Mayjen TNI (Purn) Dr. Saurip Kadi, mantan Wakil Ketua Tim Penyusun Reformasi Internal ABRI

RUU Polri Sinyal Kebangkitan Orde Baru

law-justice.co - ABRI ditahun 1998 mendahului melaksanakan Reformasi Internal adalah fakta sosial yang tak terbantahkan. Sebelum reformasi sitem kenegaraan dilaksanakan. Dalam prakteknya, karena tingginya dinamika politik yang melingkupi bangsa dan negara saat itu, Panglima ABRI yang saat itu dijabat oleh Jenderal TNI Wiranto sendiri sampai 2 kali membentuk Tim Perumus Konsep Reformasi Internal ABRI. 

Adapun inti dari konsep Reformasi internal ABRI termaksud adalah: Satu. “Hapus Dwifungsi ABRI”, artinya ABRI melepas peran Sospol nya dan karenanya tidak lagi terlibat Politik Praktis, serta menghentikan konsep tugas karya. Dua. TNI dan Polri dipisah, masing-masing kembali kejati-dirinya, dengan tugas pokok TNI dibidang Pertahanan Negara, sementara Polisi diposisikan sebagai bagian dari “Law and Justice System”. Ketiga. Keamanan adalah output dari sistem sipil, karenanya bila timbul masalah keamanan haruslah terlebih dahulu ditangani oleh aparatur sipil dan dengan cara-cara sipil (Keberadaban), baru setelah aparatur sipil termasuk Polri gagal atau secara terukur dipastikan akan gagal dan atau bakal jatuh korban, maka saat itu pula penanganan masalah keamanan beralih menjadi tugas TNI.

Konsep reformasi Internal ABRI tersebut kemudian disosialisasikan kepada semua Anggota TNI dan Polri yang berpangkat Mayor keatas, diseluruh Indonesia. Artinya Perwira TNI dan Polri yang ditahun 1998 telah berpangkat Mayor keatas adalah saksi sejarah tentang kuatnya tekad ABRI untuk mengantar bangsa ini memasuki era demokrasi.

Potensi RUU Polri Bisa Menodai Misi Suci Reformasi Internal ABRI

Kesadaran untuk duluan melakukan reformasi internal ABRI tersebut di atas, sudah barang tentu tidak bisa lepas dari kuatnya tuntutan publik untuk melaksanakan reformasi yang terjadi saat itu. Disisi lain, dilingkungan elit ABRI sendiri saat itu sudah timbul kesadaran pentingnya ABRI duluan melakukan reformasi internal nya, agar bangsa ini tidak kembali berdarah-darah, khususnya dalam kaitan pergantian rezim berkuasa.

Adapun hal yang menunjang tumbuhnya kesadaran tersebut adalah karena jabatan elit ABRI saat itu sebagian besar sudah diduduki perwira yang telah mengenyam pendidikan tinggi diluar ilmu kemiliteran, baik di dalam maupun luar negeri. Karenanya wajar saja, kalau konsep “nation state” dimana negara pada hakikatnya adalah “wadah” dan “alat” bersama dari segenap anak bangsa secara setara, juga sudah mereka pahami.

Ilustrasi: Pasukan Polisi tengah melakukan pengamanan. (netralnews)

Sebagian besar dari mereka juga tahu bahwa dalam negara demokrasi tidak boleh ada “control social” yang di atas namakan untuk kepentingan nasional dan atau keselamatan negara yang bersumber dari hakikat ancaman baik yang datang dari dalam maupun luar negeri, sebagaimana yang lazim diterapkan dalam negara komunis dan atau negara otoriter lainnya. Meraka juga sudah paham bahwa dalam negara demokrasi mutlak diperlukan pemisahan kapan supremasi sipil dan militer diterapkan, karenanya mustahil konsep Dwi Fungsi ABRI bisa diteruskan.

Dan berkat diskusi panjang, dengan menghadirkan nara sumber dari sejumlah Perguruan Tinggi jauh sebelum muncul “people power” yang menghendaki Pak Harto lengser, ABRI melalui sejumlah Kelompok Kerja, juga sudah membahas tentang norma universal dalam negara demokrasi, salah satunya tentang keberadaan Polisi sebagai “Para Legal” dan dengan kedudukan sebagai bagian dari “Law and Justice” dengan status sebagai aparatur sipil.

Memang aneh kalau UU Polri yang dibuatnya kemudian ternyata menempatkan Polri diberi embanan untuk menangani masalah keamanan dalam arti luas, termasuk untuk mengatasi pemberontakan bersenjata. Padahal sewaktu Orde Baru sendiri masalah keamanan yang menjadi porsi Polri tak lebih sebatas KAMTIBMAS, bukan keamanan dalam arti mengkait kedaulatan negara. Dan kini menjadi lebih aneh lagi, karena saat bangsa ini sudah masuk era demokratisasi, kemudian muncul RUU Polri yang akan membuat Polri menjadi lembaga “super body”, sebagaimana yang dulu diperankan ABRI selama era Orde Baru.

Dalam kaitan RUU Polri yang demikian itulah, diperlukan kepedulian elit bangsa terlebih mereka yang kelak akan membahas RUU tersebut untuk mengambil hikmah dari kesalahan masa lalu.

Kepedulian tersebut menjadi mendasar karena sejumlah Pasal RUU Polri termaksud secara nyata “sejiwa” dengan materi ex UU Nomor: 11 Tahun 1963 Tentang Anti Subersif. Hal tersebut bisa ditilik dari rumusan “rule of the law” yang tertuang dalam sejumlah pasal yang secara nyata tergolong kegiatan diluar masalah penegakan hukum, sehingga melampaui ketentuan yang sudah diatur dalam KUHAP dan UU lain, seperti:

(1) Pasal 1. Ayat 7. kandungan makna sudah diluar soal penegakan hukum.

(2) Pasal 16, 16. A dan 16. B., sebagian isinya adalah rumusan baru dari kandungan Pasal 4 dan 6 UU Anti Subersif.

(3) Pasal 6, beberapa materi otomatis bakal tumpang tindih dengan kewenangan Lembaga lain yang lebih dahulu diatur dalam undang-undang.

(4) Dan yang pasti sejumlah materi yang sifat “Rule of engagement“ justru mengarah pada kegiatan intelejen yang menjadi porsi BIN dan juga BAIS TNI.

Bukankah RUU Polri akan lebih baik, kalau dibatasi untuk penambahan dalam Pengaturan Organisasi dan Tatakerja Polri utamanya penambahan umur Angota Polri untuk memasuki masa pensiun, saja.

Berhentilah Menjadikan Rakyat Sebagai Obyek Percobaan Gagasan Elit

Belajar dari kesalahan masa lalu, ke depan tidak sepatutnya elit bangsa ini melanjutkan cara-cara buruk yang ditempuh para pendahulunya, yang berulang kali membuat dan menerapkan aturan main bernegara yang tingkatannya baru sebatas gagasan, tanpa ada pembuktian validitas kebenaran dalam praktek negara lain sekalipun, dan kemudian di stempel dengan sebutan “ala Indonesia” dan atau “model Pancasila”.

Hal tersebut menjadi utama, karena dalam prakteknya yang menanggung biaya politik dari kegagalan sebuah konsep aturan main bernegara yang menanggung adalah rakyat, sama sekali bukan elit atau keluarga dan keturunan mereka.

Fakta sosial yang tergelar membuktikan bahwa kegagalan konsep “Demokrasi Terpimpin”, “Demokrasi Pancasila”, “Ekonomi Pancasila”, dan “Kontrol Sosial” melalui sejumlah perangkat yaitu UU Subersif, peran Sospol ABRI serta keberadaan Kompkamtib yang kesemuanya SAH secara hukum, telah membuat puluhan ribu anggota keluarga dan anak keturunan ex DI/TII, PRRI/Permesta dan juga mereka yang distigma sebagai pemberontak lainnya menderita. Belum lagi puluhan juta anggota keluarga serta anak keluarga ex PKI harus menjadi miskin akibat dimarginalkan oleh negara. Dan masih banyak lagi korbaan lainnya.

Sementara Elit yang merumuskan dan menerapkan konsep tata kelola kekuasaan negara yang gagal tersebut, berserta keluarga dan anak keturunannya boleh saja merasa menderita, tapi mereka tidak sampai hidup dalam kemiskinan.

Oleh karenanya sungguh mulia kalau Elit Bangsa yang akan dilibatkan dalam pembahasan RUU Polri, tidak lagi menggunakan “konsep aturan bernegara” yang baru sebatas gagasan, tanpa pembuktian validtitas kebenarannya baik dalam praktek maupun secara teori. Bukankah dengan mudah kita bisa mengadopsi nilai-nilai universal tentang pengaturan lembaga Kepolisian dalam sistem negara demokrasi yang keberadaannya dibatasi sebagai bagian dari sistem hukum, sebagaimana yang tergelar dibanyak negara.

Dengan demikian 270 juta lebih anak bangsa ini ke depan tidak lagi dijadikan “kelinci percobaan” gagasan elit dalam hal ini tentang konsep pengaturan Polri.