Liputan Investigasi dari Morowali (2)

Demam Nikel Tak Terkendali, Rusak Sendi Ekonomi Sosial

Morowali, law-justice.co - Hadirnya tambang nikel dan pusat pengolahannya di satu merupakan berkah bagi Morowali, Sulawei Tengah. Namun, laju industrialisasi yang tidak diimbangi dengan penegakkan hukum dan regulasi yang berpihak kepada rakyat, ternyata membawa persoalan. Kawasan Industri yang dibangun di kawasan ini membuka lapangan kerja yang luar biasa besar, sayangnya tidak untuk waga lokal.

Penduduk Morowali juga harus bersaing dengan  porsi 15 Persen tenaga kerja asal  China dan warga pendatang lain. Kesenjangan penghasilan dan Inflasi yang begitu tinggi membuat warga Morowali justru tak berhasil mensejahterakan keluarganya dengan menjadi pekerja tambang. Di sisi lain, perempuan terdesak dan terdiskriminasi oleh konstruksi sosial dan maskulinitas industry tambang.

Baca juga : Anak Buah Surya Paloh Sambangi Prabowo Malam-malam, Bahas Apa?

Perempuan terpaksa menghadapi beban ganda akibat beratnya roda kehidupan berjalan. Perempuan yang menggunakan hak reproduksinya menghadapi kesakitan berlipat akibat perusahaan tambang enggan menerapkan regulasi tetang pekerja perempuan dengan benar.

Seperti kisah Yuti (30) pekerja perempuan dari salah satu smelter nikel. Janda dengan dua putera berusia 7 dan 6 tahun nekat melamar menjadi pekerja tambang di pusat industri nikel di Bahodopi, Morowali. Perempuan asal Bungku Kota ini memutuskan untuk pindah ke Bahodopi meninggalkan kedua anaknya kepada orang tuanya yang sudah sakit-sakitan. Yuti bertekat untuk sukses meraup gaji besar untuk mencukupi kehidupan keluarganya.

Baca juga : Arsenal Kian Mantap di Puncak Klasemen usai Pecundangi Chelsea 5-0

Akses transportasi dan jarak yang jauh membuat Yuti memilih nge-kos di area dekat pabrik tempatnya bekerja, menurutnya lebih baik mengirit hidup ketimbang habis gajinya untuk bolak balik Bungku Kota-Bahodopi. Tapi Yuti tetap resah, sebab biaya hidup di Bahodopi begitu tinggi.  Agar diketahui, UMR di Morowali sebesar Rp UMR 3,647,000 sedangkan Yuti mengaku dirinya mendapatkan gaji Rp5 Juta per bulan. “Gaji dengan biaya hidup masih kejar-kejaran, kadang saya masih hutang pinjam untuk mencukupi kehidupan keluarga,” ujarnya saat Law-Justice menyambangi kediamannya di Desa Keurea Kecamatan Bahodopi, Rabu (15/3/2023).

Yuti bercerita awal masuk perusahaan tambang tahun 2017, dia diminta mengerjakan semua pekerjaan juga mengalami mutasi berkali-kali. ”Kadang di control room, kerja lapangan, mengecat gedung, atau pekerjaan apapun sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Namun, sekarang saya spesifik di control room,” ungkapnya.

Baca juga : Kemendag Akan Bayar Utang Rafaksi Minyak Goreng Rp474 M ke Peritel

Kuota untuk pekerja perempuan masih minim. Yuti mengungkap di perusahaan tempatnya berkerja porsi perempuan cuma seperempat dari total pekerja. ”Perempuan di tempat kerja saya sedikit, untuk lokal pekerja sini hanya diberi urusan teknis dan hanya menurut perintah dari atasan berwarga negara China, kami berkomunikasi menggunakaan translator,” ungkapnya.

Pekerja di kawasan industri IMIP Morowali, Sulawesi Tengah. (Liputan 6)

Perempuan, kata Yuti dianggap sama dengan pekerja laki-laki, tidak ada ruang aman bagi perempuan di perusahaannya hal ini membuat perempuan rentan menjadi korban pelecehan seksual. ”Ruang ganti pakaian tidak ada kami harus kamar mandi untuk berganti pakaian kerja, kamar mandi juga jauh, tidak ada ruang aman untuk perempuan, padahal itu hak perempuan, perusahaan juga tidak menyediakan ruangan khusus untuk perempuan,” ungkap dia.

Pelecehan seksual juga kerap terjadi pada mobil pengangkut pekerja menuju tambang. Sebab bus mengangkut masih mencampurkan pekerja laki-laki dan perempuan. “Ini yang paling sering terjadi setiap hari, pekerja perempuan sering mendapatkan pelecehan seksual dari sesama pekerja, untuk itu sebisa mungkin saya melindungi bagian vital tubuh saya dengan tas atau mencari tempat dekat dengan supir agar mengantisipasi dilecehkan oleh sesama pekerja,” ujarnya.

Hak reproduksi seperti cuti haid, cuti hamil, dan melahirkan juga menjadi hal mewah bagi perempuan pekerja tambang. Padahal UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 81 ayat 1 berbunyi: "Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid”.

Yuti mengungkap, banyak pekerja perempuan tak memahami hak reproduksi sebab tidak pernah ada informasi dan tidak tertuang dalam kontrak kerja, ironisnya cuti haid, melahirkan hingga menyusui dianggap sakit, pekerja perempuan justru mendapatkan sanksi pemotongan gaji.” Kebanyakan cuti setelah melahirkan dipakai tapi terkadang belum 40 hari usai melahirkan sudah ada yang diminta bekerja dan hal ini dianggap biasa oleh perempuan disini, meskipun perusahaan memperbolehkan perpanjangan masa cuti, hal ini karena kami takut gaji kami dipotong, sebab tidak ada tunjangan khusus untuk melahirkan, biaya melahirkan juga menjadi pertimbangan untuk kami tidak menggunakan hak cuti kami,” ucap Yuti.

Yuti bercerita saat dirinya melahirkan anak keduanya, dirinya harus menahan kesakitan payudaranya bengkak selama 2 pekan karena dirinya memutuskan berhenti memberikan ASI kepada buah hati dan menggantinya dengan susu formula karena ASI nya mongering akibat tidak diberikan kepada bayinya.”Saya kembali bekerja setelah sebulan melahirkan, saya memutuskan untuk tidak lagi menyusui bayi saya karena saya harus bekerja, payudara saya sempat bengkak selama 2 pekan, setelah itu ASI saya kering, saya gantikan dengan susu formula, ini karena perusahaan tidak menyediakan ruang laktasi atau sekedar ruang untuk memerah ASI, kami anggap jika anak diberi ASI akan bergantung dan tidak bisa ditinggal, agar anak terbiasa diasuh oleh neneknya,” katanya.

“Perempuan di tempat saya bekerja juga tidak lagi punya keinginan untuk menyusui bayi apalagi memberikan ASI ekslusif, kawan saya sesama perempuan di perusahaan juga bekerja seperti biasa meskipun mereka masih menahan sakit setelah melahirkan,” lanjutnya.

Yuti menganggap, kesempatan untuk bekerja di perusahaan tambang merupakan hal yang sulit didapat, meninggalkan buah hati, keluarganya bahkan harus menghadapi prahara rumah tangga dalam hidupnya menjadi cobaan yang menjadi keniscayaan atas pilihannya menjadi pekerja tambang. ”Kesempatan menjadi pekerja di industri tambang langka, terutama bagi perempuan disini. Lapangan pekerjaan yang menjanjikan bagi kami hanya bekerja di industri tambang,” ucapnya.

Meski begitu, jauh di lubuk hati Yuti terdalam, dirinya ingin bisa bekerja dengan nyaman dan bisa mengasuh anak-anaknya dengan baik agar sang buah hati tidak kekurangan kasih sayang orang tua. ”Saat ini hanya bisa bertemu anak-anak saya sebulan sekali, tapi sebenarnya ada keinginan ingin mengasuh mereka sambil bekerja dengan nyaman seperti hal nya hidup perempuan di kota-kota besar yang bisa berkarir sekaligus bisa mengurus rumah tangga. Di sini buat kami masih seperti mimpi, kasihan pekerja di sini tidak bisa mendapingi anak tumbuh besar. Kadang saya juga sedih jika memikirkan hal ini, saya takut anak-anak saya tidak menyayangi saya,“ bebernya.

Yuti juga ingin pekerja tambang perempuan tidak disamakan dengan laki-laki, perempuan di tempatnya bekerja kerap mengalami kelelahan akut, dirinya mengaku kerap begadang 7 hari untuk berjaga malam  (shift C jam 12 pulang jam 8 pagi, red), sementara dalam kontrak pekerja tidak ada dicantumkan adanya jaga malam. Yuti bahkan mengaku hanya libur sekali dalam sepekan.

Menurut Yuti, pekerja perempuan sering diberi jam malam, bahkan tidak tidur selama tujuh hari. Kami berharap tidak diberi shift malam, perusahaan harusnya memberikan shift malam untuk laki-laki saja, karena hal ini menyakiti fisik dan mental kami. “Badan saya sering ngedrop usai mendapatkan sift malam, saya merasakan lelah akut,” ungkap dia.

Yuti berharap suaranya didengar agar menjadi pertimbangan bagi perusahaan untuk memperlakukan perempuan secara manusiawi. ”Kami berharap perusahaan tidak memotong gaji jika kami minta cuti haid, melahirkan dan menyusui. Kami mencari nafkah untuk keluarga kami juga punya hak untuk sehat, kami masuk perusahaan dalam keadaan sehat, jikapun keluar harus dalam keadaan sehat juga,” cetusnya.

Pelecehan Seksual Hingga Pelacuran

Ketua Serikat Pekerja Morowali Katsain mengungkap perempuan masih tidak dianggap sebagai penggerak ekonomi strategis, perempuan di industri tambang masih dianggap pelengkap saja. “Kenyataannya disini perusahaan tidak menjaga dari unsur pelecehan seksual, harusnya disediakan sekat antara perempuan dan laki-laki, bus pengangkut pekerja menuju lokasi tambang yang kami temukan kerap terjadi Tindakan pelecehan seksual,” ditemui Law-Justice, Selasa (14/3/2023).

”Kami mendorong terus agar perusahaan melindungi hak perempuan. Dari segi fasilitas, untuk mencegah tindakan pelecehan seksual dengan memberi ruang aman bagi perempuan di sektor tambang, perusahaan harusnya bertanggung jawab akan hal itu,” tandasnya.

Katsain juga mendorong agar hak reproduksi atau hak maternitas perempuan di sektor tambang dipenuhi oleh perusahaan. ”Cuti haid, melahirkan hingga menyusui tidak ada, artinya perusahaan tidak peduli pada hak dasar perempuan pekerja tambang, ini sangat tidak manusiawi!” tukas dia.

Katsain mengungkap, pekerja perempuan di Morowali belum memahami hak yang harusnya mereka terima, mereka masih menganggap bekerja di tambang merupakan pekerjaan yang prestige dan sulit didapat. Meskipun, dia juga mendapatkan laporan bahwa ada pekerja perempuan yang bahkan disuruh untuk mencuci mobil hingga mendorong gerobak berisi lumpur.

”Perempuan lebih cenderung menurut sehingga mereka kerap diberikan perusahaan yang bukan tanggung jawabnya. Perempuan disuruh mengerjakan apa saja, mereka tidak bekerja sesuai job desk. Ini dianggap biasa oleh perusahaan China di sini, ini bagian dari pembodohan terhadap pekerja perempuan, bahwa keadilan itu tidak menyamaratakan, ” katanya.

Kami berharap pekerja perempuan di Morowali kritis dan memahami hak nya sebagai perempuan.” Perampuan disini belum memiliki kesadaran berserikat dan menuntut keadilan, mereka terbiasa menurut dan patuh saja, perempuan harus mengedukasi dirinya agar tidak dipandang rendah, perusahaan juga harus menghilangkan bias gender yang menyamaratakan perempuan dan laki-laki,” tandasnya.

Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja (Apjaker) Morowali Iswanto mengungkap, perusahaan tambang tidak memprioritaskan perempuan dan tidak memberikan kerja strategis bagi perempuan.” Kami tidak pernah melihat perusahaan tambang memberi posisi strategis bagi perempuan disini,” ujarnya.

Jikapun ada, kata Iswanto, itu untuk bagian administrasi, bagian umum atau control room.”Perempuan sepertinya tidak terlalu dibutuhkan oleh perusahaan disini, sebab spesifikasi pendidikan perempuan disini masih relatif rendah, jika pun ada yang lulusan sarjana mereka tetap diposisikan sama dengan yang lulusan setara SMA, hanya mungkin yang lulusan sarjana akan ditempatkan sesuai posisi di kontrak,” ungkapnya.

Iswanto mengaku sangat terbuka, jika perusahaan tambang membuka kesempatan besar kepada pekerja perempuan.” Masalahnya mereka sangat selektif memilih pekerja perempuan, bahkan mereka tertutup sekali, karena pekerja perempuan di posisi yang strategis kebanyakan diisi oleh pendatang atau TK china,” cetus dia.

“Lowongan kerja bagi perempuan memang terbatas, lowongan pekerjaan untuk perempuan agak susah,” lanjutnya.

Melesatnya aktivitas daerah dan arus migrasi yang angat tinggi, membawa satu keniscayaan di lingkungan kawasan industri, pelacuran. Bisnis esek-esek di Morowali merupakan salah satu keniscayaan marak akibat banyaknya ledakan migrasi.  Law-Justice menelusuri aktivitas esek-esek di Keurea, Kecamatan Bahodopi.

Di sebuah penginapan terbuka tanpa pagar ataupun satpam, penginapan ini persis di pinggir jalan Bahodopi. Law-Justice menemukan aktivitas pekerja seks komersial (PSK) yang di-booking oleh 2 pekerja China. Dua PSK terlihat asyik keluar masuk kamar dengan gamblang. Pukul 9.30 WITA PSK dan pekerja China tersebut sudah berisik di pelataran penginapan.

Penjaga penginapan yang tidak ingin disebutkan namanya mengaku, biasanya pekerja China melakukan booking 1 hari hanya saja mereka kerap sudah meninggalkan hotel setelah beberapa jam. ”Biasanya mereka bayar sewa kamar sehari, tapi paling dipakai 2 jam, habis itu mereka check-out dan meninggalkan sampah, salah satunya alat kontrasepsi,” ujanya kepada Law-Justice.

Anehnya, aktivitas esek-esek tersebut seolah bukanlah hal yang tabu. Penjaga penginapan juga mengaku sudah biasa melihat aktivitas tersebut. “Sudah biasa, kita nggak bisa ganggu, teguran juga belum pernah ada, petugas satpol PP misalnya, tidak pernah ada menggerebek pasangan mesum atau PSK,” tutur dia.

Lantas bagaimana sebenarnya sikap masyarakat terhadap aktivitas esek-esek ini? Indira, seorang warga Bahodopi, mengaku geram melihat aktivitas esek-esek menjadi hal biasa. ”Ini Budaya yang tidak benar, bertentangan dengan norma agama, seharusnya ada upaya dari pemerintah untuk mencegah hal buruk ini,” ujarnya.

Sebagai pengusaha kafe, Indira mengaku tinggal di Bahodopi merupakan tantangan yang besar. Di daerah Industri tambang, banyak pekerja asing, mereka butuh hiburan, potensi bisnis makanan hingga hiburan juga berpotensi maju di sini. Demikian juga bisnis esek-esek. Indira menilai, bisnis pelacuran ini sulit sekali ditertibkan atau mungkin ada pembiaran dari pemerintah Morowali? “Nggak tau lah!” ujar dia.

Indira menganggap, masyarakt sebenarnya mengalami gagap budaya atas perubahan dari desa yang hampir mati menjadi kota yang mendadak jadi desa yang maju. ”Risiko jadi area industri salah satunya gagap budaya, mereka mendadak menjadi sangat konsumtif dan berorientasi uang,” jelas lulusan Pascasarjana Kampus di Jakarta ini.

Bahodopi dikatakan Indira, semua daerah yang ditinggalkan warganya karena dianggap gersang dan tak ada potensi untuk maju. ”Dengan adanya tambang membuat banyak warga yang tadinya menjual lahan yang gersang ini menyesal, sekarang Bahodopi justru jadi daerah yang maju, bahkan pengusaha kontrakan disini sangat kaya karena harga sewa rumah menjadi sangat mahal,”tutup dia.

Tak Ada Perhatian dari Pemkab Morowali

Munandar seorang tokoh muda Morowali dan mantan karyawan PT. IMIP mengakui, kota kelahirannya telah berubah drastis, pendapatan daerah meningkat dan lapangan pekerjaan juga berlimpah. ”Sebagai warga lokal memang bersyukur, pendapatan masyarakat memang meningkat, memang benar, sangat cukup untuk masyarakat. Tapi jelas ada perubahan budaya, yang dulunya hanya buruh kasar, petani dan nelayan, dengan adanya pabrik, dari yang awalnya mereka kaget lama-lama mereka menikmati, terutama menikmati dari segi upah,” katanya kepada Law-Justice.

Munandar juga mengungkap, banyak warga yang menggunakan ijazah paket untuk memenuhi standar pabrik tanpa latar belakang pendidikan yang cukup.” Wajar jika mereka hanya menjadi buruh kasar yang disuruh-suruh bukan tenaga ahli yang memiliki skill di pabrik tambang, kebanyakan yang ahli adalah tenaga kerja asing, akan tetapi mereka menjadi seperti itu karena tuntutan keadaan juga, pada akhirnya mereka merasa diperbudak dan dieksploitasi di pabrik tambang karena minimnya skill mereka,” lanjut lulusan Pascasarjana Politik Universitas Nasional Jakarta ini.

Hal ini disebabkan, pekerjaan sektor tradisional seperti nelayan dan bertani sudah mulai sulit. ”Terutama dengan adanya pabrik, tangkapan ikan mereka jadi minim, pohon pala atau cengkeh juga dikeruk hingga rusak, ekosistem lingkungan menjadi terganggu, masyarakat sudah tidak bisa lagi bergantung pada alam untuk hidup, mereka akhirnya tak punya pilihan untuk bekerja di pabrik tambang karena tidak ada pekerjaan lain untuk bertahan hidup,” ungkapnya.

Dampak terburuknya, nyawa para pekerja tambang tidak ada harganya, Munandar mengaku kecelakaan kerja hampir terjadi setiap hari. ”Banyak mereka yang berangkat dalam keadaan sehat, pulang tak bernyawa, ada yang terjepit alat, terbakar, jatuh dari ketinggian, atau terlindas truk besar,” ungkap Munandar.

Pekerjaan tambang, diakui Munandar adalah tipe pekerjaan dengan berisiko besar, pekerja harus akrab dengan hawa panas, ketinggian dan pekerjaan berat lainnya, sayangnya hal ini tidak diimbangi dengan tanggung jawab perusahaan untuk menjamin keselamatan pekerja. ”Parahnya, perusahaan yang mendapati karyawan putus jarinya akibat alat pabrik misalnya, dianggap kelalaian, pada akhirnya, pekerja pabrik jadi takut meminta tanggung jawab kepada perusahaan, meskipun itu harusnya tanggung jawab pengusaha, setidaknya ganti rugi atau jaminan pengobatan,” paparnya.

Munandar mengaku, keluhan pekerja tambang sebenarnya sudah pernah disampaikan ke DPRD atau Pemkab Morowali, akan tetapi hingga saat ini belum pernah ada kejelasan dan tindak lanjut baik dari legislator maupun pemerintah Kabupaten.”Keluhan ini sudah pernah disampaikan kepada unsur pemerintah, akan tetapi mereka seperti menutup mata dan enggan bertindak,” tukasnya.

Sebenarnya, kata Munandar, sudah banyak warga yang mengeluh bekerja di tambang, salah satunya upah yang sudah mulai mencekik karena harga-harga yang keliwat tinggi.” Mereka ini memang gajinya terlihat besar, tapi sebenarnya hidup mereka pas-pasan, ironis karena harga-harga disini terutama bahan pokok sangat mahal, banyak yang mengeluh ingin dinaikkan gajinya,” ungkapnya.

Warga Morowali, diungkap Nandar terjebak dalam kondisi yang mereka tidak tahu akar persoalannya.”Padahal sebenarnya problem utama di Morowali adalah regulasi yang sangat lemah, pengusaha bisa seenaknya, pemerintah daerah juga lembek terhadap pengusaha, sehingga rakyat kecil menjadi tak punya banyak pilihan, rakyat menjadi korban ketamakan penguasa,” kata dia.

Jika ada pekerjaan lain, sambung Munandar, tentu warga akan memilih pekerjaan lain yang lebih menguntungkan.”Warga disini cenderung hanya ingin mencari kerja, tidak ada keinginan untuk menciptakan lapangan kerja, meski potensi alam disini sangat besar, karena banyak pantai dan gunung yang bisa dijadikan obyek pariwisata, akan tetapi alam disini sudah rusak karena pabrik-pabrik tambang, ini membuat warga tak punya pilihan lain,” beber dia.

Warga Morowali juga tak berharap mengenyam jenjang pendidikan yang tinggi. “Mereka lulus SD-SMP saja sudah besar keinginannya untuk bekerja tambang, padahal mereka minim skill, yang mengenyam pendidikan tinggi lebih memilih untuk bekerja di luar Morowali karena lapangan pekerjaan bagi yang berpendidikan tinggi disini minim sekali, kebanyakan yang mengenyam pendidikan tinggi disini adalah orang yang taraf ekonominya tinggi, orang miskin tak punya mimpi sekolah tinggi,” pungkasnya.

Keluhan warga tersebut sebenarnya merupakan hal yang sudah menjadi percakapan umum. Bagi warga Morowali, kehadiran industri nikel ini bak pedang bermata dua. Di satu sisi, tak dipungkiri, membantu dari sisi ekonomi. Di sisi lain, dampak negatifnya ternyata tak sebanding dengan dampak negatif yang ditimbulkan.

Sayangnya, hal ini sepertinya belum menjadi fokus bagi pemerintah daerah. Dari laman situs Pemkab Morowali, memang ada beberapa program yang berkaitan dengan Perempuan dan Anak, seperti Kampanye Anti Kekerasan Kepada Perempuan dan Anak. Pemkab juga menyoroti angka hamil di luar nikah pada anak di bawah umur yang meledak di Morowali 2021 lalu. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) juga kerap memberikan penyuluhan penguatan gender, akan tetapi tidak pernah diangkat secara spesifik.

Saat Law-justice hendak mengkonfirmasi hal ini ke Wakil Bupati Morowali Najamuddin Idris, ternyata tidak ditemui oleh yang bersangkutan padahal sudah berjanji di rumah dinasnya. Saat ditanyakan melalui pesan WA terkait, dia mengakui pihaknya belum mendata problem perempuan pekerja di Kabupatennya. ”Belum ada data, pastikan data,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (23/3/2023)

Dilema industrialisasi yang terkesan dipaksaan, dengan tanpa membangun infrastruktur dan kesiapan masyarakat. Arus migrasi yang datang dalam jumlah besar dan dalam rentang waktu yang singkat ini, ternyata belum siap diterima oleh struktur masyarakat yang ada di Morowali. Terutama yang ada di pusat industri dan pertambangan nikel.

Mestinya ini menjadi tangung jawab pemerintah pusat dan daerah untuk membangun kawasan industri sekaligus membangun kawasan tersebut tanpa mengorbankan nilai-nilai sosial dan ekonomi masyarakat lokal. Saat ini, sebagian kecil masyarakat di areal tambang dan smelter merasakan booming ekonomi dari pertumbuhan yang sangat pesat dalam 7 tahun terakhir ini.

Namun, apakah ada jaminan kelestarian bagi masyarakat lokal terhadap marjinalisasi oleh pusat-pusat industri ini. Hari ini, upah yang diterima oleh pekerja lokal boleh dibilang cukup, namun inflasi yang tidak masuk akal membuat harga-harga kebutuhan pokok meroket. Berapa lama, pekerja dan warga lokal bisa bertahan mengahadapi harga-harga yang terus melambung. Pemerintah tidak boleh hanya sekedar berpangku tangan dan membiarkan hukum alam berjalan. Harus ada intervensi dan program yang jelas untuk menjaga kepentingan dan kesejahteraan masyarakat dari hadirnya indusrri nikel.

 

Devi Puspitasari