Nawaitu Redaksi

Pelukan Sanca Istana Negara; Strategi Politik Prabowo Tanpa Suara

[INTRO]

Hingga saat ini sudah enam bulan lamanya pemerintahan  Presiden Prabowo berkuasa. Selama enam bulan berkuasa harapan rakyat untuk untuk adanya perubahan, ternyata masih menjadi fatamorgana. Sehingga  muncul gelombang ketidaksabaran yang kian merebak dimana mana. Warga dari berbagai lapisan mulai mempertanyakan arah kepemimpinan Prabowo Subianto, yang justru terlihat terus mempererat hubungan politiknya dengan Presiden sebelumnya, Jokowi yang dinilai bermasalah selama dua periode memimpin Indonesia.

Dalam benak banyak orang, momentum Pilpres 2024 yang lalu adalah peluang untuk menyudahi warisan kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan rakyat jelata. Namun, ketika figur yang dijagokan sebagai simbol perubahan malah kerap tampil harmonis dengan kekuasaan lama, muncul rasa kecewa.

Baca juga : Resmi, Yolla Yuliana Pensiun dari Timnas Voli Indonesia

Bukan sekali dua kali, Prabowo tampak lebih sibuk menjaga keharmonisan dengan Jokowi ketimbang menyuarakan sikap kritis atau menawarkan arah baru yang lebih tegas sesuai visi dan misinya. Banyak yang merasa, Prabowo bukannya menjadi pemimpin yang membawa angin segar, tapi justru terjebak dalam pelukan politik transaksional yang mengaburkan batas antara oposisi dan koalisi yang menguntungkan kekuatan lama.

Suara-suara di akar rumput mulai terdengar lantang :  "Kami tidak memilih untuk melihat sandiwara persahabatan dengan mantan presiden yang banyak cacatnya," begitu kira-kira jeritan yang mulai ramai terdengar di kalangan rakyat jelata. Hal ini menunjukkan bahwa rakyat ingin bukti, bukan sekadar omon omon saja. Mereka ingin pemimpin yang berani mengambil sikap, bukan seorang pemimpin yang terus menerus mencari kenyamanan dalam bayang-bayang kekuasaan lama.

Baca juga : Jusuf Kalla Ingatkan Pemerintah Tak Asal Ambil Keputusan Terkait Aceh

Tetapi benarkah Prabowo memang begitu lemah dihadapan penguasa lama yang digantikannya sehingga menjadi tidak berdaya ?. Atau sebenarnya ia sedang menjalankan strategi ular sanca yang melemahkan lawan secara perlahan lahan tanpa korban menyadarinya ?. Jika benar demikian, dengan cara bagaimana Prabowo melakukannya ?

Strategi Sanca

Baca juga : Bahas Polemik Penulisan Sejarah, Komisi X DPR akan Panggil Fadli Zon

Dalam dunia politik, tidak semua perebutan kekuasaan atau mengamankan kekuasaan  berlangsung dengan dentuman keras atau perang terbuka. Kadang-kadang, ia hadir dalam senyap, seperti seekor ular sanca yang menyusup pelan, penuh kesabaran untuk membelit mangsanya.

Sepertinya strategi sanca ini sudah dimainkan Prabowo sejak lama untuk naik ke panggung kekuasaan di Indonesia setelah berulang kali gagal untuk mencapainya. Dua kali gagal melawan Jokowi dalam Pilpres telah menyadarkan dirinya untuk beralih haluan dengan menggunakan strategi ala sanca. Strategi ala sanca ini rupanya mulai diterapkan Prabowo sejak kalah di Pilpres 2019 yang mendorongnya untuk “berdamai” dengan mantan seterunya.

Sejak saat itu Prabowo Subianto berusaha memainkan peran strategisnya dalam menjinakkan kekuatan Jokowi dengan masuk dan bergabung dengannya. Apa yang terlihat dipermukaan memang seperti kompromi, namun dalam kenyataannya adalah manuver politik yang lambat namun pasti menuju upaya pencapaian ambisinya.

Sejak kekalahannya dalam dua pemilu sebelumnya, banyak yang mengira Prabowo telah selesai karier politiknya seiring dengan usianya yang kian menua. Namun, alih-alih menepi, ia memilih jalan taktis: masuk ke dalam sistem, menahan ego, dan mendekatkan diri pada sumber kekuasaan yaitu masuk istana “menghamba” pada bekas musuhnya.

Ia menerima tawaran Jokowi untuk duduk di kursi Menteri Pertahanan, sebuah langkah yang bagi sebagian orang tampak seperti penyerahan, tetapi bagi Prabowo, itu adalah awal dari proses pembelitan ala sanca. Perlahan tapi pasti, ia mempelajari medan dari dalam dan menyusup kesana. Ia tidak berteriak, tidak mengguncang kapal yang ditumpanginya. Ia hanya diam, membangun simpati, memperluas jaringan, dan menabur pengaruh di lingkungan istana.

Selama lima tahun, Prabowo menjadi wajah loyalitas dalam kabinet yang dipimpin oleh mantan seteru politiknya. Tapi di balik layar, ia menyusun langkah-langkah strategis, merapatkan barisan, menguatkan basis, dan yang paling penting mendekati pusat kekuasaan sejati: keluarga dan lingkaran dalam istana. Ia tidak melawan kekuatan lama secara frontal; sebaliknya, ia membuat kekuatan itu merasa nyaman, merasa tetap berkuasa, hingga tanpa sadar memberi ruang yang lebih luas bagi Prabowo untuk masuk dan mencengkeramnya.

Hasilnya, ketika Pilpres 2024 mendekat, Prabowo sudah berada pada posisi yang tak bisa diabaikan potensinya. Ia bukan lagi oposisi, tetapi juga bukan bagian utuh dari status quo penguasa. Ia berada di tengah-tengah, tempat terbaik untuk mengambil alih kuasa negara. Dengan gaya tenang dan narasi "rekonsiliasi nasional", ia menarik simpati publik yang jenuh dengan polarisasi antar anak bangsa. Dan yang paling brilian: ia berhasil merebut dukungan dari kekuatan lama itu sendiri termasuk keluarga Jokowi yang akhirnya secara terbuka mendukung Prabowo yang dipasangkan dengan anaknya

Inilah momen ketika belitan itu mulai terasa. Lawan-lawan politik yang sebelumnya menganggap Prabowo sebagai "pemain luar", kini mendapati diri mereka tak lagi punya pijakan untuk menggoyangnya. Prabowo tidak pernah memukul; ia hanya mempererat belitannya. Tanpa sadar, kekuatan lama yang dulu dominan kini telah melemah, tidak oleh benturan, melainkan oleh pelukan eratnya.

Strategi Prabowo adalah kemenangan atas waktu dan kesabarannya. Ia tidak tergesa-gesa, tetapi setiap langkahnya diarahkan untuk satu tujuan: menggenggam kekuasaan secara total meskipun perlu waktu lama. Dan ketika akhirnya ia berhasil duduk di puncak kekuasaan, semua baru menyadari akan strategi yang dimainkannya. Mangsa telah kehabisan napas, bukan karena luka, tetapi karena belitan yang perlahan mencekik, seperti cara ular sanca menaklukkan buruannya.

Strategi dalam meraih kekuasaan itu rupanya kembali diamalkan saat ia sudah menjadi orang nomor satu di Indonesia. Strategi itu sengaja dimainkan ditengah ancaman persatuan bangsa baik dari dalam maupun dari mancanegara. Dalam hal ini trategi politik Presiden Prabowo dalam merombak tatanan kekuasaan warisan Jokowi di kabinetnya bukanlah serangan frontal yang gegap gempita. Ia tak datang dengan gebrakan besar atau perang terbuka, melainkan menyusup perlahan seperti belitan ular sanca yang mengintai dalam keheningan lalu sigap menyergapnya

Sanca tak menggigit mangsanya dengan bisa. Ia memeluknya dengan kesabaran seolah olah hendak melindunginya. Pada akhirnya nanti, satu per satu, kekuatan lama yang dulu mengitari Jokowi, dari loyalis partai, jaringan istana, hingga para pejabat yang dibesarkan dalam orbit kekuasaan sebelumnya, dibelai dengan kepercayaan, lalu dililit dalam manuver politik yang senyap tanpa mereka menyadarinya. Mereka tak menyadari bahwa ruang geraknya makin sempit, hingga akhirnya kehilangan daya.

Sepertinya Prabowo tahu, kekuatan sejati bukan dari kecepatan mengganti, tapi dari ketepatan menyerap dan menyergapnya. Ia tak menghapus jejak Jokowi dan orang orangnya, tapi mengendap-endap menyusup ke jantungnya, lalu memeluknya erat bukan untuk menjaga, tapi untuk mengambil alih posisinya secara alami tanpa benturan sehingga tidak menimbulkan luka.

Pada akhirnya nanti semua akan menyadari, ketika kursi-kursi yang dulu diduduki oleh orang-orang Jokowi sudah berganti tuan, tanpa gaduh, tanpa darah karena berjalan secara natural seolah olah tanpa rekayasa. Ini semacam kudeta merangkak di era  transisi yang dibungkus persatuan bangsa. Tapi jika diperhatikan lebih dalam, inilah cara seekor sanca membunuh: perlahan, pasti, dan mematikan dan tanpa si mangsa menyadarinya.

Wujud Belitan Sanca

Belitan sanca ala istana untuk menjinakkan lawan lawan politik kekuatan lama peninggalan presiden sebelumnya dilakukan melalui beberapa cara diantaranya :

Pertama, Melalui Proses Penegakan Hukum. Dalam hal ini Prabowo tidak langsung mengganti atau meresufle kabinet yang dipimpinnya melainkan melalui proses penegakan hukum terhadap mereka mereka yang bermasalah dengan hukum. Di sinilah letak kecerdikan politiknya. Alih-alih bertindak politis secara terbuka, ia membiarkan hukum berbicara. Ia perlahan lahan akan memperkuat institusi penegak hukum dan mendorong independensi aparat penegak hukum seperti Kejaksaan, KPK, dan Kepolisian untuk bekerja tanpa intervensi.

Satu per satu, figur-figur yang selama ini dikenal sebagai orang dekat Jokowi, dan yang sebelumnya nyaris tak tersentuh karena kekuatan politik yang melindungi mereka, mulai terseret dalam proses hukum. Mereka yang selama ini duduk di kursi kementerian atau lembaga strategis dan memiliki rekam jejak kasus dugaan korupsi, penyalahgunaan wewenang, atau konflik kepentingan, tiba-tiba mendapati dirinya berada dalam pusaran penyidikan. Tidak ada lagi tameng kekuasaan yang melindungi. Tidak ada lagi telepon dari istana yang bisa menghentikan proses hukum.]

Prabowo tak pernah secara terbuka mengatakan bahwa ini adalah cara untuk menyingkirkan orang-orang lama. Ia hanya menegaskan komitmennya terhadap penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Namun arah dan pola pergerakan hukum menunjukkan satu benang merah: pembersihan sistematis terhadap mereka yang menjadi warisan kekuasaan sebelumnya. Dan karena proses tersebut dibungkus dalam legitimasi hukum, publik pun sulit untuk mempersoalkannya. Ini bukan balas dendam politik, setidaknya tidak dalam bentuk yang eksplisit. Ini adalah penataan ulang, reformasi melalui hukum.

Mereka yang dulu merasa aman di lingkar kekuasaan kini mulai gelisah. Kekuasaan sudah berganti, dan yang baru tidak akan memberi perlindungan bagi mereka yang bermasalah. Pesan Prabowo jelas: jika kamu bersih, kamu tak perlu takut. Tapi jika kamu punya rekam jejak yang kotor, maka kamu akan menghadapi konsekuensinya, tidak peduli seberapa dekat hubunganmu dengan kekuasaan sebelumnya.

Dengan cara ini, Prabowo berhasil dua hal sekaligus. Ia memperkuat citra dirinya sebagai pemimpin tegas dan bersih yang menjunjung tinggi supremasi hukum, sekaligus mengeliminasi kekuatan politik lama tanpa menciptakan kegaduhan besar di ruang publik. Langkah ini membuatnya mampu mengonsolidasikan kekuasaan, menata ulang loyalitas di tubuh pemerintahan, dan membangun fondasi kekuasaan yang bersih dari pengaruh lama.

Kedua, Membiarkan Narasi Publik Berkembang untuk Menjatuhkan Nama Jokowi dan Orang-Orangnya. Dalam skenario yang berkembang, banyak pihak mulai mencermati strategi halus namun terencana yang dilakukan Prabowo untuk secara perlahan mendegradasi pengaruh Jokowi dan kroninya, bukan dengan konfrontasi langsung, melainkan dengan membiarkan gelombang opini publik terbentuk melalui eksploitasi kasus-kasus hukum yang menyelimuti lingkaran dalam Istana.

Cara Prabowo tampaknya bukan dengan menggunakan tangan besinya secara terbuka. Ia memilih pendekatan senyap: membiarkan isu-isu yang selama ini ditutup-tutupi oleh kekuasaan era Jokowi terbuka lebar ke ruang publik. Mulai dari isu dugaan ijazah palsu Presiden, praktek nepotisme terang-terangan melalui pencalonan Gibran Rakabuming, hingga tuduhan pelanggaran konstitusi terkait pencalonan wakil presiden di bawah usia minimum yang seharusnya, semuanya tidak langsung diserang, tetapi dibiarkan tumbuh, mengakar, dan menjadi percakapan utama di masyarakat.

Lebih jauh lagi, isu korupsi, yang sebelumnya diredam dengan berbagai manuver politik, kini tampak seperti benih yang mulai tumbuh liar di ladang opini publik. Prabowo tidak perlu menciptakan narasi baru; dia hanya perlu tidak menghalangi narasi yang sudah ada. Di era digital yang penuh dengan rekam jejak, jejak digital para elite era Jokowi tak perlu direkayasa  cukup dibuka, dan publik akan membaca serta menilainya sendiri.

Ini adalah strategi pengelupasan bertahap kredibilitas Jokowi dan jaringan loyalisnya. Prabowo memahami bahwa serangan langsung hanya akan memicu simpati terhadap lawan. Sebaliknya, dengan membiarkan hukum berjalan, membiarkan media sosial dan jurnalisme investigatif bekerja tanpa intervensi, dia membuat masyarakat sendiri yang menjatuhkan vonis sosial.

Hukuman sosial ini bahkan bisa lebih mematikan daripada hukuman pidana. Begitu kredibilitas Jokowi tergerus, kekuatan politiknya melemah. Loyalisnya satu per satu akan kehilangan pijakan, dan kekuasaan akan bergeser secara alami ke pusat kendali baru yang tak lain dan tak bukan adalah Prabowo sendiri.

Dalam kondisi seperti ini, Prabowo tidak perlu memenjarakan siapapun. Ia hanya perlu menjadi tokoh yang “netral”, tampak menghormati proses hukum dan demokrasi, sambil membiarkan badai opini menghantam para pemain lama. Dengan cara ini, ia mengokohkan dirinya sebagai simbol stabilitas baru pasca-era Jokowi, tanpa harus menyentuh langsung para pendahulunya.Maka publik akan berkata: "Bukan Prabowo yang menjatuhkan Jokowi, tetapi Jokowi yang menjatuhkan dirinya sendiri." Sebuah narasi yang rapi, strategis, dan mematikan.

Ketiga, Membuat Kebijakan atau Keputusan Yang Merugikan Kekuatan Lama. Meski sebelumnya menjalin koalisi strategis demi meraih kursi kepresidenan, Prabowo tampaknya menyadari bahwa bayang-bayang kekuasaan Jokowi beserta jaringan politiknya masih melekat kuat dalam struktur birokrasi, kementerian, dan lembaga strategis negara. Maka cepat atau lambat akan dimulai  fase baru dalam kekuasaannyasebuah langkah sistematis dan terukur untuk melakukan pembersihan politik atau cleansing terhadap jejak-jejak dominasi kekuasaan lama.

Langkah ini bisa dimulai dari lingkar dalam istana dengan dalih melakukan peremajaan dan efisiensi birokrasi, Presiden Prabowo secara perlahan mengganti para menteri, wakil menteri, dan staf ahli yang selama ini dikenal sebagai loyalis Jokowi. Beberapa nama besar dari periode sebelumnya tidak diperpanjang masa tugasnya, bahkan nantinya ada yang dicopot di tengah jalan. Mereka digantikan oleh sosok-sosok baru yang berasal dari lingkaran militer, akademisi nasionalis, dan teknokrat yang selama ini berada di bawah radar politik. Bisa juga  berasal dari lingkaran loyalis lama Prabowo yang telah menanti saat mereka mendapat panggung kekuasaan.

Lebih jauh lagi, kebijakan reformasi struktural di tubuh TNI Polri pada akhirnya nanti juga akan dilakukan  pembersihan. Beberapa posisi strategis akan diisi oleh figur-figur yang dikenal dekat dengan Prabowo semasa ia aktif di militer. Di kalangan sipil, posisi-posisi kunci seperti di Badan Intelijen Negara (BIN), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta lembaga-lembaga pengawas lainnya lambat laun akan mengalami pergantian pimpinan yang signifikan. Para pemimpin baru ini membawa narasi "restorasi nasional", namun secara diam-diam juga menyusun ulang peta kekuasaan internal agar tidak lagi terikat pada warisan politik Jokowi.

Saat ini yang baru dilakukan barangkali baru “pembersihan” orang orang Jokowi dilingkungan TNI. Meskipun belakangan sempat mau di recoki kembali oleh kekuatan lama dengan digantinya anak Try Soetrisno namun Presiden Prabowo kemudian menunjukkan kuasanya untuk mengembalikan ke posisi semula.

Sementaara itu pada sisi yang lain , Prabowo akan mulai membatalkan atau mengkaji ulang proyek-proyek besar era Jokowi, seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) dan Proyek Proyek Strategis lainnya. Saat ini Presiden Prabowo Subianto telah melakukan evaluasi terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN) yang diwariskan dari era Presiden Joko Widodo.

Sebanyak 280 proyek PSN sedang dikaji ulang, dan beberapa di antaranya telah dihentikan atau dicoret dari daftar PSN.  Evaluasi terhadap 280 PSN ini masih berlangsung dan melibatkan berbagai kementerian serta lembaga terkait. Keputusan akhir mengenai kelanjutan atau penghentian proyek-proyek tersebut akan ditentukan setelah proses evaluasi selesai .

Meskipun alasan yang disampaikan adalah koreksi terhadap efisiensi anggaran dan dampak ekonomi, banyak pengamat melihat ini sebagai sinyal kuat untuk mendistorsi legacy Jokowi di mata publik. Beberapa program digantikan dengan inisiatif baru yang lebih mencerminkan visi dan strategi politik Prabowo sendiri lebih berorientasi pada kemandirian pertahanan, swasembada pangan, dan kebijakan luar negeri yang lebih tegas.

Selain itu, secara kultural, Prabowo mulai membentuk citra baru kepemimpinannya yang maskulin, nasionalistik, dan terkesan kuat, berbeda dengan pendekatan Jokowi yang populis dan membumi. Pidato-pidato kenegaraan mulai menonjolkan jargon tentang kedaulatan, ketegasan, dan perlunya "membersihkan sistem dari pengaruh pragmatisme lama". Ini bukan sekadar retorika, tetapi upaya membentuk opini publik bahwa masa depan Indonesia tak lagi boleh disandera oleh kepentingan oligarki atau jaringan kekuasaan lama yang tak sejalan dengan arah barunya.

Meski belum secara terbuka menyasar individu-individu, kebijakan-kebijakan yang diambil menyasar struktur. Loyalis Jokowi yang masih mencoba bertahan perlahan terpinggirkan, tak diberi ruang di lembaga-lembaga vital, atau bahkan mulai terseret dalam investigasi hukum yang sebelumnya tertunda. Dalam dinamika ini, terlihat jelas bahwa Prabowo sedang membentuk ulang peta kekuasaan Indonesia, bukan dengan frontal menyerang Jokowi secara pribadi, tapi dengan langkah strategis: mengeringkan sumber kekuasaan lama hingga mereka tak lagi relevan dalam arus kekuasaan baru.

Langkah-langkah ini, meskipun dibalut dalam narasi penyehatan sistem dan penyelarasan visi, tak pelak menunjukkan satu hal: pemerintahan Prabowo sedang menjalankan proses cleansing kekuasaan, dengan cara yang tenang, sistematis, dan penuh perhitungan politik. Bukan balas dendam, tapi penataan ulang. Bukan pengkhianatan, tapi rekonstruksi kendali. Dalam diam, Prabowo perlahan lahan diduga  sedang menghapus jejak Jokowi dari lanskap kekuasaan nasional, dan menggantinya dengan cetak biru kepemimpinannya sendiri.

Pada akhirnya, strategi "pelukan sanca" bukan sekadar simbol politik, melainkan taktik halus penuh kalkulasi: membungkus lawan dalam pelukan, bukan untuk mempererat, tetapi untuk melemahkannya. Prabowo tampaknya memahami bahwa dalam politik, mengeliminasi tidak selalu berarti menyerang secara terbuka. Justru dengan diam, merangkul, dan memberi tempat, ia bisa mengendalikan arah, meredam perlawanan, dan secara perlahan mencabut pengaruhnya.

Jokowi mungkin masih hadir dalam simbol dan narasi, namun di balik layar, satu per satu mata rantai loyalisnya mulai terurai. Jika benar pelukan itu adalah strategi eliminasi, maka Prabowo sedang memainkan permainan yang tak bersuara namun mengguncang , permainan kekuasaan yang hanya dimenangkan oleh mereka yang sabar, dingin, dan tahu kapan harus memeluk dan kapan pula harus  melepasnya.