Jenderal Shams El Din Kabbashi, juru bicara Dewan Militer Transisi yang memerintah Sudan.

Baca juga : Jika Israel Terus Gempur Rafah, Hamas Ancam Batal Gencatan Senjata

Abiy kemudian mengadakan pertemuan di kedutaan besar Ethiopia dengan aliansi Deklarasi Kekuatan Kebebasan dan Perubahan yang beroposisi.

"Dia menyatakan komitmen Ethiopia untuk memelihara perdamaian di kawasan dan menggarisbawahi bahwa prasyarat bagi pemulihan perdamaian di Sudan ialah persatuan," kata kantor Abiy.

Baca juga : Hamas Siapkan Jebakan Jika Israel Menyerang Rafah

Kedua pihak di Sudan sudah berunding selama beberapa pekan mengenai siapa seharusnya memimpin transisi Sudan menuju demokrasi. Tetapi perundingan-perundingan yang sudah goyah menemui jalan buntu setelah tindakan keras diambil minggu ini.

PM, yang naik ke tampuk kekuasaan di Ethiopia tahun lalu dan memberlakukan reformasi politik dan ekonomi, memperoleh pujian atas kemampuan diplomasinya, termasuk mengupayakan perdamaian dengan Eriteria, tetangganya dan musuh lama.

Uni Afrika pada Kamis menangguhkan keanggotaan Sudan hingga pemulihan pemerintahan sipil, meningkatkan tekanan global atas para pemimpin militer agar mundur. Sebagaimana yang dilansir dari Antara, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan beberapa pemerintahan juga mengutuk pertumpahan darah itu.