[INTRO]
Pada bulan November tahun 2024 yang lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara resmi memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Keputusan ini diambil setelah Komisi XI DPR mengirimkan surat resmi pada 18 November 2024, meminta agar RUU tersebut dimasukkan sebagai prioritas di tahun 2025.
Sebelumnya, RUU Tax Amnesty tidak termasuk dalam daftar usulan prioritas utama. Namun, melalui rapat internal yang mendadak, Komisi XI DPR memutuskan untuk mengusulkan RUU ini sebagai prioritas, menggantikan RUU tentang Pengelolaan Kekayaan Negara yang Dipisahkan dari dalam daftar Prolegnas Prioritas 2025. Keputusan ini diambil karena setiap komisi hanya diberi jatah satu usulan RUU untuk dimasukkan ke Prolegnas Prioritas 2025.
Sampai dengan pertengahan bulan Maret tahun 2025 ini, Komisi XI DPR RI memang belum berencana membahas revisi Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak meskipun, rencana revisi UU No. 11 Tahun 2016 itu telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2025."Belum, belum," kata Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun saat ditanya wartawan di kawasan Gedung DPR, Jakarta, Selasa (11/3/2025).
Meskipun belum akan dibahas dalam waktu segera, tetapi munculnya RUU tentang Tax Amnety secara tiba tiba dalam deretan Prolegnas tahun 2025 tak pelak memunculkan sejumlah tanda tanya. Apalagi Tax Amnesty yang akan dilakukan kali ini adalah untuk yang ketiga kalinya setelah dua kali dinilai gagal mencapai targetnya pada era presiden sebelumnya.
Apa sebenarnyat tujuan dimunculkannya kembali RUU Tax Amnesty untuk yang ketiga kalinya ?. Seperti apa pula gambaran substansi yang akan dibahas dalam RUU Tax Amnesty jilid III nantinya ?, Benarkah diajukannya kembali RUU Tax Amnesty Jilid III ini telah memunculkan deretan kontroversi khususnya bakal menguntungkan pengemplang pajak yang selama ini memanfaatkan celah hukum pajak Indonesia ?. Bagaimana sebaiknya Pemerintah Prabowo menyikapi dimunculkannya kembali RUU Tax Amensty untuk ketiga kalinya ?
Analisis Hukum
RUU Tax Amnesty Jilid III Tahun 2025 dirancang sebagai salah satu strategi kebijakan fiskal yang komprehensif dan progresif, guna memperkuat fondasi sistem perpajakan nasional. Dalam konteks pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, RUU ini mengemban sejumlah tujuan strategis yang tidak hanya bersifat jangka pendek, tetapi juga menciptakan dampak jangka panjang bagi kemajuan bangsa.
Tujuan utama dari RUU ini adalah memperluas basis pajak dengan meningkatkan jumlah wajib pajak yang patuh dan transparan dalam melaporkan seluruh kekayaannya. Melalui program ini, pemerintah memberikan kesempatan kepada seluruh lapisan masyarakat, terutama mereka yang sebelumnya belum sepenuhnya taat, untuk melakukan deklarasi aset secara jujur tanpa tekanan atau rasa takut. Langkah ini diharapkan mampu mendorong perubahan paradigma dari kepatuhan berbasis paksaan menjadi kepatuhan berbasis kesadaran dan tanggung jawab sosial.
Selain memperluas basis pajak, RUU ini juga bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela (voluntary compliance). Pemerintah menyadari bahwa sistem perpajakan yang efektif bukan hanya mengandalkan penegakan hukum, tetapi juga perlu mendorong partisipasi aktif masyarakat. Melalui kebijakan ini, wajib pajak diberikan ruang untuk memperbaiki laporan pajak masa lalu mereka tanpa khawatir akan sanksi pidana maupun administratif. Dengan demikian, terbentuklah iklim perpajakan yang lebih adil, inklusif, dan bersifat rekonsiliatif antara negara dan masyarakat.
Selanjutnya, RUU ini juga diharapkan mampu mengoptimalkan penerimaan negara, khususnya dalam jangka pendek. Dengan terbukanya kesempatan bagi wajib pajak untuk melaporkan dan membayar pajak atas harta yang sebelumnya tidak tercatat, negara memperoleh tambahan sumber pendapatan yang signifikan. Dana ini nantinya dapat dialokasikan untuk membiayai program-program prioritas nasional seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, serta perlindungan sosial bagi masyarakat rentan.
Tujuan strategis lainnya dari RUU ini adalah mendorong repatriasi aset, yaitu mengembalikan dana-dana milik warga negara Indonesia yang selama ini disimpan di luar negeri agar dapat diinvestasikan kembali di dalam negeri. Melalui kebijakan ini, pemerintah memberikan insentif dan kepastian hukum bagi wajib pajak untuk membawa pulang asetnya ke Tanah Air. Aset-aset tersebut kemudian dapat disalurkan ke sektor-sektor produktif, menciptakan lapangan kerja, mendorong pertumbuhan sektor riil, serta memperkuat ketahanan ekonomi nasional.
Secara keseluruhan, RUU Tax Amnesty Jilid Tiga Tahun 2025 tidak hanya dimaksudkan sebagai sarana peningkatan penerimaan negara, tetapi lebih jauh lagi sebagai instrumen reformasi perpajakan dan pemulihan ekonomi nasional. Dengan menciptakan sistem yang lebih inklusif, adil, dan partisipatif, RUU ini menjadi tonggak penting dalam perjalanan Indonesia menuju sistem perpajakan yang modern, berintegritas, dan berkeadilan sosial.
Saat ini, substansi atau poin-poin yang akan diatur dalam RUU Tax Amnesty Jilid III yang akan dibahas oleh DPR pada tahun 2025 belum ditentukan secara resmi oleh pihak pengusulnya. Untuk diketahui, pengusul RUU Tax Amnesty 2025, jika merujuk pada kabar terbaru, merupakan inisiatif Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, yang menggagas adanya program pengampunan pajak lanjutan setelah program sebelumnya (2016–2017) dan PPS (Program Pengungkapan Sukarela) 2022.
Sejauh ini meskipun RUU tersebut telah dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025, Ketua Komisi XI DPR, Misbakhun, menyatakan bahwa rincian teknis dan substansi dari RUU tersebut masih dalam tahap pembahasan dan belum disusun.
Berdasarkan informasi dari sumber sumber di lingkungan DPR RI yang enggan disebutkan namanya, RUU ini tidak akan jauh berbeda dengan UU yang sudah ada. Dengan begitu, Tax Amnesty Jilid III akan dijalankan dengan ketentuan yang tidak jauh berbeda dengan Tax Amnesty pada tahun 2016 dan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) alias Tax Amnesty Jilid II pada tahun 2022 .
Yang jelas, masuknya RUU Tax Amnesty secara tiba-tiba ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025 menimbulkan sejumlah isu dan permasalahan, baik dari sisi substansi kebijakan, proses legislasi, hingga dampaknya terhadap kepercayaan publik dan sistem perpajakan di Indonesia. Berikut adalah beberapa isu yang dapat diidentifikasi, diantaranya:
Pertama, Proses Legislasi yang Tidak Transparan. Tahun 2025 menjadi saksi dari kembalinya wacana pengampunan pajak melalui RUU Tax Amnesty Jilid III. Namun, alih-alih disusun melalui proses yang partisipatif dan transparan, pengusulan RUU ini justru menimbulkan tanda tanya besar. Tanpa melalui diskusi publik yang memadai, RUU tersebut tiba-tiba masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. Langkah ini memunculkan kekhawatiran dan kecurigaan di tengah masyarakat.
Proses yang seolah-olah diam-diam ini memperlihatkan minimnya pelibatan publik, akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan lain yang seharusnya menjadi bagian penting dalam perumusan kebijakan strategis. Tidak ada kajian terbuka, tidak ada dengar pendapat publik, dan tidak ada transparansi mengenai urgensi serta dampak jangka panjang dari kebijakan tersebut.
Tanpa keterbukaan dan partisipasi publik, proses legislasi RUU ini mencederai prinsip demokrasi dan akuntabilitas. Jika dibiarkan, hal ini tidak hanya melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara, tetapi juga memperkuat dominasi kelompok tertentu atas kebijakan publik.
Kedua,Keadilan dan Kepatuhan Pajak. Pengusulan kembali RUU Tax Amnesty pada tahun 2025 memicu gelombang kontroversi yang cukup tajam di tengah publik dan kalangan pemerhati kebijakan fiskal. Wacana pemberian pengampunan pajak untuk ketiga kalinya sejak program pertama digulirkan pada 2016 dinilai berpotensi merusak tatanan keadilan dan kepatuhan pajak yang selama ini dibangun.
Salah satu sorotan utama datang dari sisi keadilan. Banyak pihak menilai bahwa kebijakan tax amnesty cenderung memberi karpet merah bagi para pengemplang pajak, sementara wajib pajak yang selama ini patuh justru merasa dirugikan. Ketika pelanggaran masa lalu dapat “dimaafkan” hanya dengan membayar tebusan yang relatif ringan, muncul kesan bahwa kejujuran dan kepatuhan tidak lagi dihargai secara proporsional dalam sistem perpajakan nasional.
Kekhawatiran lain yang tak kalah serius adalah dampaknya terhadap tingkat kepercayaan publik terhadap Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Ketika lembaga pengumpul pajak negara terlihat begitu lunak dan kompromistis terhadap para pelanggar, kepercayaan masyarakat terhadap komitmen penegakan hukum pajak dapat terkikis. Apalagi, tidak ada jaminan kuat bahwa mereka yang diberi pengampunan benar-benar akan menjadi wajib pajak patuh di masa depan.
Para pengkritik juga mempertanyakan efektivitas program ini sebagai instrumen jangka panjang. Jika tax amnesty terus diulang, bukan tidak mungkin akan muncul moral hazard, yakni kecenderungan untuk menunda kepatuhan dengan harapan akan ada pengampunan berikutnya. Alih-alih memperkuat kepatuhan sukarela, hal ini justru bisa melemahkan fondasi fiskal negara.
Meski pemerintah berdalih bahwa tax amnesty 2025 bertujuan untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan penerimaan negara di tengah tekanan fiskal, pertanyaan besarnya tetap: Apakah manfaat jangka pendek dari penerimaan tambahan dapat membenarkan potensi kerusakan terhadap prinsip keadilan dan integritas sistem perpajakan kita?. RUU ini kini menjadi sorotan tajam publik, dan ujian nyata bagi komitmen pemerintah dalam mewujudkan sistem perpajakan yang adil, transparan, dan berkelanjutan
Ke tiga, Risiko terhadap Penerimaan Negara.Salah satu titik kontroversi utama adalah risiko terhadap penerimaan negara dalam jangka panjang. Memang, program pengampunan pajak mampu menghadirkan penerimaan instan dalam jangka pendek melalui deklarasi dan repatriasi aset. Namun, para pengkritik mengkhawatirkan bahwa kebijakan ini dapat merusak fondasi kepatuhan pajak secara sistemik.
“Kalau amnesti dilakukan terlalu sering, apa insentif orang untuk patuh sejak awal?” kata seorang ekonom fiskal. Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Program tax amnesty yang diulang-ulang bisa menciptakan moral hazard, di mana wajib pajak justru terdorong untuk menunda atau bahkan menghindari kewajiban pajak, dengan harapan akan ada pengampunan di masa mendatang.
Ketidakpastian ini berpotensi menurunkan kepatuhan sukarela, yang selama ini menjadi pilar utama dalam sistem perpajakan modern. Dampaknya bisa terasa dalam jangka panjang: penerimaan negara menjadi tidak stabil, beban fiskal meningkat, dan ketimpangan antar wajib pajak semakin mencolok karena mereka yang taat justru merasa dirugikan.
RUU ini juga dinilai bisa mengirimkan sinyal yang keliru, seolah-olah ketidakpatuhan bisa dinegosiasikan, dan hukum tidak ditegakkan secara konsisten. Padahal, yang dibutuhkan justru adalah penguatan sistem administrasi pajak, transparansi, dan penegakan hukum yang adil.
Dengan segala dinamika ini, RUU Tax Amnesty 2025 menjadi perdebatan serius di ruang publik. Di satu sisi, ia menjanjikan pemasukan cepat; di sisi lain, ia mengandung risiko laten yang dapat menggerogoti kepatuhan dan kepercayaan terhadap sistem perpajakan nasional.
Ke empat, Potensi Cuci Uang & Masuknya Dana Gelap.Salah satu isu utama yang menjadi sorotan adalah kemungkinan tax amnesty dimanfaatkan sebagai jalan pintas bagi pelaku kejahatan keuangan untuk mencuci uang hasil tindak pidana, seperti korupsi, narkotika, atau perdagangan ilegal. Dengan mendeklarasikan harta dalam program amnesti pajak, pelaku dapat menyamarkan asal-usul dana ilegal tersebut menjadi seolah-olah sah dan bebas dari pengusutan lebih lanjut.
Kritikus mempertanyakan apakah pemerintah memiliki mekanisme yang cukup kuat dan transparan untuk memverifikasi asal-usul harta yang dideklarasikan dalam skema ini. Tanpa sistem due diligence yang ketat, tax amnesty bisa menjadi celah hukum yang justru memperburuk integritas sistem keuangan nasional. Terlebih, pengalaman dari tax amnesty sebelumnya menunjukkan bahwa verifikasi atas sumber kekayaan sangat terbatas, sehingga membuka ruang lebar bagi dana-dana mencurigakan untuk masuk dan disucikan.
Para pakar hukum dan keuangan menilai bahwa jika RUU ini tidak disertai dengan instrumen pengawasan dan pelacakan aset yang memadai seperti keterlibatan aktif Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta kerja sama lintas negara dalam pelacakan asset maka potensi penyalahgunaan sangat besar.
Pemerintah pun dituntut untuk menjawab pertanyaan kunci: apakah ada political will yang nyata untuk tidak hanya mengejar target penerimaan jangka pendek, tetapi juga menjaga integritas sistem perpajakan dan keuangan nasional dari infiltrasi dana hasil kejahatan? Tanpa jawaban yang meyakinkan, RUU Tax Amnesty 2025 berisiko menjadi preseden buruk yang merusak kepercayaan publik dan memperlebar celah impunitas ekonomi.
Ke lima, Pertaruhan terhadap Citra dan Reputasi Fiskal Negara. Meski pemerintah berdalih kebijakan ini diperlukan untuk memperluas basis pajak dan mendorong repatriasi aset, namun banyak pihak menilai langkah ini sebagai bentuk paradoks dalam agenda reformasi perpajakan nasional.
Salah satu kritik utama mengarah pada pertaruhan besar terhadap citra dan reputasi fiskal Indonesia di mata dunia. Di era globalisasi dan transparansi fiskal, pemberian pengampunan pajak secara berulang kali dinilai mencerminkan lemahnya komitmen terhadap penegakan hukum pajak yang konsisten dan berkeadilan. Praktik ini dapat memberi kesan bahwa pelanggaran kewajiban perpajakan tidak membawa konsekuensi serius, justru memberikan insentif kepada mereka yang tidak patuh untuk menunda pelaporan hingga amnesti berikutnya.
Kekhawatiran ini semakin mengemuka mengingat posisi Indonesia sebagai negara yang turut serta dalam inisiatif Automatic Exchange of Information (AEoI), yang mengedepankan prinsip keterbukaan dan saling berbagi data keuangan lintas negara. Dalam konteks itu, pemberlakuan tax amnesty lanjutan justru dapat melemahkan posisi negosiasi Indonesia di forum-forum internasional serta mencederai komitmen terhadap tata kelola fiskal yang transparan dan kredibel.
Lebih jauh, kebijakan ini juga dinilai bertolak belakang dengan upaya reformasi Direktorat Jenderal Pajak yang tengah berbenah melalui digitalisasi, peningkatan integritas aparat, dan optimalisasi pengawasan. Dengan memberikan “karpet merah” kepada pelanggar pajak melalui amnesti, kepercayaan wajib pajak yang patuh pun terancam menurun—menggerus kepatuhan sukarela yang selama ini dibangun dengan susah payah.
Kontroversi ini menunjukkan bahwa RUU Tax Amnesty 2025 bukan hanya soal kalkulasi fiskal jangka pendek, tetapi juga tentang arah moral dan kredibilitas sistem perpajakan nasional di mata dunia. Indonesia kini dihadapkan pada pilihan sulit: mengejar pemasukan instan atau menjaga integritas fiskal jangka panjang.
Ke enam, Kurangnya Evaluasi Tax Amnesty Sebelumnya. Pengusulan kembali Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty tahun 2025 menuai kontroversi di tengah masyarakat dan pengamat kebijakan fiskal Indonesia.
Salah satu sorotan utama adalah belum adanya evaluasi menyeluruh terhadap dua program serupa sebelumnya: Tax Amnesty 2016 dan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) 2022 yang telah dijalankan oleh pemerintah Indonesia. Hingga kini, belum ada kejelasan apakah dana yang berhasil dihimpun benar-benar memberi dampak signifikan terhadap penerimaan negara atau kepatuhan pajak jangka lama secara nyata.
Minimnya transparansi data dan absennya laporan evaluatif resmi memicu keraguan publik atas efektivitas dan tujuan sebenarnya dari RUU ini sebagai kebijakan strategis negara. Tanpa landasan data yang kuat, pengampunan pajak dikhawatirkan hanya menjadi celah bagi wajib pajak besar untuk mengulang praktik ketidakpatuhan, alih-alih mendorong reformasi pajak yang berkelanjutan demi terciptanya keadilan fiskal yang merata. Pemerintah pun didesak untuk membuka hasil evaluasi program sebelumnya sebelum melangkah lebih jauh dalam pembahasan RUU yang menuai pro dan kontra ini di Indonesia.
Kiranya patut dimaklumi bahwa usulan RUU ini muncul di tengah situasi politik yang memanas, di mana kekuatan oligarki semakin mencengkeram ruang kebijakan publik negara kita. RUU ini dinilai sebagai bentuk “karpet merah” bagi para pengemplang pajak, terutama mereka yang memiliki kedekatan dengan pusat kekuasaan negara Indonesia. Mereka dinilai berusaha mencuci kekayaan tanpa menghadapi sanksi hukum secara nyata.
Kecurigaan ini semakin menguat dengan absennya evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan program tax amnesty sebelumnya yang belum menunjukkan dampak positif secara menyeluruh di negara kita tercinta. Program tersebut dinilai belum memberikan efek jera maupun peningkatan signifikan dalam kepatuhan pajak jangka lama sebagai bentuk kepatuhan warga negara.
Beberapa kalangan bahkan menuding bahwa RUU ini sengaja dihidupkan kembali untuk memberikan jalan keluar bagi segelintir elite ekonomi dan politik yang belum sepenuhnya melaporkan kekayaannya pada program sebelumnya secara terbuka dan jujur kepada negara.
Kritik juga datang dari kelompok masyarakat sipil yang menilai bahwa keberadaan RUU ini mencederai rasa keadilan, terutama bagi wajib pajak patuh yang selama ini telah memenuhi kewajibannya sebagai warga negara Indonesia. Alih-alih memperkuat sistem perpajakan nasional, kebijakan ini justru dipandang melemahkan integritas sistem hukum dan memperkuat kesan bahwa hukum bisa dinegosiasikan bagi mereka yang memiliki kekuasaan dan kekayaan semata.
Dengan dinamika politik yang kian kompleks dan hubungan erat antara kekuasaan ekonomi dan politik yang sulit dipisahkan, pengusulan kembali RUU Tax Amnesty 2025 tampaknya tidak hanya akan menjadi perdebatan teknis fiskal semata, tetapi juga pertarungan moral antara kepentingan publik dan privatisasi kebijakan oleh elite negara.
Berdasarkan fenomena yang digambarkan di atas, Pemerintah Presiden Prabowo Subianto sebaiknya mempertimbangkan ulang kebijakan untuk menjalankan kembali tax amnesty jilid III ini dengan kajian lebih mendalam dan penuh kehati-hatian demi menjaga kepercayaan rakyat kepada negara secara menyeluruh dan merata.
Penerapan Tax Amnesty dalam waktu yang sangat singkat sejak Jilid II menimbulkan kecurigaan publik bahwa kebijakan ini lebih bernuansa politik semata dibandingkan kepentingan ekonomi negara secara menyeluruh dan adil untuk semua warga negara.
Fokus pemerintah seharusnya dialihkan pada reformasi perpajakan yang lebih adil dan bermakna. Bukan hanya memberi keuntungan pada mereka yang tidak patuh, tetapi menciptakan sistem yang mendorong kepatuhan secara sukarela dan penuh kesadaran warga negara Indonesia.
Oleh karena itu, jika RUU Tax Amnesty Jilid III nantinya jadi dibahas dan disahkan tanpa kehati-hatian dan landasan hukum yang kokoh, berpotensi menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum perpajakan di Indonesia. Alih-alih memperkuat kepatuhan dan keadilan fiskal, kebijakan ini justru dapat memunculkan kesan bahwa penghindaran kewajiban pajak dapat “dimaafkan” secara berkala demi kepentingan segelintir pihak semata.
Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan, kepastian hukum, dan kesetaraan di hadapan hukum yang menjadi pijakan demokrasi negara kita. Maka, sudah sepatutnya pemerintah dan DPR berpikir ulang: apakah benar “karpet merah” ini solusi fiskal jangka panjang, atau justru jebakan yang menggerus integritas sistem perpajakan kita.