Modus Kerjasama Ko-Asuransi, Duit BUMN ini Digangsir Triliunan Rupiah

Lemah GCG, Askrindo Potensi Rugi Triliunan

law-justice.co - Lagi-lagi badan usaha milik negara (BUMN) yang semestinya menyumbang pendapatan negara, kini terancam tekor triliunan rupiah. Kali ini, Askrindo ditengarai berpotensi menderita kerugian akibat sejumlah persoalan. Paling signifikan akibat kerjasama dengan Reliance. DPR meminta Askrindo menempuh jalur hukum.

Temuan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tersebut termaktub dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan atas Pengelolaan Pendapatan, Biaya, dan Investasi Tahun Buku 2021, 2022, dan 2023 (Semester I) pada PT Askrindo dan anak perusahaan serta instansi terkait lainnya di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera utara, dan Sulawesi Selatan. 

Baca juga : Perhatian, 40 Perusahaan Buka Lowongan Kerja di Job Fair Jakarta

Dalam laporan tersebut, BPK mengungkap adanya 24 temuan pemeriksaan. Seperti misalnya  Perjanjian Kerasama Ko-Asuransi antara PT Askrindo dan PT Reliance Tidak Sesuai  POJK  Berpotensi  Merugikan  Keuangan  Perusahaan  Minimal  Sebesar Rpl.979.138.451.025,00, lalu ada  Pengelolaan Penjaminan KUR Gen 1 pada PT Askrindo Belum Memadai Berpotensi Merugikan Keuangan Perusahaan Sebesar Rp448.268.460.970 ,75 dan Belum Dibayar oleh Pemerintah Sebesar  Rp414.824.943.406,37, kemudian Pengelolaan Pendapatan Imbal Jasa Penjaminan KUR Gen 2 PT Askrindo Belum Memadai, dan Pengelolaan Subrogasi pada PT Asuransi Kredit Indonesia Belum Memadai.

Komisi VI DPR mendorong Direksi PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) untuk segera menindaklanjuti temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait potensi kerugian yang nyaris mencapai Rp 2 triliun dalam perjanjian kerjasama asuransi dengan PT Reliance Asuransi Indonesia. Penyelesaian ini penting untuk memastikan setiap temuan BPK dapat ditindaklanjuti sesuai peraturan perundang-undangan. “Yang pasti Askrindo dengan semua pihak wajib menyelesaikan laporan BPK juga di internal,” tegas anggota Komisi VI DPR Nasim Khan ketika dikonfirmasi, Kamis (08/05/2025).

Baca juga : Ultimatum Israel-Amerika Serikat, Pimpinan Iran: Perang Dimulai!

Menurut Nasim hal tersebut penting supaya permasalahan di Askrindo bisa segera selesai dan tentu bila sudah ada temuan BPK tentu harus diselesaikan. “Yang pasti Askrindo dengan semua pihak wajib menyelesaikan laporan BPK,” kata Nasim.

Politisi PKB tersebut juga menyatakan bila Komisi VI DPR RI akan terus mengawal setiap permasalahan yang terjadi pada mitra kerja komisi. Pasalnya, hal tersebut merupakan bagian dari DPR menjalankan fungsi pengawasan kepada mitra kerja supaya permasalahan tersebut bisa diselesaikan. "Kami akan kawal terus setiap mitra kerja kami," ujarnya. 

Baca juga : Kasus Mafia Tanah Mbah Tupon, Polisi Tetapkan 7 Tersangka, 3 Ditahan

Pengamat asuransi Irvan Rahardjo mengatakan tata kelola BUMN asuransi dalam tanda tanya. Kasus korupsi yang banyak membelit petinggi perusahaan pelat merah, dengan beragam modus menjadi preseden buruk. Mulai dari Jasindo, Jiwasraya hingga Askrindo yang tersangkut kasus bancakan, dengan modus komisi agen, pemalsuan dokumen, reasuransi dan ko-asuransi. Kerugiannya pun tidak sedikit, ada yang ratusan miliar hingga triliunan rupiah. “Saya melihatnya celah moral hazard itu karena konflik kepentingan. Datangnya bisa dari siapa dan dari mana saja. Direksi atau komisaris atau juga di bawahnya berpotensi besar memiliki relasi dengan klien atau mitra. Tapi, kerja sama yang terjalin jadinya bukan untuk ekspansi bisnis perusahaan. Yang terjadi untuk kepentingan pribadi atau kelompok,” kata Irvan kepada Law-justice, Jumat (9/5/2025). 

Kutipan Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan atas Pengelolaan Pendapatan, Biaya, dan Investasi Tahun Buku 2021, 2022, dan 2023 (Semester I) pada PT Askrindo dan anak perusahaan serta instansi terkait lainnya di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera utara, dan Sulawesi Selatan. (BPK)

Merujuk laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengaudit tata kelola BUMN Askrindo pada periode 2021-2023, ditemukan sejumlah potensi penyimpangan. Persisnya saat Askrindo melakukan perjanjian kerja sama dengan PT Asuransi Jiwa Reliance Indonesia (Reliance) pada periode 2015-2020. Auditor menyimpulkan kerja sama itu tidak menguntungkan korporasi, tapi justru bikin merugi hingga Rp 1,98 triliun. 

Yang paling mendasar kejanggalan dari dua korporasi asuransi itu adalah berbedanya entitas bisnis. BUMN Askrindo berfokus pada asuransi kredit untuk sektor UMKM, sedangkan Reliance berkutat di sektor asuransi jiwa. Auditor menemukan bahwa dasar perjanjian kerja sama menyebutkan bahwa Askrindo adalah asuransi umum. 

Melalui kerja sama yang diteken awal pada 2015, jajaran direksi dua korporasi menandatangani perjanjian ko-asuransi tentang asuransi jiwa kredit. Produk yang di-cover adalah Reliance Credit Life, yang menanggung perlindungan atas sisa pinjaman bila terjadi risiko meninggal dunia karena sakit atau bukan karena kecelakaan dari pemegang polis tertentu. Adapun tertanggung adalah orang yang mengajukan kredit konsumtif kepada BPD Jateng. 

Kerena Askrindo memilik jejaring atau relasi perbankan karena bergerak di asuransi kredit, lantas perjanjian kerja sama diperluas dari yang semulanya hanya kredit dari BPD tertentu menjadi seluruh bank termasuk BPR. Dari lini bisnis yang tidak sejalan in, auditor menduga kuat ada penyimpangan. Sekaligus perjanjian kerja sama dua perusahaan ini menabrak aturan sesuai Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2014 dan Pasal 9 ayat (1) POJK Nomor 23/POJK.05/2015. Salah satunya menyatakan bahwa perusahaan asuransi umum dilarang menanggung kerugian yang disebabkan oleh kematian. “Perjanjian ko-asuransi tersebut ditandatangani meskipun PT Askrindo dan PT Reliance mempunyai lini usaha yang berbeda,” petik laporan BPK. 

Pihak Askrindo mengklaim bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tak mempermasalahkan kerja sama beda entitas bisnis itu. Namun, bagi Irvan Rahardjo, justru di situ celah fraud terbuka. “Semestinya ada penyesuaian dalam lini bisnis agar tidak terjadi kerugian pada pihak tertentu, apalagi yang dijadikan landasan kerja sama adalah ko-asuransi bukan re-asuransi. Risiko piutang nantinya akan menjadi bom waktu bagi Askrindo,” ujar Irvan. 

Dan benar saja, skema kerja sama beda entitas bisnis dengan ko-asuransi ini bak bumerang bagi Askrindo. Dalam laporan BPK, piutang reasuransi mencapai Rp 1,78 triliun dari Reliance. Hal ini akibat skema klaim tidak berbasis berbagi risiko atau ko-asuransi, akan tetapi pertanggungan ulang yang menggunakan konsep SOA (Scopes of Appointment). Sehingga laporan perhitungan transaksi bisnis atas penutupan dilakukan Askrindo dalam periode tertentu. 

Konsep kerja sama ko-asuransi dengan prosedur SOA ini dinilai auditor BPK tidak layak karena hanya akan membebankan risiko bisnis pada salah satu pihak. “Penggunaan SOA untuk pelaporan pertanggungan dan klaim tersebut layaknya digunakan oleh perusahaan asuransi ke perusahaan reasuransi melalui kerjasama treaty,” tulis auditor BPK. 

Selain tidak sama lini bisnis asuransi, kejanggalan lain yang ditemukan auditor BPK adalah penetapan Reliance sebagai mitra kerja sama tidak melalui analisisi yang memadai. Setidaknya penentuan kelayakan kerja sama diukur dari hasil proses penilaian 4 divisi, salah satunya Divisi Manajemen Risiko dan Kepatuhan. Namun BPK tidak melihat proses itu dijalankan secara transparan. Sebab, sejumlah dokumen yang seharusnya memuat penilaian kerja sama tidak diberikan pihak Askrindo kepada auditor. 

Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo. (x: /@irvanrahardjo)

Padahal dokumen pertimbangan atau penilaian itu begitu penting untuk mengetahui apa musabab peralihan tanggungan pemegang polis kredit konsumtif yang semulanya hanya BPD Jawa Tengah, lalu dialihkan ke semua bank jejaring. Dalam laporan BPK, direksi mengklaim penetapan Reliance sebagai mitra sudah sesuai prosedur dan melibatkan banyak divisi. Lain itu, Reliance dianggap layak karena rekam jejak yang mumpuni. 

Namun, Irvan mengatakan dasar penetapan kerja sama menjadi vital untuk mengetahui apa kepentingan kerja sama. Penetapan kelayakan juga menyangkut soal kapabilitas keuangan Reliance sebagai mitra Askrindo. Jika memang tidak sesuai dengan polis yang ditanggung, maka terjadi dampak finansial bagi Askrindo. “Karena cukup signigikan peralihan tanggungan dari satu bank dan menjadi banyak bank. Tentu berhadapan dengan risiko bisnis,” kata dia. 

Irvan mengatakan mekanisme SOA dalam perjanjian kerja sama beda entitas bisnis berisiko saat pengajuan klaim. Margin waktu klaim yang diatur sedemikian lamanya bisa menjadi celah agar klaim tidak bisa dilakukan. Dari sini muncul pertanyaan, lantas bagaimana tanggung jawab perusahaan dalam menanggung klaim dan di mana uang itu bermuara. “Permainan soal klaim bukan barang baru di dunia asuransi. Oknum bermain untuk kepentingan ekonominya,” kata Irvan. 

Dalam laporan BPK, tertera rincian data SOA periode 2015 sampai 2023, yang diketahui terdapat selisih antara pengajuan klaim PT Askrindo dan persetujuan klaim PT Reliance sebesar Rp1.98 triliun. Klaim dari sejumlah debitur tertanggung itu berasal dari belasan mitra bank berstatus BPD. Selisih paling banyak mulai terjadi pada 2020 sebesar Rp 326.31 miliar. 

Kerugian keuangan perusahaan senilai hampir 2 trliun ditengarai BPK karena kelalain direksi dalam menetapkan perjanjian kerja sama dengan Reliance yang memiliki segmentasi bisnis berbeda. Ditambah, fungsi pengawasan dari komisaris juga dipertanyakan. BPK lantas mendesak Askrindo untuk menagih piutang reasuransi dari Reliance. “Mengupayakan pemulihan potensi kerugian perusahaan kepada PT Reliance, jika diperlukan diantaranya melalui jalur hukum,” petik laporan BPK. 

Plt. Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi – Mohammad Ismail Riyadi, mengatakan pengawasan pada lini bisnis BUMN asuransi memang menjadi sorotan. Sebab, permainan regulasi internal maupun celah dalam peraturan OJK kerap menjadi pintu masuk penyimpangan. “Banyaknya kasus korupsi BUMN Asuransi menjadi atensi kami kembali untuk lebih melakukan pengawasan secara komprehensif. Tidak hanya BUMN terkait, tapi pihak yang menjadi rekanan kerja sama,” ujar Riyadi. 

Sementara itu, Sekretaris Perusahaan, Syafruddin tidak membalas pesan Law-justice terkait hasil audit BPK yang mengarah penyimpangan kerja sama dengan Reliance itu. Law-Justice mencoba mengkonfirmasi pada Reliance terkait adanya temuan BPK terkait perjanjian kerja sama antara Askrindo dan Reliance.  Namun, hingga saat ini pihak Reliance belum memberi tanggapan.

DPR Soroti Lemahnya GCG, Bakal Segera Panggil Askrindo

Anggota Komisi VI DPR RI Amin Ak menyatakan keprihatinan me ndalam atas dugaan potensi kerugian negara yang hampir mencapai Rp 2 triliun tersebut. Menurutnya, perusahaan BUMN harus memiliki peran strategis dalam ekosistem asuransi nasional dan tentu harus mengedepankan prinsip Good Corporate Governance (GCG). “Sebagai perusahaan BUMN yang memiliki peran strategis dalam ekosistem asuransi nasional, PT Askrindo seharusnya mengedepankan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG), transparansi, serta mitigasi risiko yang ketat dalam setiap kerja sama bisnisnya,” kata Amin kepada Law-Justice, Kamis (08/05/2025).

Amin menegaskan bahwa keputusan kerja sama antara PT Askrindo dan PT Reliance harus dipastikan telah melalui kajian risiko yang matang dan sesuai dengan regulasi yang berlaku. Oleh karena itu, ia meminta Kementerian BUMN dan pihak berwenang untuk melakukan investigasi menyeluruh terhadap aspek pengambilan keputusan di PT Askrindo. “Jika ditemukan adanya unsur pelanggaran hukum, baik dari sisi administratif maupun tindak pidana korupsi, kami mendesak aparat penegak hukum untuk segera mengambil langkah tegas demi melindungi keuangan negara,” tegasnya.

Lebih lanjut, Wakil Ketua Fraksi PKS itu mendesak Kementerian BUMN untuk memperketat pengawasan internal terhadap semua perusahaan pelat merah, khususnya di sektor jasa keuangan, agar mekanisme bisnis yang dijalankan tidak merugikan negara maupun masyarakat. “Harus ada evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan bisnis BUMN di sektor asuransi untuk memastikan keberlanjutan dan integritas industri asuransi nasional,” tambahnya.

Anggota Komisi VI DPR RI Amin Ak. (Ghivary LnJ)

Ia juga mendorong Kementerian BUMN untuk serius menjalankan Undang-Undang BUMN yang baru saja diamandemen, yakni UU No. 1 Tahun 2025, di mana pada Pasal 1A diatur mengenai penyelenggaraan BUMN berdasarkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. “Kami akan terus mengawal perkembangan kasus ini demi memastikan transparansi dan akuntabilitas, serta mencegah potensi kerugian yang lebih besar bagi negara,” ujarnya.

Politisi PKS tersebut menyoroti bila Askrindo ini titik lemahnya berada di sistem manajemennya, sehingga ini perlu didalami lebih jauh. Menurutnya, sebelum permasalahan Askrindo melebar lebih jauh memang perlu dilakukan perbaikan secara utuh terkait dengan sistem manajemen di dalamnya.

Kelemahan tersebut dapat menunjukkan dimana titik persoalan yang terjadi pada Askrindo. "Misal, apakah di dalam ini ada perangkapan jabatan, terus liat juga pembayaran preminya atau apanya gitu kan perlu diselidiki juga. Sehingga ini yang harus didalami dan harus segera diperbaiki," ungkapnya.

Amin menyatakan karena permasalahan di Askrindo ini sudah cukup menjadi perhatian publik dan juga di media, Komisi VI DPR RI mempertimbangkan akan segera memanggil Askrindo dalam waktu dekat.

Meski belum ditentukan kapan akan dilakukan pemanggilan pada Askrindo, namun permasalahan ini tentu sangat urgen untuk segera dibahas. "Saya masih optimis ya nanti pimpinan Komisi VI akan segera mengagendakan ini.  Cuman kapannya nih yang saya perlu dikomunikasikan ke teman-teman," imbuhnya.

Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi Partai Demokrat Sartono Hutomo juga menyatakan bila sudah ada temuan BPK dari Askrindo tentu harus segera ditindaklanjuti.  Sartono mengakui bila ia belum terlalu memahami terkait permasalahan yang terjadi di Askrindo namun bila sudah temuan BPK tentu harus segera ditindaklanjuti.

Untuk mencapai Good Corporate Government, Sartono mengatakan bila terjadi suatu praktik dugaan korupsi di BUMN harus diusut tuntas. "Nah itu kalau ada temuan ya perlu harus di tindak tegas begitu dan bahkan harus kita ingatkan bahwa harus stop dan stop untuk praktek-praktek yang merugikan bangsa dan negara ya rakyat Indonesia ini," kata Sartono kepada Law-Justice, Kamis (08/05/2025).

Kedepan, Sartono juga menyatakan untuk memperbaiki tata kelola BUMN terutama perusahaan asuransi perlu adanya restrukturisasi dari BUMN. Seperti misalnya, aspek kepatutan tertentu ya kita bicara kembali lagi tentang transparansi juga tidak adanya lagi praktek-praktek yang koruptif di perusahaan BUMN. "Ya untuk menjadi ya asuransi yang sehat, harus sehat dulu itu begitu dan harus dijauhkan dari praktik koruptif," ujarnya.

Politisi Senior Partai Demokrat tersebut menyatakan senada dengan visi Presiden Prabowo untuk memerangi tindakan koruptif semua BUMN harus memegang konsep GCG. "Karena kalau itu masih menjadi anggaplah praktek-praktek itu masih terjadi ya kita tidak akan mengharapkan ada kemajuan bangsa ini. Jangan ada lagi praktik praktik koruptif terutama di BUMN," tutupnya.

Ternyata praktik Good Corporate Governance masih menjadi pekerjaan rumah bagi manajemen BUMN. Hal mendasar dalam pengelolaan perusahaan ini tampaknya belum menjadi prioritas. Bahkan, mungkin masih dianggap sebagai penghalang bagai operasi hanky pangky di lingkungan BUMN. Akibat dari kendornya pengelolaan perusahaan yang baik ini, BUMN tekor triliunan rupiah.

DAlam kasus Askrindo, kerjasama dengan Reliance yang berpotensi bikin rugi hingga Rp 1,98 triliun ini bukanlah parameter lemahnya GCG untukl pertama kali. Bahkan dekade lalu, kerjasma serupa berakhir di bui. Pun kini, dugaan adanya kesengajaan dan mens rea untuk menggangsir duit rakyat yang dikelola oleh Askrindo ini harus menjadi perhatian penegak hukum. Askrindo pun tampaknya langganan berurusan dengan kasus korupsi. Seperti juga adanya kasus dugaan korupsi yang melibatkan Askrindo yang kini tengah menjalani sidang di PN Tipikor Jakarta Pusat.

Di tengah situasi eonomi yang sulit dan rumit ini, BUMN mestinya menjadi salah satu pilaryang mendorong pemajuan ekonomi nasional. Bahkan, Presiden Prabowo Subianto pun telah meluncurkan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara yang bertigas mengkonsolidasi seluruh BUMN. Tentunya dengan harapan, dengan dikelola secara terpusat dan profesional bakal mendatang cuan lebih banyak dan efisien. Sehingga, perlambatan ekonomi dan defisit neraca berjalan dalat ditambal oleh kinerja BUMN.

Apa lacur, kalau ternyata BUMN terutama dalam hal ini Askrindo justru terperosok dalam potensi kerugian hingga triliunan rupiah akibat lemahnya pengelolaan perusahaan yang baik (GCG). Tentunya ini akan menjadi duri dalam daging bagi tim ekonomi Presiden. Presiden semestinya segara memerintahkan Jaksa Agung untuk langusng terjun menangani delik korupsi yang mungkin saja terjadi di balik potensi rugi besar ini.

Rohman Wibowo

Ghivary Apriman