Anthony Budiawan, Managing Director PEPS

Ekonomi RI di Zona Bahaya, BI Jadi Mesin Baru Cetak Utang Luar Negeri

Jakarta, law-justice.co - Kondisi ekonomi Indonesia semakin lemah dan memprihatinkan. Pembangunan ekonomi mengalami disorientasi, tanpa arah, sporadis, mengutamakan kepentingan elit politik dan pengusaha beserta kroni.

Pembangunan ekonomi dibuat musiman, memberi insentif untuk sektor yang dianggap lagi ‘in’. Seperti hilirisasi nikel atau insentif kendaraan listrik meskipun tidak diproduksi di dalam negeri. Pembangunan ekonomi mengandalkan sektor komoditas sumber daya mineral dan perkebunan.

Baca juga : Ekonomi Kuartal II Dibayangi Pelemahan Konsumsi Masyarakat,

Indonesia menikmati kenaikan harga komoditas selama pandemi covid-19 sampai 2022. Hal ini merupakan berkah atas kekayaan alam Indonesia. Tetapi, malangnya, berkah kenaikan harga komoditas di tengah musibah covid-19 ini hanya dinikmati oleh segelintir elit politik dan pengusaha saja.

Mayoritas rakyat Indonesia malah menderita. Harga bbm naik pada awal September 2022. Tingkat kemiskinan naik dari 9,22 persen pada 2019 menjadi 9,57 persen pada 2022.

Baca juga : Cadangan Devisa Loyo, Rupiah Butuh Suntikan

Di lain sisi, pendapatan negara naik pesat. Pendapatan negara pada 2022 naik 34 persen dibandingkan sebelum pandemi 2019, yaitu dari Rp1.961 triliun (2019) menjadi Rp2.626 triliun (2022).

Bahkan pendapatan negara 2022 naik 60,8 persen dibandingkan pendapatan negara tahun 2020 yang hanya Rp1.634 triliun. Ironinya, tingkat kemiskinan naik.

Baca juga : Gubernur BI Pertimbangkan Suku Bunga Dalam Waktu Dekat

Seiring dengan anjloknya harga komoditas, ekonomi Indonesia mengalami tekanan, khususnya terkait transaksi keuangan internasioal, dan investasi asing. Investor asing ‘dumping’ Surat Berharga Negara (SBN).

Hanya dalam 3 bulan terhitung Juli-Oktober 2023, investor asing menjual SBN, mencapai 8,05 miliar dolar AS, atau sekitar 4,2 persen dari total utang luar negeri pemerintah. Sangat signifikan.

Dampaknya sangat serius, kurs rupiah anjlok dari sekitar Rp15.000 pada akhir Juli 2023 menjadi Rp15.935 per dolar AS pada akhir Oktober 2023.

Pemerintah panik. Bank Indonesia juga panik. Melahirkan kebijakan blunder. Bank Indonesia menjadi, atau dijadikan, mesin baru pencetak utang luar negeri.

Artinya, Bank Indonesia telah menyimpang dari tugas pokok dan fungsi bank sentral. Sangat bahaya.

Sejak 15 September 2023, Bank Indonesia menerbitkan instrumen utang baru berjangka pendek, antara satu bulan sampai satu tahun.

Namanya Sertifikat Rupiah Bank Indonesia, atau SRBI, dengan underlying asset, artinya dijamin, SBN yang dimiliki Bank Indonesia. Tidak masuk akal.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20230828115939-4-466670/srbi-terbit-15-september-2023-lelang-2-kali-seminggu

https://bisnis.tempo.co/read/1770175/instrumen-srbi-terbit-15-september-2023-bi-pastikan-nilai-tukar-rupiah-bakal-terjaga

Selain SRBI, Bank Indonesia juga menerbitkan instrumen utang baru dalam denominasi valuta asing, yaitu Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI).

Pada intinya, semunya sama. Bank Indonesia berupaya menarik utang luar negeri melalui instrumen surat utang SRBI, SVBI dan SUVBI.

https://www.cnbcindonesia.com/market/20231120192328-17-490558/bi-rilis-aturan-svbi-suvbi-jurus-baru-amankan-rupiah

https://www.liputan6.com/bisnis/read/5448021/bank-indonesia-penerbitan-svbi-dan-suvbi-untuk-jaga-stabilitas-rupiah?

Bank Indonesia selanjutnya mengaku, penerbitan SRBI untuk pendalaman pasar uang, sebagai instrumen operasi moneter kontraksi. Karena, penerbitan SRBI, SUVI, SUVBI di pasar perdana akan mengurangi jumlah uang beredar di masyarakat: kontraksi.

Alasan Bank Indonesia tidak masuk akal. Cenderung membodohi publik. Karena untuk kebijakan moneter kontraksi, Bank Indonesia tidak perlu menerbitkan SRBI atau sertifikat utang lainnya.

Karena Bank Indonesia bisa langsung menjual Surat Berharga Negara (obligasi pemerintah) yang dimilikinya di pasar sekunder untuk mengurangi jumlah uang beredar di masyarakat.

Kebijakan moneter ‘normal’ seperti ini yang dilakukan oleh Bank Sentral di dunia. Untuk stimulus ekonomi, Bank Sentral Eropa (ECB) menawarkan membeli obligasi pemerintah, dinamakan bond (atau asset) purchase program, untuk meningkatkan jumlah likuiditas atau uang beredar di masyarakat.

Di sejumlah negara lain kebijakan moneter seperti ini dinamakan Quantitative Easing, seperti yang dilakukan oleh the FED, Bank of England, Bank of Japan.

Kemudian, bank sentral dapat memberlakukan reverse monetary policy, kebijakan moneter kontraksi dengan menjual obligasi pemerintah yang dimilikinya.

Bukan malah menerbitkan obligasi Bank Indonesia seperti SRBI atau sejenisnya dalam valuta asing (Sertifikat Valas Bank Indonesia, SVBI, Sukuk Valas Bank Indonesia, SUVBI).

Oleh karena itu, alasan penerbitan SRBI, SUVI, atau SUVBI untuk kebijakan moneter kontraksi cenderung membodohi publik.

Selain itu, tujuan utama reverse monetary policy, menjual obligasi pemerintah yang dimiliki bank sentral, adalah untuk mengendalikan inflasi, bukan untuk menambah utang luar negeri dan meningkatkan cadangan devisa, seperti disampaikan Bank Indonesia:

“Penerbitan SRBI merupakan salah satu upaya bank sentral untuk memperkuat pendalaman pasar keuangan di Indonesia dan menarik aliran modal asing di pasar keuangan domestik.”

“Karena market kita masih perlu support terutama dalam konteks supply valas.”

Memilukan. Memprihatinkan. Bank Indonesia menjadi mesin baru pencetak utang luar negeri, untuk supply valas (valuta asing) cadangan devisa.

Cadangan devisa pada triwulan IV 2023 memang naik cukup pesat, naik 8,6 miliar dolar AS. Tetapi, kenaikan cadangan devisa tersebut ternyata berasal dari utang pemerintah dan Bank Indonesia, yang naik 12,34 miliar dolar AS.

Utang pemerintah naik 8,35 miliar. Sedangkan utang Bank Indonesia naik 3,99 miliar dolar AS, atau naik 46 persen dari akhir tahun 2022.

Namun demikian, kurs rupiah ternyata hanya menguat sedikit, dari Rp15.935 menjadi Rp15.395 per dolar AS pada akhir tahun 2023.

Terlepas dari upaya Bank Indonesia untuk menjadi mesin baru pencetak utang luar negeri, cadangan devisa pada triwulan I 2024 bahkan merosot 6 miliar dolar AS, dari 146,4 miliar dolar AS pada Desember 2023 menjadi 140,4 miliar dolar AS pada akhir Maret 2023.

Di lain sisi, utang luar negeri Bank Indonesia meningkat tajam, membengkak 1,58 miliar dolar AS selama dua bulan pertama, Januari dan Februari, 2024, menjadi 15,02 miliar dolar AS pada akhir Februari 2024, atau melonjak 62 persen dibandingkan dengan sebelum penerbitan SRBI, SUVI dan SUVBI pada Agustus 2023, dan masih akan terus melonjak lagi pada bulan-bulan selanjutnya.

Kurs rupiah juga masih terus merosot, menjadi Rp15.710 per dolar AS pada akhir Februari 2024, dan Rp15.880 per dolar AS pada akhir Maret 2024. Artinya, kebijakan Bank Indonesia menerbitkan surat utang untuk stabilisasi kurs rupiah gagal total.

Kurs rupiah tetap melemah. Meskipun sudah diintervensi dengan menggunakan utang luar negeri. Bahkan setelah suku bunga acuan juga naik 0,25 persen. Miris sekali. Utang luar negeri Bank Indonesia digunakan untuk intervensi.

Kebijakan Bank Indonesia menerbitkan surat utang (SRBI, SUVI, SUVBI) untuk memperkuat kurs rupiah sangat tidak lazim. Dan pasti gagal. Karena masalah utamanya bukan kemampuan menarik utang luar negeri. Tetapi struktur dan fundamental ekonomi Indonesia sangat lemah, dan terus melemah.

Penerbitan SRBI akan menjadi kebijakan moneter yang sangat mahal, tetapi mubazir. Karena suku bunga SRBI harus lebih tinggi dari suku bunga SBN (untuk jangka waktu yang sama). Kalau tidak, investor asing tidak akan tertarik membeli SRBI.

Lalu, apa yang terjadi? Investor asing akan menjual SBN dan membeli SRBI, menikmati selisih suku bunga yang lebih tinggi.

Dengan demikian, Bank Indonesia sudah membawa ekonomi Indonesia masuk zona bahaya, menjadikan Bank Indonesia sebagai mesin baru pencetak utang luar negeri, menyimpang dari tugas pokok dan fungsi bank sentral.