Agung Marsudi,

Soal `Geng Solo` dan Siapa Bagong?

Jakarta, law-justice.co - Pagi ini matahari jumawa dengan sinarnya yang keemasan. Malam tadi bulan yang berkuasa.

Agaknya, negeri ini gak butuh amat presiden yang katanya, heroik, yang ksatria, yang patriotik jika menghadapi tembok “Geng Solo” tak tembus.

Baca juga : Saat Ojek Online Terancam Punah, Tanggungjawab Pemerintah Apa?

Saya asli Solo, tidak palsu. Sekolah dan menghabiskan masa muda di Solo. Lalu menjadi Pujakesuma, Putra Jawa Kerja di Sumatera. Kini pulang ke Solo.

Bahkan ketika ada “kerumunan” di depan rumah Jokowi, 16 April 2025, saya ada di situ. Di tengah-tengah orang-orang yang memakai kaos hitam bertuliskan, “Taat Intruksi” bergambar Jokowi.

Baca juga : Skandal Judi Online; Mengapa Jaksa Tak Usut Menteri Budi Arie?

Saya mendengar teriakan, “Solo mbledhos, Indonesia mbledhos”. Rupanya anggota Geng Solo tidak hanya “jenderal-jenderal” tapi juga wong cilik, ada “Alap-Alap Jokowi”. Belum lagi bolo pendhem, “Samber Nyowo”.

Dalam konteks kepemimpinan nasional, tentu tidak ada istilah “Matahari Kembar”. Sebab fakta obyektifnya, matahari memang hanya berkuasa siang hari.

Baca juga : WakiI Ketua MPR: Kita Patut Belajar Nuklir Ke Rusia

Malam hari yang berkuasa bulan. Ada Indonesia terang, ada Indonesia gelap. Taktik memimpin yang cerdas. Sangat cerdas. Ada perang kota, ada perang desa atau gerilya.

Pernyataan sikap para purnawirawan prajurit TNI yang nasionalis, yang menginginkan negara dan bangsa ini kembali ke UUD 1945 asli, bukan yang palsu, menemukan jawabannya.

Geng Solo, beda dengan Geng Sumber. Pulang ke Solo, beda dengan “kembali ke Solo”. Jika “Alap-Alap” dan “Gagak” bergerak, berteriak, tidak ada yang bisa menghentikan, kecuali Bagong.

Bagong yang piawai menerjemahkan bahasa, “Habis Gelap Terbitlah Terang” dalam bahasa politik Jawa. “Ngono yo ngono, ning ojo ngono”.