Nawaitu Redaksi

Menelisik Agenda Apa Dibalik Gugatan PDIP ke PTUN Soal Hasil Pilpres

Jakarta, law-justice.co - Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyatakan secara resmi bahwa pemenang pilpres 2024 adalah pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Keputusan KPU sudah dikuatkan juga oleh Mahkamah Konstitusi (MK) lewat pengumuman Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 yang menolak gugatan pasangan nomor urut 01 dan 03. Bahkan kedua  kubu yang permohonannya ditolak oleh MK telah memberi ucapan selamat kepada Paslon 02.

Dengan adanya fenomena tersebut, sudah seharusnya persoalan yang terkait dengan pilpres 2024 dan hasilnya dianggap selesai karena pihak pihak yang terkait sudah bisa menerima kekalahannya. Tetapi ternyata Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) masih menaruh asa untuk adanya perubahan hasil pilpres 2024 dengan mengajukan gugatan ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara)

Baca juga : Hendropriyono Sebut Demokrasi Pancasila Tidak Mengenal Oposisi

Mengapa PDIP ngotot mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait dengan dugaan pelanggaran hukum oleh KPU ?. Apa efek yang akan terjadi jika gugatan tersebut dikabulkan oleh PTUN ?. Adakah agenda terselubung yang di usung oleh PDIP dengan mengajukan gugatan ke PTUN ?

Mengapa Ngotot Menggugat ?

Baca juga : Golkar Sebut Punya Sosok Peredam Anies dan Ahok

Hingga saat ini sepertinya PDIP  belum kehabisan harapan untuk adanya perubahan hasil Pilpres 2024. Dalam kaitan ini PDIP mengungkapkan alasan mengotot menggugat KPU ke PTUN padahal MK  sudah mengeluarkan putusan soal sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres 2024).

Alasan tersebut seperti dikemukakan oleh Ketua Tim Hukum PDIP Gayus Lumbuun dalam rilis yang disampaikan ke media. "Ada dua hal (yang membuat PDIP mengotot)," kata Ketua Tim Hukum PDIP Gayus Lumbuun di lokasi, Kamis, 2 Mei 2024.

Baca juga : Tak Lagi 17 Tahun, Ini Syarat Umur Minimal Membuat SIM Baru 2024

Gayus mengatakan alasan pertama, yakni ingin menelusuri proses dan rangkaian Pemilu 2024. Sedangkan alasan kedua adalah hendak mencari tahu aneka kesalahan dan pelanggaran dalam pesta demokrasi yang baru saja usai dilaksanakan di Indonesia.

Menurut mereka, pelanggaran hukum oleh KPU diantaranya terjadi ketika menetapkan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Permohonan mereka agar putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu tak dilantik sebagai wakil presiden terpilih."Kami minta agar PTUN mengadili apakah betul KPU telah melanggar hukum sebagai aparatur negara di bidang pemilu ini," ujar Ketua Tim Hukum PDIP, Gayus Lumbuun di PTUN Jakarta, Kamis (2/5/2024).

Gayus meyakini bahwa  proses hukum soal pemilihan umum (pemilu) tidak berhenti di MK saja. Sehingga PDIP menggugat KPU ke PTUN meski sudah ada putusan MK.PDIP sebagai partai pengusung utama Ganjar-Mahfud menganggap hakim MK tidak membuka ruang terhadap kaidah dan moral -etika. Untuk itu, PDIP menempuh jalur lain yaitu menggunakan ruang hukum melalui PTUN sebagai alternatifnya.

Langkah PDIP yang mengajukan gugatan ke PTUN bisa dimaknai sebagai wujud kekecewaannya pada keputusan hakim MK. Seperti diketahui,dalam gugatannya ke MK, kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar menilai Gibran tak memenuhi syarat administrasi, sebab KPU RI memproses pencalonan Gibran menggunakan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023. Dalam PKPU itu, syarat usia minimum masih menggunakan aturan lama sebelum putusan MK, yakni 40 tahun.

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga telah menyatakan seluruh komisioner KPU RI melanggar etika dan menyebabkan ketidakpastian hukum terkait peristiwa pencalonan paslon 02. Namun, MK menilai, KPU telah berinisiatif untuk memberi tahu adanya perubahan syarat usia capres-cawapres berdasarkan Putusan MK, melalui Surat Nomor 1145/PL.01-SD/05/2023 kepada Pimpinan Partai Politik Peserta Pemilu 2024.

KPU juga dinilai telah memberi tahu bahwa mereka tidak bisa segera mengubah Peraturan KPU terkait syarat usia capres-cawapres, karena untuk melakukan itu mereka harus berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah sedangkan DPR masih dalam masa reses saat itu. MK menilai, KPU terikat dengan jadwal dan tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden meskipun wajib menerapkan putusan MK yang berpengaruh terhadap norma pencalonan itu sendiri.

Hakim MK Arief Hidayat menilai tidak ada bukti yang meyakinkan telah terjadi intervensi Presiden dalam perubahan syarat Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024. Karena itu, pencalonan Gibran menurut MK bukanlah sebuah nepotisme seperti dituduhkan oleh 01 dan 03.

Keputusan MK itulah kiranya yang telah membuat PDIP kecewa lalu mengajukan gugatan alternative ke PTUN. Karena memang secara logika adanya fakta pelanggaran etik yang dilakukan oleh KPU Hasyim Asy`ari dan anggota KPU lainnya dalam  proses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden yang telah dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), mestinya dijadikan pertimbangan oleh hakim MK untuk mendiskualifikasi pencalonan Gibran Rakabuming Raka.

Karena dengan keputusan MK yang menyatakan pencalonan Gibran tidak bermasalah seolah olah hal ini sama saja dengan membenarkan pelanggaran etik yang telah dilakukan oleh Ketua KPU dan jajarannya dalam proses pencalonan Gibran Rakabuming Raka.

Selain itu, KPU yang dinilai  oleh MK telah memberi tahu bahwa mereka tidak bisa segera mengubah Peraturan KPU terkait syarat usia capres-cawapres, karena untuk melakukan itu mereka harus berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah sedangkan DPR masih dalam masa reses kiranya tidak tepat juga. Karena putusan DKPP yang meminta kepada KPU agar segera merevisi Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 (selaku aturan teknis pilpres),akibat dampak putusan MK , tidak dilakukannya.

KPU baru mengajukan konsultasi kepada DPR pada 23 Oktober 2023, atau 7 hari setelah putusan MK.  Alasan dari KPU yang menyatakan baru mengirimkan surat pada 23 Oktober 2023, karena DPR tengah dalam masa reses sebenarnya terbantahkan karena dalam masa reses dapat dilakukan rapat dengar pendapat, sebagaimana diatur dalam Pasal 254 Ayat 4 dan Ayat 7 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.  

Selain itu tindakan para komisioner KPU yang terlebih dulu menyurati pimpinan partai politik, sebagai tindakan yang "tidak tepat" dan "menyimpang dari Peraturan KPU". Saat itu mestinya KPU responsif terhadap kebutuhan pengaturan tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden 2024 pasca-putusan Mahkamah Konstitusi a quo karena telah terjadi perubahan terhadap syarat capres-cawapres untuk tahun 2024 tetapi hal itu tidak dilakukan dan terkesan sengaja mengulur ulur waktu untuk kepentingan tertentu.

Kejanggalan lain terkait dengan pernyataan dari Hakim MK Arief Hidayat yang menilai pencalonan Gibran menurut MK bukanlah sebuah nepotisme.  Pada hal majunya Gibran Rakabuming Raka dalam kandidasi kepemimpinan nasional sebagai Calon Wakil Presiden dalam Pemilu 2024, sangat kental dengan praktik mengistimewakan anaknya.

Bagaimanapun sebagai anak Presiden yang masih menjabat, pencalonan Gibran pasti didasarkan pada preferensi pribadi atas ikatan darah dan hubungan kekeluargaan keluarga besar Joko Widodo. Akibatnya persaingan dalam kontestasi politik Pemilu Pilpres tahun 2024 hanyalah suguhan drama yang sudah didesain oleh sejumlah elite untuk mengamankan jaringan politik dan bisnis mereka.

Dengan gambaran sebagaimana dikemukakan diatas,kiranya wajar kalau PDIP berusaha mencari jalan lain dalam menemukan kebenaran dan keadilan karena dirasakan MK sudah tidak lagi kondusif untuk dijadikan sandaran bagi insan pencari keadilan karena sebagian hakim hakimnya dinilai sudah tercemar dengan indikasi sebagian mereka kabarnya tersandera kasus hukum sehingga tak lagi merdeka dalam memutus perkara yang ditangananinya.

Lagi pula sasaran pokok dari gugatan PDIP sebenarnya memang bukan keputusan MK melainkan KPU sebagai penyelenggara pemilu yang dinilai melanggar hukum dalam menunaikan peran dan fungsinya. Itulah sebabnya dalam petitumnya, PDIP menggugat penyelenggara pemilihan presiden (Pilpres) 2024 itu yang diduga melanggar hukum khususnya pelanggaran  hukum oleh KPU yang telah menetapkan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto.

PDIP rupanya penasasan dan ingin mengetahui  dalil dalil yang akan diputus oleh PTUN : apakah ada pelanggaran hukum oleh KPU terhadap penetapan cawapres Gibran Rakabuming Raka atau sebaliknya. Siapa tahu PTUN akan memutus perkaranya yang diajukan kepadanya lebih masuk logika ketimbang apa yang telah di putuskan di MK.

Efek Yang Akan Terjadi

Gugatan PDIP yang mempersoalkan KPU karena telah menerima pencalonan Gibran sebagai wakil presiden padahal belum melakukan perubahan peraturan KPU dinilainya cacat hukum dan karenanya Gibran harus didiskualifikasi pencalonannya. Dengan adanya gugatan ini  PDIP berharap akan membongkar pelanggaran hukum yang diduga dilakukan oleh penguasa.

Tetapi alih alih mendapatkan dukungan, langkah PDIP yang menggugat ke PTUN ini justru panen kritik dan sanggahan khusunya dari KPU sendiri maupun lawan lawan politiknya. Komisioner KPU Idham Holik menegaskan KPU berkeyakinan tidak ada lagi lembaga peradilan yang bisa membatalkan penetapan Prabowo - Gibran Rakabuming Raka.

KPU menilai keputusan MK adalah final dan mengikat menurut norma hukum yang berlaku. Atas dasar itu,  proses penetapan hasil pilpres sesuai Keputusan KPU Nomor 360 tahun 2024 tetap dijalankan sesuai tahapan pemilu yang telah disepakati bersama.

Sementara itu Ketua Umum DPN Peradi, sekaligus tim hukum Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, Otto Hasibuan menyebut upaya itu tidak ada manfaatnya. Dia menerangkan dengan adanya gugatan ke PTUN tak hanya mengganggu putusan MK, namun juga proses ketatanegaraan karena jadwal ketatanegaraan sudah diitetapkan sesuai rencana

"Sudah ada jadwal pelantikan untuk presiden, pada Oktober Pak Jokowi sudah step down, bahkan berhenti jadi presiden. Dan tidak boleh sedetikpun ada kekosongan pemerintahan. Jadi ketika dia turun, Prabowo harus masuk," ujar Otto Hasibuan kepada wartawan sesuai halal bihalal di Peradi Tower, Kamis (2/5/2024).

Pendapat senada dikemukakan oleh Ketua Umum Lingkar Nusantara (Lisan), Hendarsam Marantoko yang menilai gugatan tersebut salah sasaran jika dipaksakan untuk diteruskan persidangannya."PDIP kembali `salah kamar` dengan mengajukan gugatan PMH terkait penetapan hasil rekapitulasi no 360 ke PTUN karena objek tersebut adalah ranah dari MK untuk mengadilinya.

Dari sini terlihat adanya dualisme, inkonsistensi dan overlap upaya hukum PDIP dengan mengajukan Permohonan PHPU ke MK dan gugatan PMH ke PTUN dengan objek dan waktu yang sama terhadap Keputusan KPU no 360/2024 tersebut," kata Hendarsam dalam keterangan pers, Rabu, 24 April 2024.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Denny Indrayana menyoroti langkah PDIP tidak lagi relevan lantaran sudah ada keputusan MK. Denny mengatakan putusan MK yang telah menolak seluruh gugatan pasangan Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo - Mahfud MD memberi kekuatan hukum pada putusan KPU untuk menetapkan siapa pemenang pilpresnya.  

Menurut Denny sesuai dengan norma hukum seharusnya tidak bisa membatalkan hasil Pilpres yang telah ditetapkan oleh MK. “Gugatan demikian hanya menghadirkan gerakan moral, bukan legal,” kata Denny lewat pesan singkat, Rabu (24/4) seperti dikutip media.

Meskipun gugatan PDIP banyak mendapatkan kritik, tapi PTUN telah menyatakan bahwa gugatan yang diajukan oleh PDIP layak untuk diadili, menunjukkan bahwa argumen hukum yang diajukan oleh PDIP dianggap memiliki substansi yang cukup untuk diselesaikan dalam sidang pokok perkara.

Persoalan mengenai keputusan PTUN nantinya tidak akan bisa menganulir keputusan MK sebenarnya sudah disadari oleh PDIP selaku penggugatnya. Seperti yang disampaikan lewat tim hukumnya Gayus Lumbun, kubunya sadar bahwa PTUN tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan keputusan MK yang telah menetapkan paslon 02 untuk dilantik, dan putusan PTUN tidak mungkin membatalkan keputusan MK. Tetapi dengan telah diterimanya gugatan PDIP oleh PTUN, ada optimisme kasusnya akan disidangkan sesuai pokok perkara yang digugatnya.

Dalam proses persidangan, jika nantinya ditemukan fakta bahwa KPU telah terbukti dalam melaksanakan tugasnya telah melanggar hukum maka bisa saja mempengaruhi legitimasi kemenangan paslon 02 dengan konsekuensi terganggunya proses pelantikannya.

Dalam sidang di PTUN Cakung, Jakarta Timur pada Kamis, 2 Mei 2024, Gayus menyampaikan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat  (MPR) memiliki kewenangan untuk menilai apakah suatu produk hukum bisa dilaksanakan atau tidak. "Mungkin MPR bisa tidak mau melantik," ujar Gayus, menjelaskan bahwa MPR dapat mempertimbangkan putusan PTUN dalam menilai pelantikan Prabowo-Gibran Rakabuming Raka.

Harapan Gayus Lumbun agar proses persidangan di PTUN bisa mengungkap fakta fakta adanya pelanggaran hukum oleh KPU, kiranya sah sah saja. Tetapi dengan kondisi penegakan hukum saat ini yang cenderung berpihak pada kepentingan penguasa rasanya akan sulit menemukan kebenaran dan keadilan di PTUN seperti halnya di MK.

Kalaupun kemudian keputusan PTUN sesuai harapan penggugatnya, rasanya juga tidak akan berimbas pada penilaian MPR untuk status hasil pilpres yang telah ditetapkan oleh MK. Apalagi konstelasi MPR saat ini yang anggotanya lebih banyak merapat ke penguasa sehingga terlalu “mewah” rasanya kalau mengharapkan kontribusi dari mereka. Sehingga mengharapkan MPR bisa membatalkan pencalonan Gibran nampak mustahil rasanya.

Kini, sementara sidang di PTUN terus bergulir, publik menanti dengan penasaran hasil dari sidang tersebut dan bagaimana potensi pengaruhnya terhadap proses politik lebih lanjut, terutama terkait pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih yaitu pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Agenda Terselubung

Meskipun putusan MK tidak akan bisa diubah oleh PTUN sebab keputusan MK bersifat final dan mengikat sehingga tidak ada lembaga peradilan lain yang bisa menganulirnya, namun upaya PDIP untuk mengajukan gugatan ke PTUN patut diapresiasi sebagai bagian dari  upaya untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan setelah kelembagaan negara lainnya seperti MK sudah tidak bisa lagi dipercaya

Gugatan yang dilayangkan oleh PDIP bisa menjadi pembelajaran dalam proses hukum dan tata negara. Yaitu sebagai upaya PDIP untuk membuka apa yang terjadi sebenarnya di dalam KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang tidak netral karena diduga menjadi kepanjangan tangan dari penguasa.

Sehingga langkah PDIP yang menggugat ke PTUN tersebut dinilai tidak lagi relevan lantaran sudah ada keputusan MK tetapi paling tidak gugatan itu akan melahirkan gerakan moral untuk menyadarkan kepedulian anak anak bangsa betapa penyelenggara pemilu yang tidak netral akan membawa dampak buruk lahirnya calon calon pemimpin bangsa

Sebenarnya akan lebih bagus lagi kalau PDIP selain berjuang dengan melayangkan gugatan lewat PTUN, secara parallel juga menjadi pioner untuk bergulirnya hak angket pemilu yang belakangan sudah mulai tidak kedengaran lagi kabar beritanya.

Soal langkah politik ini sebelumnya sempat disinggung pula oleh hakim MK. Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih saat membacakan pertimbangan putusan MK mengatakan MK menyoroti sikap partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat yang tidak banyak berkomentar soal pilpres. MK menilai partai bisa melakukan langkah politik di DPR lantaran sebagian anggota fraksi DPR adalah perpanjangan tangan partai politik yang mendukung gugatan pemohon. "Jadi, mestinya mengajukan keberatan sejak awal," ujar Enny seperti dikutip media.

Tetapi nyatanya langkah politik di DPR dengan misalnya mengajukan hak angket kecurangan pemilu, tidak juga bisa diwujudkan sesuai harapan publik pada umumnya. Mengapa hak angket yang diharapkan bisa membongkar dugaan pemilu curang itu tidak segera di inisiasi oleh PDIP sebagai partai yang paling banyak punya suara ?. Mengapa pula gugatan lewat PTUN yang lebih getol digaungkan pada hal jelas jelas keputusan PTUN nantinya tidak akan bisa membatalkan keputusan MK ?. Apa kira kira agenda terselubungnya ?