Jakarta, law-justice.co - Roy Suryo, bersama Rismon Sianipar, Rizal Fadillah, dan dokter Tifa dilaporkan ke polisi. Pemuda Patriot Nusantara (PPN) yang melaporkan beralasan tudingan Roy cs tentang ijazah Jokowi palsu bentuk dari penghasutan. Roy dan kawan-kawan juga dinilai telah menimbulkan kegaduhan.
Pelaporan ini bagai episode terbaru dari sinetron politik Indonesia yang tak pernah kehabisan drama. Tepatnya Drakor. Tapi bukan drama korea, melainkan drama kotor.
Ada pola lama yang kembali terulang: penguasa (atau bekas penguasa) yang seolah tak pernah mau kotor tangan. Ditambah para pemuja fanatik yang siap jadi tumbal keagungan sang sesembahan.
Kok Bukan Jokowi yang Melapor?
Pertanyaan pertama yang menggelitik: kenapa laporan polisi ini datang dari PPN dan Relawan Jokowi. Bukan dari Jokowi sendiri?
Jika tuduhan ijazah palsu ini benar-benar fitnah yang mencoreng nama baik, bukankah seharusnya Jokow yang lapor? Kan dia yang mwrasa dirugikan. Ini bukan soal keberanian semata, tapi soal integritas.
Seorang pemimpin, atau mantan pemimpin, yang percaya diri dengan keabsahan rekam jejaknya, seharusnya tak ragu menghadapi tuduhan secara langsung. Tapi, apa yang kita lihat? Jokowi memilih diam. Laporan polisi dilayangkan oleh pihak lain.
Apa artinya ini? Bisa jadi, Jokowi memang tak ingin terlibat langsung. Dia tahu isu ini seperti ladang ranjau: terlalu riskan baginya.
Melapor ke polisi membawa konsekuensi dia datang dengan ijazahnya. Ini bukan perkara ijazahnya asli atau palsu. Tapi, apa benar dia punya ijazah? Inilah ranjau yang angat berbahaya baginya.
Sepertinya, ini adalah pola klasik penguasa yang suka memainkan proxy war. Biarkan pendukung atau relawan yang jadi tameng. Sementara dia tetap bersih di belakang layar.
Kalau begini, sulit untuk tidak menyebutnya sebagai sikap pengecut. Seorang pemimpin sejati tak seharusnya bersembunyi di balik punggung relawan atau ormas, yang tiba-tiba merasa “terpanggil” untuk membela.
Sangat kuat diduga, para pelapor ini tak bergerak murni karena nurani. Dalam politik Indonesia, aksi “heroik” semacam ini seringkali berbau pesanan. Imbalannya? Bisa berupa guyuran rupiah, jabatan, proyek, atau sekadar akses ke lingkaran kekuasaan.
Ini bukan tuduhan kosong. Pola seperti ini sudah jadi rahasia umum. Lihat saja betapa banyak relawan atau ormas yang tiba-tiba muncul bak pahlawan kesiangan. Kemudian lenyap begitu sorotan media mereda.
Ini bukan soal loyalitas. Ini soal transaksi. Dan di balik transaksi, selalu ada penjilat yang siap mengangguk dan menggonggong demi sejumput keuntungan.
Pasal Penghasutan: Tepat atau Sekadar Alat Intimidasi?
Laporan polisi itu mengacu pada Pasal 160 KUHP. Isinya tentang penghasutan. Ancaman hukumannya maksimal enam tahun penjara. Pasalnya berbunyi:
“Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, menentang penguasa dengan kekerasan atau menolak melakukan sesuatu yang diperintahkan oleh undang-undang, dihukum dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Sekilas, terdengar serius. Tapi, coba kita pikir: apakah tuduhan bahwa ijazah Jokowi palsu benar-benar memenuhi unsur “penghasutan”? Roy Suryo dan kawan-kawan memang keras dalam kritik mereka. Tapi menyebutnya sebagai penghasutan yang membahayakan masyarakat, terasa seperti memaksakan sepatu ukuran 45 ke kaki ukuran 40.
Penghasutan seharusnya melibatkan ajakan konkret untuk melakukan tindakan kriminal atau kekerasan. Menggerakkan massa untuk menyerang atau memberontak, misalnya.
Apa yang dilakukan Roy Suryo cs, mungkin lebih bisa disebut provokasi verbal. Tapi tudingan itu pun sangat kontroversial. Pasalnya ia masih dalam ranah kebebasan berpendapat.
Lebih jauh, penggunaan pasal ini terasa janggal. Jokowi sudah bukan presiden. Bukan penguasa!
Pasal 160 sering dipakai untuk melindungi penguasa yang sedang berkuasa dari ancaman destabilisasi. Tapi, Jokowi kini hanyalah warga biasa (meski dengan pengaruh yang masih luar biasa). Mengapa tuduhan terhadapnya harus dilindungi dengan pasal yang seolah menyamakan dia dengan institusi negara?
Ini menimbulkan kecurigaan, bahwa pasal tersebut sengaja dipilih bukan karena ketepatannya. Ia dipilih karena fleksibilitasnya sebagai alat intimidasi. Pasal karet seperti ini sudah lama jadi senjata favorit untuk membungkam kritik, terutama ketika penguasa (atau bekas penguasa) merasa tersudut.
Drakor alias Drama Kotor Ijazah dan Politisasi Hukum
Isu ijazah Jokowi sendiri bukan hal baru. Sejak dia naik ke panggung nasional, tuduhan ini sudah mondar-mandir di media sosial dan diskusi politik.
Roy Suryo, dengan latar belakangnya sebagai pakar telematika memang punya kebiasaan melempar “bom provokasi. Tapi, respons terhadap tuduhannya kali ini menunjukkan betapa rapuhnya ekosistem politik kita. Semestinya Jokowi menjawab dengan bukti terbuka. Misalnya, dia menunjukkan ijazah asli di depan publik, dengan disaksikan pihak independen.
Tapi, selama ini yang kita dapatkan cuma obral testimoni. Dari, katanya, kawan angkatannya, guru SMAnya, bahkan dari Rektor UGM dan Dekan Fakultas Kehutanan. Semuanya hanya verbal, sama sekali tak didukung dokumen otentik. Belakangan malah plus bonus laporan polisi dan narasi “fitnah” yang dibesar-besarkan.
Ini bukan soal apakah ijazah Jokowi asli atau palsu, meski itu penting untuk diklarifikasi. Ini soal bagaimana hukum dijadikan alat untuk mengalihkan perhatian dan menekan kritik.
Ketika relawan dan ormas tiba-tiba jadi garda terdepan, sementara Jokowi diam seribu bahasa, kita melihat pola lama. Penguasa yang tak pernah benar-benar turun tangan. Penguasa selalu punya pasukan bayaran untuk menyelesaikan urusan kotor.
Tak Punya Harga Diri dan Pemecah Belah
Jokowi bukan cuma pengecut. Dia juga tak punya harga diri. Menyuruh orang lain untuk urusan pribadinya, jelas menunjukkan betapa tidak ada harga dirinya.
Bukankah sebelumnya dia sesumbar bakal membawa fitnah ijazah palsunya ke ranah hukum? Dia bahkan sudah menunjuk tim pengacara untuk keperluan ini. Kenapa sekarang malah memerintahkan pihak lain? Dia meminjam tangan ormas untuk membungkam para pengkritiknya.
Jokowi juga memecah belah anak bangsa. Dia tidak melaporkannya sendiri. Persis ketika dia menghadapi serangan Gus Nur dan Bambang Tri lewat buku Jokowi Undercover.
Memecah belah anak bangsa sudah jadi hobi Jokowi sejak lama. Masih ingat cebong kampret? Mereka juga menstigma para pengkritiknya dari kalangan Islam dengan sebutan kadrun.
Hukum untuk Siapa?
Kasus ini, seperti banyak kasus sebelumnya, adalah cerminan dari penyakit kronis politik Indonesia. Hukum yang lentur di tangan mereka yang punya kuasa.
Pasal 160 KUHP, dengan ancamannya yang berat, seharusnya digunakan untuk melindungi kepentingan publik. Bukan untuk membela ego pribadi, apalagi ego seorang mantan presiden.
Jika Jokowi ingin membuktikan bahwa dia tak pengecut, langkahnya sederhana: hadapi tuduhan ini secara terbuka, tanpa perantara, tanpa drama relawan. Dan, tanpa pasal karet.
Sampai itu terjadi, kita hanya bisa menyaksikan sandiwara berlanjut. Para penjilat sibuk mengibarkan bendera loyalitas. Hukum yang terus jadi alat mainan.
Roy Suryo dan kawan-kawan mungkin saja salah. Tapi tapi setidaknya mereka berani bicara. Sementara itu, di sisi lain, kita hanya melihat bayang-bayang kekuasaan yang masih ingin dilindungi, meski tak lagi resmi berkuasa.
Halo Presiden Prabowo, apa kabar?