BI : Rupiah Lebih Dipengaruhi Tekanan dari Eksternal

Jakarta, law-justice.co - Bank Indonesia mengerek bunga acuan ke 6,25%  belum lama ini. Hanya saja, kebijakan itu dinilai belum manjur menahan pelemahan rupiah.

Ssebab rupiah masih berada di atas Rp 16.000, jauh melampaui asumsi makro pemerintah di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia (APBN) 2024 yang berada di level Rp 15.000 per dolar AS.

Baca juga : Rupiah Melemah Karena RI Tekor, Dolar Tembus Rp15.970 Hari Ini

Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky mengatakan, dalam menjaga stabilitas rupiah agak sulit dilakukan karena tekanannya berasal dari sisi eksternal. 

Artinya, sentimen global investor terhadap emerging market di tengah ketidakpastian Bank Sentral AS/The Federal Reserve (The Fed) memicu arus modal keluar dari berbagai negara berkembang termasuk Indonesia.

Baca juga : Ekonomi Kuartal II Dibayangi Pelemahan Konsumsi Masyarakat,

"Inilah yang membuat nilai tukar negara berkembang, termasuk Indonesia juga relatif volatile beberapa waktu belakangan," kata Riefky kepada Kontan, Rabu (8/5).

Ia menilai, kondisi tersebut sulit dikontrol oleh Bank Sentral di masing-masing negara, karena ada tekanan kuat dari investor global yang dipicu kondisi di negara maju.

Baca juga : Cadangan Devisa Loyo, Rupiah Butuh Suntikan

"Jadi memang tidak terlalu banyak yang bisa dilakukan. Artinya, BI sudah menaikkan suku bunga dan instrumen lain tapi juga belum stabil. Ini tidak hanya dihadapi oleh Indonesia. Seluruh negara berkembang menghadapi kondisi yang sama," ucapnya.

Riefky menerangkan, saat ini yang bisa BI lakukan ialah melakukan intervensi dan meyakinkan investor bahwa BI akan melakukan upaya terbaiknya dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, meski tekanan eksternal masih besar.

"Dampaknya pun relatif akan terbatas, karena tadi disebabkan bukan dari kondisi domestik melainkan kondisi global yang tidak bisa kita kontrol. Nah, untuk keseimbangan sekarang rupiah relatif di kisaran Rp 16.000 sampai Rp 16.200," jelasnya dilansir Kontan.

Disisi lain, perekonomian Indonesia pada 2023 yang diukur berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp 20.892,4 triliun pun tak bisa menjadi tolak ukur nilai tukar rupiah.

"Terkait dengan PDB ini tidak ada terlalu korelasi. Misal, Jepang dengan PDB yang jauh di atas kita, Yen sendiri terus mengalami pelemahan. Jadi ini menunjukkan bahwa kondisi PDB itu sama sekali tidak berhubungan dalam konteks volatilitas saat ini dengan nilai tukar," terangnya.

Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan perkiraan nilai tukar rupiah tidak semata-mata hanya dilihat dari nilai PDB yang besar tetapi juga melihat struktur perekonomian. Ia menilai kondisi struktur perekonomian Indonesia saat ini masih relatif fragile.

"Artinya beberapa kondisi perekonomian global tentu akan berdampak terhadap kondisi kita dan kondisi ini yang kemudian bisa berdampak terhadap depresiasi atau rupiah," ujar Rendy kepada Kontan, Rabu (8/5).

Rendy berpendapat, untuk mendorong stabilitas nilai tukar rupiah sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh BI tetapi juga oleh otoritas lain di pemerintahan. 

Pasalnya, selain faktor global, sering kali nilai tukar rupiah terjerembap karena faktor domestik, misalnya pada kondisi neraca dagang ataupun neraca transaksi berjalan.

"Kita tahu bahwa kedua kondisi tersebut memang tidak bisa sepenuhnya menjadi tanggung jawab BI tetapi juga otoritas lain seperti pemerintah, misalnya dalam mendorong sterilisasi produk ekspor yang punya nilai tambah tinggi," jelasnya.

"Ataupun mendorong realisasi investasi non portofolio yang punya porsi lebih besar dalam neraca jasa keuangan kita," tambahnya.

Disisi lain, Rendy mengemukakan bahwa strategi atau kebijakan jangka menengah hingga panjang yang dijalankan oleh BI sudah berada di jalur yang tepat.

Contohnya pada kebijakan melakukan intervensi di pasar keuangan dengan beberapa instrumen dan kebijakan dalam mendorong masuknya devisa hasil ekspor.

"Namun demikian tentu kebijakan ini perlu dievaluasi secara berkelanjutan terutama jika ditemukan permasalahan," tuturnya.

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyampaikan untuk menuju kembali ke Rp 15.000 per dolar AS sesuai asumsi makro memang masih berat, mengingat aspek ketidakpastian geopolitik masih tinggi.

"Di sisi lain tren bunga acuan The Fed juga sepertinya akan tidak segera diturunkan. Namun demikian, rupiah masih mungkin menguat ke bawah 16.000 seiring kenaikan bunga acuan ke 6,25%," kata Eko kepada Kontan, Kamis (9/5).

Menurutnya, untuk menstabilkan rupiah diperlukan kebijakan fiskal, selain kebijakan moneter. Untuk itu, pemerintah perlu memastikan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang sedang dikejar untuk diselesaikan sesuai target, dan lebih dominan menggunakan segala sumber daya domestik mulai dari bahan baku, teknologi, tenaga kerja dan lainnya.

"Tidak asal cepat selesai namun juga perlu melihat impact bagi permintaan domestik. Hal ini karena jika bertumpu impor maka kecepatan penyelesaian PSN akan berbanding lurus dengan kenaikan permintaan dolar AS di pasar," sebutnya.***