Bongkar Kasus Satelit Kemhan, Pintu Masuk Pemberantasan Korupsi Sektor Pertahanan

Sengkarut Korupsi Satelit Kemhan, Siapa yang Bermain?

law-justice.co - Kasus dugaan korupsi satelit kemenhan menjadi debut bagi Jaksa Agung Muda Militer (Jampidmil) dalam menggarap kasus korupsi. Kasus yang digarap secara koneksitas ini setidaknya sudah berlangsung dalam 2 cluster. Cluster pertama dengan kerugian negara Rp 400 miliar telah diputus inkrah oleh Mahkamah Agung. Sementara, klaster kedua tengah digarap penyidikannya.

Kasus ini pertama kali terkuak ke publik akibat adanya putusan International Chamber of Comerce (ICC) Singapura yang keluar di bulan April 2021 dengan putusan agar Kemenhan mengganti kerugian Navayo dan MEHIB sebesar 24,15 juta dollar AS. Atas putusan ini, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengeluarkan perintah eksekusi atau eksekuatur pada 30 Desember 2021.

Baca juga : Perhatian, 40 Perusahaan Buka Lowongan Kerja di Job Fair Jakarta

Kasus ini lantas menjadi perhatian publik karena diungkap oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD saat masih menjabat. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 2015, ketika Indonesia menyewa satelit dan tidak memenuhi kewajiban bayar sesuai nilai sewa. Hal ini menyebabkan Indonesia digugat di pengadilan arbitrase internasional sehingga harus membayarkan uang sewa dan biaya arbitrase dengan nilai fantastis. Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara harus mengeluarkan pembayaran untuk sewa satelit. "Biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filling satelit sebesar ekuivalen Rp 515 miliar," kata Mahfud sebagaimana dikutip Kompas.com, Jumat (21/3/2025).

Tak hanya itu, Navayo juga mengajukan tagihan sebesar 16 juta dollar AS kepada Kemenhan. Terkait perkara ini, Pengadilan Arbitrase Singapura pada 22 Mei 2021 mengeluarkan putusan yang mewajibkan Kemenhan membayar 20.901.209 dollar AS atau setara Rp 314 miliar kepada Navayo. "Selain keharusan membayar kepada Navayo, Kemhan juga berpotensi ditagih pembayaran oleh Airbus, Detente, Hogan Lovells, dan Telesat, sehingga negara bisa mengalami kerugian yang lebih besar lagi," kata Mahfud.

Baca juga : Ultimatum Israel-Amerika Serikat, Pimpinan Iran: Perang Dimulai!

Kejadian ini bermula ketika pada 19 Januari 2015, Satelit Garuda l telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur. Dengan demikian, terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia. Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), kata Mahfud, negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali slot orbit. Jika tak dipenuhi, hak pengelolaan slot orbit akan gugur secara otomatis dan bisa digunakan negara lain.

Untuk mengisi kosongnya pengelolaan slot orbit itu, Kemkominfo memenuhi permintaan Kemhan untuk mendapatkan hak pengelolaan. Hal itu bertujuan untuk membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Kemhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan satelit sementara pengisi orbit milik Avanti Communication. Kontrak itu diteken pada 6 Desember 2015.

Baca juga : Kasus Mafia Tanah Mbah Tupon, Polisi Tetapkan 7 Tersangka, 3 Ditahan

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Ardiansyah dalam konferensi  pers mengungkapkan progres kelanjutan kasus dugaan tindak pidana korupsi pada pengadaan satelit slot orbit oleh Kementerian Pertahanan (Kemhan), Selasa (15/2/2022). (Tribunnews)

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung Febrie Ardiansyah Jumat (14/1/2022), mengatakan dugaan korupsi bermula pada saat Kemenhan melaksanakan proyek pengadaan satelit slot orbit 123 bujur timur untuk periode tahun 2015-2021. Kontrak dilakukan dengan pihak Airbus dan perusahaan Navajo. Kemudian jaksa menemukan ada beberapa perbuatan melawan hukum. Salah satunya adalah proyek tersebut tidak direncanakan dengan baik. Bahkan, tambah Febrie, saat kontrak dilakukan anggarannya belum tersedia di Kemenhan untuk tahun 2015. Selain itu saat menyewa satelit Avanti Communications ltd, seharusnya negara tidak perlu melakukan sewa. Alasannya adalah masih ada waktu 3 tahun untuk dapat digunakan saat satelit yang lama tidak berfungsi. Jadi berdasarkan ketentuan masih ada tenggang waktu.

Di klaster I ini penyidik telah menetapkan 4 tersangka dan mengajukan ke meja hijau. Hasilnya, keempat terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan satelit slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) Kemenhan dinyatakan bersalah dalam sidang vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (17/7/ 2023). Sidang ini digelar dengan empat terdakwa yaitu mantan Dirjen Kekuatan Pertahanan Kemenhan Laksamana Muda (Purn) Agus Purwoto, Komisaris Utama PT Dini Nusa Kusuma (PT DNK) Arifin Wiguna, Konsultan Teknologi PT DNK 2015-2016 dan Direktur Utama PT DNK periode 2016-2020 Surya Cipta Witoelar serta Senior Advisor PT DNK Thomas Anthony Van Der Heyden.

Perhitungan Kerugian Negara. (Putusan PN Tipikor Jakpus Nomor: 19 /Pid.Sus-TPK/2023/PN.Jkt.Pst)

Dalam pertimbangan putusannya, dijelaskan tentang kerugian negara. embayaran sewa satelit Floater Artemis dari Avanti terdiri dari 3 (tiga) tahap berdasarkan invoice Avanti Kemhan telah membayarkan sebagai berikut :

  1. Tahap I tanggal 28 April 2016 sebesar USD2.252.187.83 (dua juta dua ratus lima puluh dua ribu seratus delapan puluh tujuh koma delapan puluh tiga dolar Amerika) atau Rp.29.762.662.173,45;(dua puluh Sembilan miliar tujuh ratus enam puluh dua juta enam ratus enam puluh dua ribu seratus tujuh  puluh tiga rupiah empat puluh sen) kurs Rp.13.215.00;
  2. Tahap II tanggal 31 Agustus 2016 sebesar USD10.000.506.69 (sepuluh juta lima ratus enam koma enam Sembilan dolar Amerika) atau Rp. 133.676.772.925,23;(seratis tiga puluh tiga miliar enam ratus tujuh puluh enam juta tujuh ratus tujuh puluh dua ribu Sembilan ratus dua puluh lima rupiah dua puluh tiga sen) kurs Rp.13.367.00 ;
  3. Tahap III berdasarkan putusan arbritase kepada Avanti sebesar USD19.862.485.39 (Sembilan belas juta delapan ratus enam puluh dua ribu empat ratus delapan puluh lima koma tiga puluh Sembilan dolar Amerika) atau Rp 289.654.624.442.00;(dua ratus delapan puluh Sembilan miliar enam ratus lima puluh empat juta enam ratus dua puluh empat ribu empat ratus empat puluh dua rupiah) kurs 14.583.00 ;

Bahwa dari 3 (tiga) tahap total pembayaran sewa satelit Artemis dari Perusahaan Avanti communications Limited sebesar Rp. 453.094.059.540,68;(empat ratus lima puluh tiga miliar Sembilan puluh empat juta lima puluh Sembilan ribu lima ratus empat puluh rupiah enam puluh delapan sen). Menimbang, bahwa berdasarkan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Proyek Pengadaan Satelit Slot Orbit 123⁰ BT pada Kementerian Pertahanan Tahun 2012-2021 oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Nomor: PE.03.03/SR-607/D5/02/2022, tanggal 12 Agustus 2022, perbuatan Terdakwa I Laksda TNI Purnawirawan Agus Purwoto bersama- sama dengan Terdakwa II Arifin Wiguna, Terdakwa III Surya Cipta Witoelar dan saksi  Thomas Anthony van der Heyden telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp453.094.059.540,68 (empat ratus lima puluh tiga miliar sembilan puluh empat juta lima puluh sembilan ribu lima ratus empat puluh rupiah enam puluh delapan sen). Thomas Anthony van der Heyden juga enjadi terdakwa dalam berkas terpisah.

Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi mantan Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan (Dirjen Kuathan) Kementerian Pertahanan (Kemenhan) RI, Laksamana Muda (Purn) Agus Purwoto. Agus Purwoto merupakan terdakwa kasus dugaan korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) kontrak sewa dengan satelit Artemis Avanti di Kemenhan RI tahun 2015. Kasasi ini diputus oleh hakim Agung Suharto dengan hakim Agung Agustinus Purnomo Hadi dan hakim Agung Yanto sebagai anggota majelis pada 7 Maret 2024.

Klaster dua digarap belakangan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Militer. Jampidmil kini tengah menggarap kasus dugaan korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat bujur timur pada Kementerian Pertahanan tahun 2016. Kerugian negara dalam kasus tersebut ditaksir mencapai Rp 300 miliar. Spesifik protek yang digarap terkait pelaksanaan pengadaan berdasarkan Agreement for the Provision of User Terminals and Related Services and Equipment antara Navayo International AG dan Kementerian Pertahanan tanggal 1 Juli 2016. Hal itu diungkapkan dalam konferensi pers yang dilakukan Kejaksaan Agung, Rabu (7/4/2025), malam. "Untuk kerugian negara dirupiahkan sekitar Rp 300 miliar, dengan catatan kala itu US$1 kurang lebih setara Rp 15.000," kata Direktur Penindakan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer (Jampidmil) Brigadir Jenderal Andi Suci.

Dalam pekembangan penanganan perkara ini, penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan tiga orang tersangka dalam perkara dugaan  korupsi pada proyek pengadaan user terminal untuk satelit slot orbit 123 derajat BT di Kementerian Pertahanan tahun 2016. Mereka adalah Laksamana Muda TNI (Purn) Ir. Leonardi, selaku Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Anthony Thomas Van Der Hayden (selaku perantara) dan Gabor Kuti selaku CEO Navayo International AG.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, mengatakan kasus yang mulai diusut sejak beberapa tahun lalu ini bakal segera dilimpahkan ke pengadilan. Dia pun bilang tidak menutup kemungkinan pengembangan kasus mengarah kepada tindak pidana pencucian uang. "Penting bagi penyidik untuk melacak aliran dananya," kata Harli kepada Law-justice, Rabu (14/5/2025).

Harli menuturkan bahwa ketiga pelaku kongkalikong untuk membuat pengadaan palsu kendati tahu betul Kementerian Pertahanan tidak memiliki anggaran belanja satelit angkasa. Walhasil, pengadaan bodong ini berujung digunakan alas hukum untuk menggugat Indonesia secara arbitrase internasional di International Chamber of Comerce (ICC).  Adapun keberadaan invoice palsu ini terbongkar setelah penyidik menelusuri alur peristiwa dan kerja sama yang dijalin oleh Navayo dengan Laksamana Muda TNI (Purn) Leonardi. Sang purnawirawan saat kejadian menjabat sebagai Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). "Mulanya karena permufakatan jahat antara oknum Kemenhan dan perantara," kata Harli.

Terpidana kasus dugaan korupsi pengadaan satelit slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) Kementerian Pertahanan Laksamana Muda (Purn) Agus Purwoto (kanan) bersiap mengikuti sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin, 17 Juli 2023. (Antara via Tempo)

Lebih lanjut, terungkap bahwa Leonardi, yang berstatus PPK meneken kontrak dengan Gabor Kuti, selaku CEO Navayo International AG, pada tanggal 1 Juli 2016. Isinya ihwal tentang perjanjian untuk penyediaan terminal pengguna jasa dan peralatan yang terkait (Agreement For The Provision Of User Terminal And Related Service And Equipment) senilai 34.194.300 dollar AS, yang kemudian berubah menjadi 29.900.000 dollar AS.

Kerja sama ini janggal lantaran penunjukan Navayo International AG sebagai pihak ketiga tidak melalui proses pengadaan barang dan jasa yang sah. Navayo juga merupakan rekomendasi dari Anthony Thomas Van Der Hayden. Saat penandatanganan kontrak itu, Anthony diketahui menjabat sebagai Tenaga Ahli Satelit Kementerian Pertahanan. Anthony pun warga Amerika Serikat yang banyak terlibat proyek pemerintah.

Berselang beberapa waktu, korporasi yang berbasis di Eropa Barat itu mengklaim telah melakukan pekerjaan berupa pengiriman barang kepada Kementerian Pertahanan. Berdasarkan restu dari Mayor Jenderal TNI (Purn) Bambang Hartawan dan Laksamana Muda TNI (Purn) Leonardi, Letkol Tek Jon Kennedy Ginting dan Kolonel Chb Masri menandatangani empat buah Surat Certificate of Performance (CoP) atau Sertifikat Kinerja terhadap pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh Navayo.

Akan tetapi, CoP ini justru disiapkan oleh Anthony Thomas Van Der Hayden. Sebelum sertifikat itu diteken, tidak ada pihak yang mengecek ada tidaknya barang yang dikirim oleh Navayo kepada Kemhan. Namun anehnya, setelah CoP diterbitkan, pihak Navayo pun mengirimkan empat invoice kepada Kementerian Pertahanan untuk menagih pembayaran atas pekerjaan yang disebutkan dalam kontrak. Merujuk perhitungan BPKP, kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Navayo International AG telah menimbulkan kerugian negara sebanyak 21.384.851,89 dollar AS. "Artinya potensi kerugian negara sampai ratusan miliar. Maka itu akan kami telusuri siapa saja yang terlibat," tutur Harli.

Harli mengatakan bahwa dalam proses penyidikan, sejumlah ahli satelit Indonesia diminta untuk melakukan pemeriksaan terhadap hasil kerja Navayo. Para ahli memeriksa sebanyak 550 buah handphone yang menjadi sampling barang dari Navayo ke Kemhan. Merujuk pemeriksaan, ponsel yang diproduksi bukan merupakan handphone satelit dan tidak terdapat Secure Chip sebagaimana spesifikasi teknis yang dipersyaratkan dalam kontrak. Para ahli juga memeriksa master program yang dibuat Navayo. Adapun program ini tertuang dalam 12 buku Milestone 3 Submission. Setelah dipelajari, master program dari Navayo tidak dapat membangun sebuah program user terminal.

Anthony Thomas Van Der Hayden terlibat dalam dua kasus dugaan korupsi satelit Kemhan. Dalam kasus pertama dia sudah dijatuhi pidana 12 tahun, kemudian dijadikan tersnagka dalam kasus kedua. (dok. Kejagung)

Penetapan tersangka dalam kasus ini juga untuk memenuhi kewajiban pembayaran sejumlah 20.862.822 dollar AS berdasarkan Final Award Putusan Arbitrase Singapura dan permohonan penyitaan Wisma Wakil Kepala Perwakilan Republik Indonesia, rumah dinas Atase Pertahanan, dan rumah dinas (apartemen) Koordinator Fungsi Politik KBRI di Paris oleh Juru Sita (Commissaires de justice) Paris terhadap Putusan Pengadilan Paris yang mengesahkan Putusan Tribunal Arbitrase Singapura tanggal 22 April 2021 yang dimohonkan oleh Navayo International AG atas putusan Arbitrase International Chamber of Commerce (ICC) Singapura.

Ketiga tersangka diduga melanggar, Primair: Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 Jo Pasal 64 KUHP. Atau, Subsidiair kedua: Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 Jo Pasal 64 KUHP. Atau, Subsidiair ketiga: Pasal 8 Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 Jo Pasal 64 KUHP.

Masih Ada yang Belum Terungkap?

Anggota Komisi I DPR RI Rizki Natakusumah mendorong kasus yang tengah diusut oleh Kejagung tersebut harus diusut tuntas jangan sampai berlarut-larut. Dalam hal ini, Rizki menyatakan bila pemerintah dan Aparat Penegak Hukum secara keseluruhan harus berani mengungkap kebenaran seterang-terangnya supaya kasus tersebut bisa segera tuntas. "Permasalahan tersebut merupakan masalah yang sudah berlarut-larut terjadi di Kementerian Pertahanan. Kami menginginkan kepada seluruh jajaran pemerintah, tidak hanya Kemhan, untuk meluruskan masalah yang berpotensi merugikan negara dalam jumlah besar," kata Rizki ketika dikonfirmasi, Kamis (15/05/2025).

Ketua BURT DPR RI tersebut juga menyatakan jangan sampai pemerintah hanya mau merencanakan pengembangan proyek pertahanan jangka panjang dengan nilai yang besar tanpa mau menyelesaikan apa yang belum tuntas. "Harus ada keberanian untuk menyibak potensi kerugian negara ini," imbuhnya.

Politisi Partai Demokrat ini yakin proyek satelit itu akan sangat menguntungkan bagi RI. Untuk itu, dia mendukung kebijakan proyek tersebut namun pembiayaannya harus dilakukan dengan transparan. Ia menginginkan sistem surveillance yang solid untuk kepentingan pertahanan Indonesia karena keberadaan satelit tersebut akan membantu memperkuat ketahanan negara Indonesia. "Akan tetapi, jika proyek besar semacam ini tidak dilakukan dengan transparan, maka malah akan menimbulkan kerugian yang tidak main-main," ujar Rizki.

"Maka dari itu, kami mendorong para pemangku kebijakan yang terkait dalam pengadaan proyek ini untuk menunjukkan sikap kenegarawanan yang bertanggung jawab," sambungnya.

Anggota Komisi I DPR RI Rizki Natakusumah. (eMedia DPR)

Sementara itu, Ketua Komisi I DPR RI Utut Adianto menyerahkan sepenuhnya kepada Aparat Penegak Hukum dalam hal ini Kejaksaan Agung untuk mengusut tuntas kasus tersebut. "Ya saya menghormati aparat penegak hukum untuk mengusut kasus tersebut," kata Utut kepada Wartawan, Rabu (14/05/2025).

Pengamat militer dari Global Future Institute, Hendrajit menduga masih banyak pihak yang terlibat dalam pusaran kasus dugaan korupsi proyek penyelamatan slot Orbit 123 derajat Bujur Timur oleh Kementerian Pertahanan. Satelit Kemhan tersebut merugikan negara hingga Rp 514,2 miliar. Angka tersebut masih dapat bertambah dengan adanya gugatan arbitrase di pengadilan Singapura senilai US$ 20 juta atau setara dengan Rp 286,3 miliar.

Menurutnya satelit Kemhan ini bukan pengadaan tapi diada-adakan. Sebab yang sepatutnya menggarap pengadaan proyek ini adalah Komdigi, yang dulu bernama Kominfo. Hendrajit mensinyalir sejumlah orang dari pihak swasta berinisiatif melakukan persekongkolan untuk mengambil alih slot yang berlokasi di 36 kilometer di atas Pulau Sulawesi itu dari kendali Kementerian Komunikasi.

Ketika proyek itu sudah dalam kewenangan Kementerian Pertahanan, mereka membuat program Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) untuk mengisi slot orbit tersebut pada 2015. Nilai proyeknya fantastis, mencapai US$ 669 juta atau sekitar Rp 9,5 triliun, meski tidak ada dalam daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) tahun tersebut. "Tidak ada anggarannya saja sudah aneh, ya kok ini bisa-bisanya mengalihkan tupoksi Kementerian Komunikasi," kata Hendrajit kepada Law-justice, Kamis (15/5/2025).

Kementerian Pertahanan kemudian membuka tender internasional. Dari kontrak senilai US$ 425 juta untuk pengadaan satelit dengan Airbus, US$ 29,9 juta dengan Navayo, hingga US$ 70 juta untuk program peluncuran satelit. Selama proses pembangunan itu, pemerintah menyewa Satelit Artemis, satelit sementara pengisi orbit (floater) milik Avanti Communications Limited Ltd—operator satelit asal Inggris.

Hendrajit yang ketahui informasi dari lingkungan Kemhan bilang dalam proses itu, satelit milik Avanti sama sekali tidak berfungsi di slot Orbit 123 derajat BT. Padahal pemerintah telah membayar biaya tersebut setelah Avanti memenangi gugatan di arbitrase senilai Rp 515 miliar. Detailnya, anggaran yang sudah keluar adalah biaya sewa Avanti sebesar Rp 491 miliar, kemudian biaya konsultan senilai Rp 18,5 miliar, dan biaya gugatan arbitrase atas Navayo senilai Rp 4,7 miliar.

Hendrajit bilang Kementerian Pertahanan pada 2016 sempat menerbitkan kebijakan self-blocking atau memastikan anggaran tersebut tidak dicairkan untuk proyek satelit. Sehingga proyek pengadaan satelit sama sekali tak bisa direalisasikan. "Artinya, kementerian tak perlu menyewa satelit ke Avanti. Sebab, sesuai dengan ketentuan International Telecommunication Union—badan di bawah PBB—masih ada masa tenggang hingga tiga tahun untuk mengisi kembali slot tersebut," ujar Hendrajit.

Hendrajit menuturkan Kementerian Pertahanan juga meneken kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovells, dan Telesat pada 2015 dan 2016. Karena pemerintah melakukan self-blocking anggaran pada 2016, Avanti mengajukan gugatan di London Court of International Arbitration. Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase mewajibkan Indonesia membayar sewa Satelit Artemis senilai Rp 515 miliar.

A

Pengamat Militer Hendrajit. (Era Muslim)

Menurut Hendrajit, Navayo menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan kontrak. Namun sejumlah pejabat Kementerian Pertahanan pada 2016 dan 2017 tetap menerima dan meneken dokumen tersebut. Merasa telah memenuhi kewajiban, Navayo mengajukan tagihan senilai US$ 16 juta tapi ditolak pemerintah. Mereka kemudian mengajukan gugatan di pengadilan Singapura. "Nah di sini mulai ada permainannya," tuturnya.

Hendrajit bilang bahwa skandal ini merupakan momentum bagi pemerintah untuk menuntaskan masalah dan berbenah di Kementerian. Tidak adanya pertanggungjawaban proyek ini dibuktikan dengan kekalahan Indonesia dalam gugatan arbitrase yang dilakukan sejumlah vendor internasional, di antaranya Airbus, Navayo, Avanti Communications Ltd, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat. "Terlebih pemerintah sudah membayar denda akibat kekalahan di pengadilan arbitrase London. Untuk putusan pengadilan arbitrase Singapura atas denda US$ 20 juta kepada Navayo, pemerintah belum membayarnya," ujar dia.

Menurutnya, kekalahan beruntun tersebut disebabkan oleh pengadaan proyek satelit yang ditengarai dipenuhi praktik patgulipat yang koruptif. Dia menekankan soal anggaran Kementerian Pertahanan untuk proyek satelit pada 2015 belum ada, tapi Kementerian sudah meneken kontrak kerja dengan sejumlah vendor. Ketika anggaran sudah ada pada 2016, Kementerian Pertahanan malah menerbitkan self blocking atau memastikan anggaran tidak dicairkan untuk proyek satelit Orbit 123 BT. "Ini menguatkan kecurigaan bahwa ada dugaan persekongkolan antara pembuat kebijakan dan pihak swasta dalam rencana proyek tersebut," ujarnya.

"Kasus dugaan korupsi ini adalah buntut dari buruknya tata kelola orbit satelit sebagai aset nasional. Sumber daya alam terbatas ini malah dimanfaatkan untuk proyek kongkalikong yang diduga menguntungkan pejabat dan kontraktor yang ditunjuk secara tertutup," ia menambahkan.

Kasus ini semestinya menjadi penanda transparansi di proyek-proyek Kementerian Pertahanan. Selama ini, proyek yang berelasi dengan pertahanan kerap dianggap sebagai The Untouchables alias tak tersentuh. Apalagi kasus ini dibongkar saat Presiden Prabowo Subianto menjabat sebagai Menteri Pertahanan.

Tentunya, dibongkarnya kasus ini pun menjadi penanda komitmen Prabowo terhadap pemberantasan korupsi. Sebuah komitmen yang saat ini perlu menjadi program utama pemerintahannya.

Rohman Wibowo

Ghivary Apriman